Tulisan ini merupakan gambaran besar dari sejarah gedung-gedung yang SGPC catat sejak blog ini muncul pada tahun 2018, dengan 450+ bangunan dan kompleks yang dibangun di Indonesia yang terdokumentasi oleh Setiap Gedung Punya Cerita dari ribuan sumber yang didapat. Mengingat bahasannya yang sangat luas, rangkuman ini dipecah ke tiga bagian.
Bagian ini membahas era 1990an atau oleh blog ini disebut sebagai Dekade Dilan. Dekade Dilan adalah dekade puncak pembangunan gedung-gedung niaga dan perumahan, yang akarnya berasal dari banyak deregulasi keuangan yang diimplementasikan pemerintah Orde Baru, berupa Paket Oktober 1988 dan Paket Mei 1993.
Disamping itu, di arena profesi arsitektur, arsitek-arsitek muda melakukan pemberontakan terhadap pemahaman arsitektur Indonesia di masanya yang dianggapnya sarat nuansa politik dan terlalu kaku dalam penerapan rancang bangun.
Disclaimer: artikel ini ditulis ulang selama SGPC mendapatkan lebih banyak data dan gedung baru. Tulisan ini tidak sepenuhnya mewakili perjalanan arsitektur Indonesia secara garis besarnya versi komunitas arsitektur, yang mungkin anda bisa baca di luar blog ini.
Aktor rancang bangun 1990an
Luar negeri
Mayoritas aktor rancang bangun Indonesia yang terdata SGPC dan dibangun di “dekade Dilan” adalah arsitek dari luar negeri. Beberapa nama besar seperti Ed Killingsworth, Kajima Design dan Palmer & Turner masih menyumbang karyanya di dekade 1990an, tetapi di dekade inilah lebih banyak nama besar arsitektur dunia yang muncul.
Semisal Hellmuth, Obata & Kassabaum dan Kohn Pedersen Fox. Kedua firma besar asal AS ini juga punya portofolio beken secara global tetapi juga merancang beberapa gedung di Indonesia. HOK merancang Plaza Indonesia, Wisma GKBI dan Wisma Unilever; KPF merancang Graha Niaga yang menjadi bahasan hangat para aficionado arsitektur dunia karena berhasil mendorong keserasian lingkungan dan menonjolkan desain yang zaman tetapi cocok untuk daerah tropis.
Selain HOK dan KPF, ada Brennan Beer Gorman yang menjadi aktor utama arsitektur era dekade Dilan pra-krismon melalui gedung Bursa Efek Indonesia.
Tim arsitek asing yang paling banyak berperan di Indonesia, untuk saat ini, justru Architects Pacific, Denton Corker Marshall, Ie Siu & Chung dan Design Development Group.
Arc-Pac menjadi satu dari arsitek kunci dalam perancangan bangunan tinggi di Indonesia, walau pasca-krismon, Arc-Pac kini lebih banyak berkiprah ke perancangan rumah-rumah mewah di teriknya cuaca California. Selain Arc-Pac, Design Dev. Group, sekarang BCT Design Group, juga berperan dalam perancangan beberapa apartemen dan pusat perbelanjaan di Indonesia, salah satunya Mall Ciputra di Semarang dan Jakarta.
Arsitek Australia Denton Corker Marshall juga punya karya-karyanya di Indonesia melalui tangan panjang mereka Budiman Hendropurnomo. Di era ini, salah satu karya DCM dan Budiman paling menarik dan populer justru Blok M Plaza dan Atrium Senen. Hal yang sama berlaku untuk Megatika Internasional yang sebenarnya tangan panjang firma arsitek Hong Kong Ie, Siu & Chung. Rancangan Megatika cenderung normatif sebagai apartemen tinggal, semisal Apartemen Beverly Towers, Apartemen Parama dan Menara Marina Condominium.
Dalam negeri
Ironisnya, di dekade Dilan peran arsitek lokal merancang gedung-gedung terliat menyusut, dampak dari tuntutan pemodal yang sepertinya lebih ingin Indonesia lebih mengikuti selera global. Dari dekade ini, nama lokal yang paling baru muncul di blog di dekade 90an terdiri dari Han Awal & Partners, Kiat Karsindo, Pacific Adhika Internusa, Airmas Asri dan Paraga Arta Mida. Han Awal & Partners ini sebenarnya firma lama bentukan arsitek kenamaan Han Awal, namun SGPC baru mencatat peran dari firma ini untuk Hotel Mercure Jakarta Kota dan manajemen pembangunan Plaza Mandiri.
Baik Kiat Karsindo dan Pacific Adhika Internusa adalah nama baru, yang disebut terakhir (PAI) adalah aktor perancang Apartemen Amartapura yang saat itu adalah apartemen tertinggi di Indonesia, bersama dengan Randy Dalrymple asal Amerika. Dalrymple – bersama pacarnya, seorang model asal Singapura – tewas saat pesawat SilkAir yang mereka tumpangi jatuh pada tahun 1997, tahun yang sama Amartapura selesai dibangun.
Di dekade inilah Airmas Asri dan Desakota Infra semakin terlihat peran kerjanya. Airmas Asri, memulai perancangan sebagai arsitek internal sebuah pengembang, perannya dalam blantika bangunan niaga nasional, baru terlihat melalui Gedung Wirausaha dan Hotel Atlet Century. Sementara Desakota Infra merancang Plaza Mandiri, kantor pusat Bank Mandiri, yang cukup menonjol di ruas Gatot Subroto.
Tahun Dilan dan Milea (1990-1991)
Dilan dan Milea sebenarnya hanya novel yang meromantisasi era 1990an. Dan SGPC sejujurnya menganggap novel ini tidak bernilai dibanding otentiknya suasana 90an dari seluruh sisi. Membaca buku itu saja tidak, apalagi menyaksikan filmnya. SGPC memakai Dilan untuk merujuk pada tahun 1990 dan 1991.
Mereka merepresentasikan tahun 1990 dan 1991, tahun dimana Perang Dingin mencapai akhir. Di Indonesia sendiri, boom real estate, terutama perkantoran, berlanjut walau mengalami kebijakan uang ketat, dan berpuncak pada meluapnya stok kantor pada 1992. Pada dekade ini juga gedung berlanggam pascamodern perlahan tapi pasti mulai menggeser modernisme gaya internasional sebagai langgam yang dominan di blantika praktikal arsitektur Indonesia.
Era Dilan ’90 menyaksikan 13 gedung perkantoran sewa, 2 hotel baru, 7 mal, 1 apartemen dan 5 hotel perluasan yang tercatat selesai dibangun pada tahun tersebut yang profilnya tercatat oleh SGPC. Plaza Indonesia selaku proyek multi-guna dihitung dua kali. Yang paling menonjol adalah Tamara Centre rancangan Accasia, Summarecon Mall Kelapa Gading rancangan Enviro-Tec (ini MKG 1 alias Plaza KG) dan Menara Topas buatan Kajima Design dan Armekon Reka Tantra. Summarecon MKG dan Plaza Indonesia merupakan nama yang menonjol karena mall ini favorit kalangan trendy sekarang.
Setahun kemudian, tahun Dilan ’91, booming perkantoran berlanjut. SGPC menulis 17 gedung perkantoran baru, 2 apartemen dan 2 hotel dibangun khusus di Jakarta. Seluruh Indonesia, 11 pusat perbelanjaan selesai dibangun pada tahun tersebut, termasuk perluasan Tunjungan Plaza. Dari gedung-gedung yang selesai dibangun di tahun 1991, hanya Panin Life Centre yang menarik banyak perhatian media profesi kala itu karena mendapat pujian di IAI Award tahun 1992, sementara Central Klender Plaza akan selamanya diingat karena tragedi pembakaran massal saat kerusuhan Mei 1998.
Rem blong uang ketat dan overkapasitas kantor (1992-1993)
Era Dilan sudah lewat bukan alasan pembangunan perkantoran injak rem. Sekitar Oktober 1992, beberapa media dan analis sudah mulai mengkhawatirkan luberan gedung perkantoran ditengah kebijakan uang ketat. Toh, kekhawatiran itu tidak menghentikan pembangunan gedung-gedung perkantoran di tahun itu.
Baik di Jakarta maupun luar Jakarta, 24 gedung perkantoran yang profilnya tercatat di SGPC selesai dibangun. Dari Surabaya, Semarang dan Bandung, masing-masing memiliki 1 gedung yang dicatat oleh SGPC selesai dibangun pada 1992. Realitas berat lainnya, di tahun 1993, Indonesia ketambahan 14 gedung perkantoran (itupun belum termasuk gedung-gedung kantor lain yang tidak terdata oleh blog), memperberat luberan ruang kosong.
Secara arsitektural, tahun 1992 bisa dibilang minim gedung yang menarik. WTC 1 Jakarta, misalnya, menjadi gedung terakhir karya Palmer & Turner di Indonesia. Summitmas menyelesaikan gedung perkantoran mereka yang kedua, sementara Manggala Wanabhakti membangun gedung ketujuh mereka untuk mempersiapkan KTT Gerakan Non Blok pada September 1992. Blok 7 dirancang oleh Gubah Laras.
Tetapi, sisi “top of mind” beberapa gedung yang dibangun di tahun 1992 tertentu cukup kuat, semisal Gedung Granadi (Atelier 6) yang lebih identik dengan perilaku koruptif keluarga Presiden Soeharto ketimbang desain arsitekturnya yang memadukan modernisme dengan suasana kejawen, dan Atrium Senen dan Menara Cowell (Atelier 6/Denton Corker Marshall) yang menjadi simbol dari pengembangan Segitiga Senen, sudah dibuka untuk umum.
Pada tahun 1993, jumlah ruang perkantoran yang muncul semakin banyak saja. Seantero Indonesia, tercatat ada 7 kantor yang dibangun. Namun untuk tahun tersebut, bermunculan terobosan, yaitu diperkenalkannya hak milik di perkantoran yang dipelopori Menara Sudirman, dan ekspos internasional Graha CIMB Niaga di media-media arsitektur dunia.
Hanya ada dua apartemen yang dibangun di rentang 1992 dan 1993, Apartemen Prapanca dan Apartemen Mangga Dua Court (MDC). Hal yang membedakan MDC dengan Prapanca, adalah MDC menyasar kalangan menengah dan bisa dimiliki, Prapanca tidak. Namun, MDC terlalu banyak mengalami drama hukum ketimbang Prapanca yang setelah dibangun tidak memiliki ekspos media apa-apa. Kenyataan memang lebih menyakitkan.
50 Tahun Indonesia Merdeka (1994-1995)
Menjelang 50 tahun Indonesia merdeka, pada Mei 1993, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Mei 1993, yang sebenarnya melonggarkan kredit. Inilah yang membuat proyek properti tancap gas lagi, dan bisa dirasakan mulai 1994-1997. Tapi untuk tulisan ini, akan sangat khusus untuk gedung yang selesai dibangun pada tahun 1994 dan 1995.
Tahun 1994, secara data Setiap Gedung Punya Cerita, lebih didominasi apartemen dan hotel, yang entah bagaimana, bisa lolos dari jerat kebijakan uang ketat. Lima apartemen, kebanyakan di atas 5 lantai, tercatat oleh blog ini, yaitu Apartemen Beverly Towers, Apartemen Parama, Apartemen Brawijaya, Apartemen Nuansa Hijau (keempatnya di Jakarta) dan Apartemen Crown Court (Cikarang, Jawa Barat). Masih ada beberapa apartemen lain yang mungkin dibangun pada tahun 1994 yang belum dibahas Setiap Gedung Punya Cerita.
Lebih akbar lagi adalah hotel-hotel. Pada tahun tersebut, Hotel Ciputra Jakarta, Ibis Arcadia, Ibis Slipi, Shangri-La, Millennium Hotel Sirih (keseluruhan di Jakarta), Melia Panorama Batam dan Aryaduta Karawaci dibuka untuk umum. Bila dihitung dari jumlah kamar yang ada, ketujuh hotel tersebut hanya sampel dari 185 hotel yang dibuka pada 1994 per Kadirjen Pariwisata Depparpostel, yang dikutip majalah Properti Indonesia (Properti Indonesia, Jan. 1996, hal. 42-43).
Gedung Bank Indonesia di Semarang menandakan bahwa bangunan untuk instansi pemerintah pusat sudah bisa membangun gedungnya. Mulai dibangun pada 1990, gedung bergaya brutalist/pascamodern ini dibuka pada Mei 1994. Tampilannya yang kokoh, konon terilhami oleh banyaknya candi di Jawa Tengah, menjadikannya salah satu dari sedikit bangunan berlanggam brutalist di Indonesia.
Tahun 1995, tahun emas Indonesia, lebih banyak gedung yang selesai dibangun. Cukup banyak gedung yang dibahas blog ini dari tahun 1995, namun sedikit gedung yang dibahas disini karena rata-rata agak bersifat fungsional.
Mahkota emas arsitektur dari tahun emas ini adalah Gedung BEJ rancangan keroyokan Brennan Beer Gorman dengan konsorsium Encona Engineering, Atelier 6 dan Arkonin. Bergaya pascamodern, Gedung BEJ atau sekarang gedung BEI dipoles dengan lapis kaca, aluminium abu arang dan granit dari Kanada dan Spanyol, dan dilengkapi dengan layanan komunikasi yang canggih dan lantai perdagangan.
Selain Gedung BEJ, Gedung Sapta Pesona bisa dikatakan mahkota arsitektur di tahun emas, walau ternoda oleh rumor tidak berdasar. Sebuah gedung berdesain candi bentar (atau lingga yoni, bergantung sumber) yang kerap menjadi sumber rumor bahwa Menparpostel Joop Ave adalah seorang homoseksual – sayangnya desain gedungnya, digarap oleh tim dari Atelier 6, sudah selesai di era Soesilo Soedarman – dan diklaim dirancang seperti bentuk kelamin. Rumor tersebut muncul kalau bukan soal skandal pelecehan seksual oleh Joop Ave di Selandia Baru pada Oktober 1995. Klaim itu cacat setelah fakta membuktikan bahwa pada saat skandal itu bocor ke media massa, Gedung Sapta Pesona sudah selesai dibangun.
Sementara hotel yang menjadi bintang tahun 1994 dan 1995 menurut SGPC, adalah Hotel Shangri-La di Jakarta dan Surabaya. Keduanya adalah rancangan Kanko Kikaku Sekkeisha, dan khusus untuk Shangri-La Jakarta, sering tampil dalam foto-foto yang menampilkan cakrawala ibukota Indonesia tesebut bersama dengan Wisma 46.
Era Pencakar Langit Sejati (1996-97)
Pada tahun 1993, Pemerintah DKI Jakarta mencabut batas tinggi bangunan. Hal ini menjadi katalis dari boom pencakar langit yang lebih luas pada tahun 1990an, dan didukung longgarnya pemberian kredit, membuat pembangunan gedung tinggi terealisasi lebih baik lagi. Semua tidak menyadari bom krisis ekonomi sudah aktif dan sedang menunggu kapan meledaknya. Di balik krisis ekonomi, krisis politik sudah semakin tidak menentu pasca Peristiwa 27 Juli 1996.
Di era ini, gedung tinggi mulai menembus empat puluh lantai lebih. Wisma 46 dan Apartemen Amartapura sudah bisa menembus jumlah lantai tersebut. Sampai Juli 1997, beberapa bangunan tinggi baru selain kedua gedung tersebut bahkan hanya bisa menjulang di lantai 30-an. Misal Menara Batavia, Menara Imperium, Wisma GKBI, Menara KADIN Indonesia, Mal Taman Anggrek dan Apartemen Puri Imperium.
Wisma 46 dan Amartapura juga dirancang dengan kaidah keindonesiaan. Amartapura, misalnya, mengadopsi anyaman rotan untuk tampilan eksteriornya, diperkuat dengan pemakaian warna cokelat (sayangnya sekarang berwarna putih). Sementara Wisma 46 punya pengartian ganda. Salah satunya phinisi, kapal tradisional yang menjadi logo Bank Negara Indonesia, pemilik gedung ini, saat dibangun pada tahun 1996. Beberapa orang mengingat desain Wisma 46 seperti pena.
Tahun 1996 dan 1997 diwarnai banjir apartemen. Walau diperingatkan terjadi kelebihan unit apartemen dari kebutuhan, menurut laporan majalah Properti Indonesia pada Januari 1996, yang membuat banyak pengembang yang menunda proyeknya, ternyata suplai apartemen makin deras (dari beberapa apartemen, SGPC sudah menulis profil 19 apartemen), terutama karena proyek tersebut sudah mulai dibangun sejak 1993-1995. Beberapa pengembang ada yang mengubah sifat apartemennya dari strata menjadi sewa karena keadaan tersebut. Atau lebih ekstrimnya, diubah menjadi perkantoran. Hal ini dialami Apartemen Mitra Sunter.
Secara arsitektural, gedung yang sangat menarik dibahas dari tahun 1996 adalah Hotel Gran Melia Jakarta. Hotel rancangan arsitek Spanyol ini memiliki permainan geometri yang tiada taranya: lobinya yang luas terbentuk dari lengkung bola, dan memiliki rancangan yang ringan dan simpel. Dibalik desainnya yang unik, ironi terbesar dari Gran Melia Jakarta adalah kurangnya dokumentasi dan perhatian media massa dari gedung ini.
Mewakili tahun 1997 adalah Graha Pena Surabaya. Pilihan SGPC ini merupakan sebuah kejutan, karena pada umumnya gedung di tahun tersebut selalu diwakili bangunan dari Jakarta. Sayangnya, yang lebih bagus dari tahun itu masih belum tercatat di SGPC. Gedung rancangan FX Suwardi Legowo ini bisa dibilang agak unik, berkat elemen miring berbentuk pena di sisi tenggara gedung, yang melambangkan Graha Pena sebagai kantor Jawa Pos.
Namun pada akhir tahun 1997, krisis moneter langsung berkecamuk, banyak bank dibekukan, dan perlahan proyek real estate ikut bertumbangan karena menggunungnya utang dolar mereka. Namun yang sudah terlanjur jalan, ya tetap jalan. Menara Saidah, saat itu bernama Menara Drassindo, bisa selesai ditengah keadaan sulit tersebut. Sayangnya, Menara Saidah menerima citra pahit sebagai gedung yang salah urus dan sarat dengan rumor.
Dari segi pusat perbelanjaan, SGPC membahas dua pusat perbelanjaan mewah yaitu Mall Taman Anggrek dan Plaza Senayan, keduanya saat ini memiliki luas lantai melebihi 100 ribu meter persegi. MTA dibuka pada 1996, tetapi Plaza Senayan sudah terlebih dahulu buka pada akhir 1995. Beberapa tenant dibuka pada tahun 1996; Sogo baru buka pada Oktober 1999.
Para penyintas (1998-1999)
Tahun 1998 adalah tahun tersuram bagi perekonomian Indonesia. Efek krisis moneter mulai terlihat, kebutuhan dolar menggunung untuk membayar utang swasta, dan Bank Indonesia mulai kehabisan cadangan devisanya. Soeharto mundur dari jabatannya. Efeknya adalah banyak proyek yang berupaya bisa dibangun, akhirnya juga mangkrak.
Hanya ada 8 gedung yang bisa rampung saat keadaan sulit ini yang artikelnya ditulis oleh SGPC: Menara Matahari, Ayana MidPlaza, Menara Bidakara, tower Le Meridien Jakarta, Gedung Film, Apartemen Permata Senayan, CoHive 101, Hotel Menara Peninsula dan Apartemen Plaza Senayan.
Mengingat jarang sekali gedung baru yang selesai sepenuhnya pasca-turunnya Soeharto dan krismon yang mengiringi, hanya gedung German Centre Bumi Serpong Damai, alias Graha Telkomsigma, yang blog ini catat per 2022.
Epilog
Inilah dekade dimana pembangunan gedung tinggi di Indonesia menjadi semakin marak, sebagai efek dari liberalisasi kredit properti era Orde Baru. Disebut oleh blog ini sebagai Dekade Dilan, dekade 1990an memunculkan lebih banyak arsitek asing, lebih banyak bangunan era pascamodern, lebih banyak pasokan apartemen dan perkantoran, dan utang.
Sejak 1993, dicabutnya batasan tinggi gedung di Jakarta menjadi katalis dari pembangunan berlantai di atas 40. Dan ditambah dengan membaiknya performa ekonomi Indonesia sebelum krisis moneter 1998, kota-kota di luar Jakarta kedatangan perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan dan hotel (dan memang masih banyak yang perlu dikaji lebih lanjut).
Namun, masih banyak yang SGPC harus teliti dari gedung-gedung masa lalu, mengingat sampai saat ini beberapa gedung tinggi belum dibahas SGPC, keterbatasan skill dan pendanaan blog ini dalam memahami dan merangkai sejarah obyek gedung.
Tinggalkan Balasan