Tulisan ini merupakan gambaran besar dari sejarah gedung-gedung yang SGPC catat sejak blog ini muncul pada tahun 2018, dengan 450+ bangunan dan kompleks yang dibangun di Indonesia yang terdokumentasi oleh Setiap Gedung Punya Cerita dari ribuan sumber yang didapat. Mengingat bahasannya yang sangat luas, rangkuman ini dipecah ke tiga bagian.
Bagian ini adalah bagian kedua rangkuman blog ini, eksklusif membahas era 1980an yang merupakan eranya budaya pop yang energik, ekonomi yang relatif mulai bergerak maju dan di dunia arsitektur, mulai munculnya arsitektur pascamodernisme yang memberontak pada kesaklekkan kotak dan bentuk sederhana ala modernisme.
Disclaimer: artikel ini ditulis ulang selama SGPC mendapatkan lebih banyak data dan gedung baru. Tulisan ini tidak sepenuhnya mewakili perjalanan arsitektur Indonesia secara garis besarnya versi komunitas arsitektur, yang mungkin anda bisa baca di luar blog ini.
Aktor rancang bangun 1980an
Rata-rata bangunan di Indonesia di dekade 1980an menganut gaya internasional, berpaham form follow function dan berbentuk mengotak dengan penggunaan kaca riben, kecuali setelah pertengahan 1980-an dimana sebagian arsitek mulai bermain-main dengan gaya arsitektur pascamodernisme.
Arsitek asing yang ikut berkarya di Indonesia, selain Skidmore Owings & Merrill (SOM), Ed Killingsworth, dan Palmer & Turner (P&T Architects) yang kembali pamer karya di Nusantara pada tahun 1980an, muncul nama-nama baru seperti di bawah ini:
- Paul Rudolph (Intiland Tower Jakarta)
- Jan Brouwer & Associates (Wisma ANTARA)
- Pladesco (Plaza Surabaya)
- Timothy Seow (Gedung Bank Rama/Indosurya Centre dan Wisma Bumiputera).
Salah satu catatan terbesarnya adalah kehadiran arsitek-arsitek Jepang, yang datang membawa mentalitas kaku mereka dengan gedung yang (mayoritas) berbentuk kotak kaku. Aktor arsitektur dari Negeri Matahari Terbit di Indonesia saat itu terdiri dari:
- Nikken Sekkei (Summitmas I, mal Bandung Indah Plaza)
- Nihon Sekkei (Wisma BCA, Landmark Centre, Atrium Mulia, Plaza Kuningan, Park Royale)
- Kajima Design (Ratu Plaza)
- Kume Consultants (Apartemen Calindra)
Dari pemain dalam negeri, selain nama-nama familiar dan beken seperti Arkonin, Perentjana Djaja, Atelier 6, Parama Loka Consultants, Ciriajasa, Gubah Laras, Jasa Ferrie & Partners, Wiratman & Associates, muncul pemain baru seperti Desakota Infra dan Armekon Reka Tantra hingga Team 4, juga merancang karya-karya terbaiknya. Terkhusus Arkonin dan Gubah Laras, firma ini merancang sangat banyak gedung monumental untuk pemerintah pusat maupun daerah.
Masa jaya perkantoran
Era 1980an diwarnai oleh banjir ruang perkantoran, terutama di rentang 1983-1987. Pasca perintah pembersihan rumah-rumah di kawasan elit dari perusahaan yang berkantor di rumah, kebutuhan perkantoran di Jakarta mulai meningkat drastis. Puncaknya, pada tahun 1984 dan 1985, KOMPAS sudah dua kali mewartakan pembangunan gedung perkantoran dari laporan masing-masing Richard Ellis Enterprises dan Jones Lang Wotton, memberi indikasi bahwa oversuplai ruang perkantoran kala itu semakin tak terkendali. Banjir tersebut setidaknya mereda pada 1986-1989. Karena meningkatnya kebutuhan, perkantoran menjamur kembali pada dekade 1990an.
1980-1985
Paruh pertama dekade 1980an diwarnai dua gebrakan arsitektur Indonesia, yaitu Ratu Plaza dan S. Widjojo Centre, sama-sama di Jalan Jenderal Sudirman. Ratu Plaza, adalah gedung pertama yang menganut konsep superblok di Indonesia, dimana pusat perbelanjaan, perkantoran dan perumahan dipadu menjadi satu lokasi. Kompleks rancangan tim arsitek Kajima Design bersama dengan Indramaya ini dibuka pada Desember tahun 1980, sementara S. Widjojo Centre rancangan tim arsitek International Design Consultants dan Hasan Vegel dari Intaren Architects asal Thailand ini menonjolkan arsitektur tropis dengan pemakaian louvre seperti tongkol jagung.
Namun, keberadaan Sequis Centre saat itu sebenarnya adalah embrio dari pandangan arsitektural yang sarat politik nasionalisme di tahun 1980an. Puncaknya, di tahun 1983, sebuah kongres IAI diadakan dan membawa pesan-pesan nasionalis dalam rancang bangun mereka. SGPC memandang kongres IAI ini penuh dengan kemunafikan.
Di luar itu, sedikit perkantoran niaga periode 1981-1982 yang kualitasnya menandingi Sequis Centre maupun Ratu Plaza. Di tahun 1981, Jan Brouwer & Associates dengan Wisma ANTARA-nya yang sangat Eropa, dan menjadi karya Jan Brouwer satu-satunya di Indonesia. Setahun kemudian, gedung mid-rise rancangan lokal menjadi dominan, seperti Wisma TIRA (Raysoeli Moeloek), Hanurata Graha (B.A.I. Estetika) yang menonjol berkat atap joglonya walau hanya 8 lantai, hingga Lina Building rancangan Nurrochman Siddharta dari Atelier 6. Plaza Bumi Daya alias Graha Mandiri belum selesai dibangun kendati diresmikan pada akhir tahun 1982.
Pada tahun 1983-1984 stok perkantoran mulai menjamur. Dari catatan SGPC, pembangunan perkantoran pada 1984 cukup sulit terdata karena ketiadaan sumber. Di kedua tahun tersebut, SGPC hanya menemukan Tempo Pavilion II, Graha Mandiri, Manggala Wanabhakti (blok IV), Atrium Mulia, dan Gedung ACLC KPK untuk 1983, serta perkantoran Gajah Mada Plaza Jakarta, Panin Centre dan tower utara Plaza Kuningan untuk 1984. Diantara gedung tersebut, Manggala Wanabhakti cukup banyak dibahas komunitas arsitektur Indonesia karena perpaduan desain dan lingkungannya tereksekusi dengan baik, sementara Gedung Papan Sejahtera/KPK menjadi terkenal dengan peran-peran politik pasca 1998, dan Graha Mandiri dan Atrium Mulia menjadi gedung kedua dan ketiga yang menggunakan elemen kaca sebagai kulit gedung.
Tahun 1985 jumlah perkantoran semakin menjamur dan meninggi saja. Tercatat ada 9 bangunan komersil diatas 5 lantai yang dibangun di Jakarta saja dibangun pada tahun tersebut, yang SGPC bisa data: Commodity Square, Menara Multimedia, International Financial Centre I, Gedung BRI I, Summitmas I, Wisma Indocement, Gedung WTC 5, Wisma Bumiputera, Plaza Kuningan (selatan) dan Landmark Centre I. Hanya dua gedung tinggi yang disebut SGPC tersebut murni karya arsitek lokal, dan tiga diantara sembilan gedung itu, berbentuk kotak kaku.
Wisma Bumiputera dan Gedung BRI I bisa dikatakan cukup dinamis bila dibanding gedung-gedung sejenisnya pada tahun 1985. Hal ini bisa dilihat dari bentuk Wisma Bumiputera yang berbentuk oktagram, satu lapis beton dan sisanya lapis kaca; dan Gedung BRI I yang berbentuk segienam yang dibelah dua.
Sementara IFC I dan Plaza Kuningan menjadi gedung keempat dan kelima yang berkilauan kaca dan Landmark Centre I pada dasarnya adalah miniatur Shinjuku Mitsui Building yang kebetulan favorit developernya. Semuanya adalah rancangan Nihon Sekkei.
1986-1989
Tahun 1986 adalah tahun kedua kejayaan perkantoran. Hingga saat ini, SGPC sudah mendokumentasikan enam perkantoran niaga yang tercatat selesai dibangun pada tahun tersebut: Gedung Danareksa/Kementerian BUMN, Wisma Bank Rama, Chase Plaza, RS Mayapada Kuningan dan Wisma Mandiri II.
Tahun 1987 dan 1988 bisa dibilang titik nadir gedung perkantoran niaga, seperti yang disebutkan sebelumnya, karena kelebihan ruang kantor. Di tahun tersebut kebanyakan pasok perkantoran niaga memiliki ruang perkantoran kecil. Untuk pertama kalinya pada tahun 1987, Kota Pahlawan memilki gedung perkantoran sewa multi-lantai sendiri, yang dirancang oleh Rivai Pulungan untuk Dana Pensiun Bank Ekspor-Impor Indonesia dengan nama Graha Medan Pemuda.
Di Jakarta, pada tahun 1987 hanya ada dua gedung perkantoran berlantai banyak yang dibangun dan terdata oleh blog ini. Pertama adalah Intiland Tower rancangan Paul Rudolph – didampingi J. Heru Gunawan untuk arsitekturnya, sementara strukturnya dikembangkan oleh Wiratman & Associates, yang terkenal dengan bidang miringnya yang berirama, menghasilkan gedung yang indah dan sesuai dengan semangat tropisme Indonesia. Sebaliknya, Hayam Wuruk Plaza memiliki balkon AC yang secara tak langsung mendukung arsitektur tropis. Sayangnya, gedung rancangan Khalifa Pratama Engineering ini tidak banyak diketahui publik bila dibanding Intiland Tower karena penampilannya yang konvensional.
Tahun 1988 dan 1989 juga tidak banyak gedung perkantoran untuk sewaan, namun hal yang menarik disini adalah lebih banyak gedung perkantoran di Jakarta yang dirancang sebagai kantor pusat satu perusahaan, semisal Gedung Sucaco, Nindya Karya, Gedung Ombudsman RI/Uppindo, Wisma Tugu, Indosat dan Graha Citra Caraka Telkom. Kantor sewaan yang muncul di tahun tersebut hanya Midplaza I dan Kantor Besar BNI. Gedung Bank Dewa Rutji menjadi gedung pertama di Indonesia yang menggunakan aluminium komposit, selesai dibangun pada 1989.
Tahun 1987 juga menghadirkan penggebrak bernama gaya arsitektur pascamodern. Wiratman & Associates melakukannya dengan Gedung Asuransi Wahana Tata; dan Parama Matra Widya dengan Wisma Tugu. Bila Wahana Tata bermain kelengkungan fascia depan, Wisma Tugu menunjukkan bahwa pascamodern bisa membawa spirit monumental.
Gedung perkantoran non-Jakarta yang terdata oleh SGPC pada tahun 1989 adalah kantor pusat Bank BPD Sumatera Utara karya Desakota Infra, selesai dibangun pada April 1989, dan Graha Bumiputera yang baru selesai dibangun pada Desember 1989 setelah sempat mangkrak selama setahun lebih.
Awal hadirnya apartemen
Dekade 1980an menjadi tanda bahwa pengembang mulai menyadari potensi dari membangun hunian bertingkat seperti apartemen. Di era 1970an, kebanyakan hunian multi-lantai yang dibangun diperuntukkan bagi karyawan kementerian atau ABRI yang SGPC belum dapat data saat ini. Keseluruhan apartemen berlokasi di Jakarta; apartemen di luar Jakarta baru terlihat di dekade 1990an dan setelah 2000an.
Apartemen Ratu Plaza adalah apartemen pertama yang selesai dibangun di dasawarsa 1980an. Sebagai bagian dari superblok Ratu Plaza, apartemen berlantai 18 (5 lantai terbawah adalah pertokoan) hanya memiliki 36 apartemen biasa dan 8 maisonette. Apartemen setinggi 59 meter ini selesai dibangun berbarengan dengan proyek Ratu Plaza keseluruhan pada tahun 1980.
Pihak Pudjiadi Prestige mengatakan bahwa apartemen Jayakarta yang mereka kelola selesai dibangun pada 1982, dan menjadi apartemen hak milik alias gelar strata pertama di Tanah Air. Ya ini pernyataan resmi pengembang dan belum ditemukan iklan atau artikel terkait yang bisa mendukung statemen resmi pengembang.
Baru pada tahun 1985 apartemen-apartemen mewah Jakarta bermunculan kembali, juga diinisiasi oleh pengusaha properti besar, dan menyasar para ekspatriat yang bekerja di Indonesia.
Apartemen yang dibangun di tahun tersebut adalah Apartemen Sultan (Hilton Residence) dan Apartemen Senopati milik Pudjiadi Prestige. Apartemen Sultan yang merupakan menara kembar pertama di Indonesia dan selaku lanjutan karya rancang Ed Killingsworth tersebut, sebenarnya adalah taruhan keluarga Sutowo untuk membangun apartemen Hilton pertama di dunia; sementara Apartemen Senopati yang penampilannya sangat mirip perkantoran dibanding apartemen, hanya memiliki 52 unit dan rancangan tim arsitek kebanggaan bangsa Arikon Bumi Indonesia. Sayangnya, Apartemen Senopati kini dalam tahap pembongkaran.
Sekitar tahun 1986, muncul pendatang baru lagi. Bersama dengan Kumagai Gumi, seorang guru besar Universitas Indonesia membangun apartemen berlantai 13 di Slipi dengan 46 unit bernama Apartemen Slipi. Berbeda dengan tiga apartemen lain dari dekade ini, Apartemen Slipi, alias Wisma Calindra, mulai rapuh akibat sengketa hukum dan dialihfungsikan menjadi kampus STIE Supra/Institut Teknologi & Bisnis Kalbe/Kalbis hingga dihancurkan pada 2013 lalu.
Datang terakhir adalah karya Nihon Sekkei pertama yang bukan merupakan gedung perkantoran dan bergaya lebih luwes, Apartemen Park Royale. Apartemen kembar milik Sarilembah Tirta Hijau ini menawarkan 190 unit kepada para ekspatriat, dengan ekspansi dari apartemen Park Royale baru digarap di pertengahan 1990an.
Hotel dan Pusat perbelanjaan
Berbeda dengan perkantoran dan hunian susun, hotel dan pusat perbelanjaan yang dibangun pada dekade 1980an cukup jarang terdata oleh Setiap Gedung Punya Cerita selama 2018-2020. Namun, sejak 2021, hotel dan pusat belanja mendapat lebih banyak porsi untuk dibahas di blog ini.
Sudah ada enam hotel yang ditulis oleh SGPC yang dibangun pada dekade 1980an: Hotel Simpang Tunjungan dan Garden Palace di Surabaya, Hotel Tiara di Medan, Hotel Melia Bali, Hotel Inna Putri Bali dan Nusa Dua Beach Hotel di Nusa Dua, Bali. Diantara keenam hotel yang dimaksud, hotel-hotel di Nusa Dua jauh lebih mentereng dari segi nama, citra dan target pasar. Terkhusus Hotel Melia, ia menjadi hotel swasta pertama yang beroperasi di tanah BTDC, sedikit bersamaan dengan Hotel Putri yang milik negara tetapi populer dikalangan wisatawan Eropa.
Sisanya adalah perluasan hotel lama seperti Hotel Inna Garuda di Yogyakarta, Hotel Sahid Garden Yogyakarta (Poernomo Ismadi/New Sahid Builders), Garden Wing Hotel Borobudur (Raysoeli Moeloek) dan Garden Tower Hotel Sultan (Ed Killingsworth). Hotel seperti Ibis Budget Menteng dan Golden Flower mimin tidak masukkan disini karena faktor sejarahnya sebagai mal. Keduanya mimin bahas di bawah.
Pusat perbelanjaan era 1980an yang ditulis SGPC kini semakin beragam per 2021, Surabaya Plaza, Tunjungan Plaza, Hi-Tech Mall di Surabaya; BIP, King’s, Palaguna Plaza, Parahyangan Plaza, Asia-Afrika Plaza dan Banceuy Permai di Bandung; Citra Niaga di Samarinda; Menteng Plaza, Pasaraya Blok M, Melawai Plaza, Glodok Plaza dan Kramat Jati Indah di Jakarta.
Pada tahun 1986, lahir dua pusat perbelanjaan modern di Surabaya, yaitu Indo Plaza dan Tunjungan Plaza. Tetapi nasib kedua pusat belanja tersebu berbeda, bila Tunjungan Plaza sudah menjadi sebuah superblok besar, Indo Plaza runtuh karena kontrak dengan PT KAI, karena di gedung tersebut juga terdapat stasiun kereta api modern. Dua tahun kemudian, tiga pusat perbelanjaan yang lebih besar dibangun, bernama Tunjungan Centre, Surabaya Plaza dan THR Plaza Surabaya. Berbeda dengan TP yang lebih ramai, Surabaya Plaza dan Hi-Tech Mall sempat menghadapi masa-masa awal yang sulit karena sepinya pengunjung dan peminat.
Untuk kota kembang Bandung, info sejarah yang blog ini dapakan mengenai mall tahun 1980an jauh lebih lengkap. Awalnya, blog ini hanya mampu membahas Bandung Indah Plaza yang dibuka pada awal tahun 1990, walau sudah operasional per akhir 1989, dan menjadi pusat perbelanjaan pilihan masyarakat Kota Kembang zaman itu. Berkat jasa human search engine Perpustakaan Nasional RI blog ini menutup misteri di balik sejarah Palaguna Plaza, Asia-Afrika Plaza (sekarang Hotel Golden Flower), Parahyangan Plaza, King’s dan Banceuy Permai. Empat mall yang disebut pertama sudah ada direntang 1983-1985 sementara Banceuy Permai baru hadir sejak 1989. King’s dan Parahyangan Plaza saja yang masih jadi mal per Januari 2023 ini.
Kota Panser Biru, yaitu Semarang, juga punya pusat belanja tersendiri yang SGPC sempat bahas, seperti Gajah Mada Plaza (tidak ada kaitannya dengan GMP Jakarta) dan Pasaraya Sri Ratu. Dari kedua pusat belanja tersebut, GMP Semarang lebih ngetop sebagai sebuah bioskop Plaza sementara Sri Ratu membangun gedung perluasannya yang lebih menonjol.
Di Jakarta, catatan SGPC mengenai pusat belanja mereka kini sudah melebar. Sejak 1980an, terdapat lima pusat belanja yang dibangun, yaitu Gajah Mada Plaza, Melawai Plaza dan Pasaraya Blok M di awal 1980an, sementara Menteng Plaza, Glodok Plaza, Lokasari Plaza dan Kramat Jati Indah hadir menyapa masyarakat metropolitan pada akhir 80an.
Jauh berbeda dengan keenam pusat belanja di pulau Jawa, Citra Niaga di Samarinda, ibukota Kaltim, tergolong populis. Kompleks pembangunan rukan dan los kaki lima tersebut terbagi ke dalam tiga tahap dan dibangun dari 1984 hingga 1989. Pembangunan Citra Niaga Tahap II menjadikan proyek tersebut primadona dalam mewujudkan kesetaraan dalam pemanfaatan fasilitas niaga, terutama dalam menyediakan los untuk pedagang lemah.
Kantor Pemerintahan
Jauh berbeda dari bangunan niaga era itu, kantor pemerintah dan bank di era 1980an didominasi pemain-pemain lokal, dengan gaya arsitektur yang sedikit lebih beragam. Di tingkat pusat, pemain-pemain nasional seperti BUMN kontraktor dan firma arsitektur baik ternama semacam Arkonin, Gubah Laras, PRW, Accasia, Atelier 6 dan Ciriajasa maupun firma kecil semua punya hajatan besar di proyek-proyek tersebut.
Hal ini semakin terlihat dengan kebutuhan ruang kantor yang makin besar dari sektor publik, melanjutkan konsolidasi kantor pemerintah sejak awal Orde Baru. Pada 1980 dan 1981, gedung BKKBN 8 lantai, Ditjen Permasyarakatan Kemenkumham (Ditjen Tuna Warga) dan gedung utama Departemen Pertambangan & Energi (Gedung Chairul Saleh) selesai dibangun. Gedung Chairul Saleh menjadi sorotan utama karena (awalnya) penampilan brutalistnya, dan akhir-akhir ini karena efisiensi energi gedung ini dari panel surya. Setahun kemudian, giliran LIPI, Kemenhub, Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Departemen PU dan Kementerian Perdagangan menempati gedung baru.
Sayangnya, potensi gedung tinggi lembaga negara di dekade ini terbuang karena kebijakan pemerintahan Orde Baru. Departemen Pekerjaan Umum mengeluarkan kebijakan membatasi tinggi gedung pemerintah pusat menjadi maksimal 8 lantai. Sayangnya, SGPC tidak menemukan dokumen tersebut secara daring, padahal dokumen ini menjadi bukti penting dari dasar di balik rendahnya tinggi gedung pemerintah.
Terdapat gedung Kementerian/Lembaga yang memiliki jumlah lantai diatas 8: Gedung Kementerian ESDM yang disebutkan sebelumnya, Kementerian Perdagangan, Manggala Wanabhakti blok I, Widya Graha LIPI, Kementerian Pemuda & Olahraga, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pendidikan Gedung C. Beberapa gedung (Kemdikbud Gedung C dan Kemenperin) sudah dirancang dan dibangun sebelum beleid tersebut muncul. Bahkan Gedung Kemendag memanfaatkan fasilitas bekas Pertamina yang terhenti pembangunannya karena krisis Pertamina.
Pasca-pembatasan, mayoritas desain gedung menjadi nyaris seragam (Kemenkes, Kemensos, Kemenag, Kemenaker, Kemenkumham, Kemenkop UKM). Kompleks Kementerian Pertanian merupakan pengecualian; karena arsiteknya, Soejoedi, menerapkan beberapa prinsip arsitektural unik terhadap 4 dari 5 gedung Kementan. Pada tahun 1987, Bank Indonesia di Jakarta membangun gedung perluasan ketiganya.
Menutup dekade 1980an adalah Gedung Mahkamah Agung RI yang menyulap sebagian bekas gedung PDN Pertamina, serta Perpustakaan Nasional RI di Salemba yang merupakan sumbangan dari Keluarga Cendana.
Daerah
Gedung pemda yang ditulis oleh blog ini dari dekade 1980an terdiri dari gedung perluasan kantor walikota Jakarta Selatan, dan gedung baru wailkota Jakarta Pusat, Gedung Setwilda Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Timur; dan kantor DPRD di DKI Jakarta, Jawa Timur dan Bali.
Bila diltilik dari sisi arsitekturnya, Setwilda Jawa Tengah karya Soeroso S.R. dari Pola Dwipa, kantor DPRD Jawa Timur rancangan tim arsitek Pura Suri dan DPRD Bali karya I.B. menerapkan desain arsitektur tradisional Indonesia, sementara Setda Jawa Timur dan Kalimantan Timur, cenderung bergaya modern.
Epilog
Dekade 1980an adalah masa jaya perkantoran di ibukota baik niaga maupun pemerintahan, dan juga simbol boom ekonomi nasional walau ayuanan perekonomian masih terpengaruh oleh harga minyak yang murah di dekade itu. Eksperimen desain arsitektur modern tetap berlangsung dan semakin kencang dengan pascamodernisme, sentimen “kembali ke tradisional” makin memanas, sementara arsitek Jepang datang membawa desain arsitektur yang sangat saklek.
Di luar ibukota, pembangunan sarana niaga mulai semakin terlihat, baik hotel dan pusat perbelanjaan, dirancang lebih sebagai sarana yang utilitarian namun berfungsi sebagaimana mestinya. Tetapi, di balik dekade yang sebaliknya di Indonesia lebih diingat di bidang budaya pop, desain arsitektur modern dan tropisme ternyata bisa beriringan bersama.
Leave a Reply