Gedung Bank Indonesia. Hmm, sebuah gedung yang sangat megah dan modern, serta secara arsitektur cantik. Ia sering menghiasi foto-foto wisatawan yang melihat dari Monumen Nasional, bersama dengan Gedung Sapta Pesona dan Kantor Pusat Indosat, keduanya sempat SGPC bahas di awal-awal keberadaannya, jadi bila anda baru kali ini menemukan Setiap Gedung Punya Cerita, bacalah. Ia juga sering terlihat di layar televisi atau foto di media bisnis, karena ia salah satu pusat urat nadi kebijakan perekonomian Indonesia selain Gedung Bursa Efek Indonesia, kompleks Kementerian Keuangan, dan kantor Dirjen Pajak.
Kawasan tersebut, resminya bernama Kantor Pusat Bank Indonesia, menempati hampir semua lahan yang tersedia di petak antara Jalan M.H. Thamrin, Budi Kemuliaan, Abdul Muis dan Kebon Sirih, kecuali secuil lahan yang ditempati oleh rumah sakit, sekolah, instalasi militer/TNI dan kantor Khong Guan. Evolusi pembangunan Gedung BI berlangsung selama 40 tahun lebih dari 1958 hingga 1998 dengan tujuh bangunan (Gedung Thamrin, Kebon Sirih, Arsek dan Tipikal serta empat gedung neo gotik) dan empat arsitek lintas masa, dengan tambahan yang cenderung lebih minor dan fungsional setelahnya.
Alamat | Jalan M.H. Thamrin No. 2 Gambir, Jakarta Pusat, Jakarta |
Signifikasi | Arsitektur (mahakarya Friedrich Silaban, gedung lama) Pariwisata (Landmark Monas bersama gedung Indosat dan Sapta Pesona) |
Penelusuran kilat
Gedung Bank Indonesia (1963)
Gedung yang berlantai lima dan langsung menghadap ke Jalan M.H. Thamrin ini, merupakan gedung pertama yang dibangun dari kawasan Bank Indonesia. Sebelum dibangun, di sebelahnya terdapat sebuah Gereja Portugis, namun saat dalam pembangunan, gereja tersebut masih berdiri dan akhirnya dibongkar di suatu waktu.
Setiadi Sopandi mencatat bahwa proyek gedung baru Bank Indonesia disayembarakan pada 1954, yang dimenangkan oleh Friedrich Silaban. Catatan majalah “Arsitektur” ITB menyebut pesaingnya adalah Liem Bwan Tjie dan IBIV, kami asumsikan A.W. Gmelig Meyling, semuanya punya portfolio mentereng. Konstruksinya oleh PN Adhi Karya berlangsung setelah pemancangan dilakukan oleh Tikind N.V. di tahun 1958 hingga selesai dibangun 1962. Selama perhelatan Asian Games IV lantai terbawah gedung ini dijadikan sebuah galeri sementara. Berbeda dengan keyakinan banyak orang, gedung rancangan Silaban ini diresmikan oleh Menteri Urusan Bank Sentral (Gubernur BI) Soemarno SH pada Hari Bank tanggal 5 Juli 1963.
Kasarnya, berdasarkan pengukuran di Google Earth, luas lantai gedung awal Bank Indonesia adalah 18.108 meter persegi, belum termasuk lantai yang dipakai fasilitas tangga, lift atau toilet. Perancangannya terlihat macam desain Silaban pada umumnya, menggunakan beton yang sarat teritisan sebagai tabir surya. Anak arsitek sebutnya brise-soleil, seperti yang kami singgung di Gedoeng BNI yang juga karya Silaban. Ia juga menggunakan atap genteng – alias atap prisma – untuk kepentingan estetis.
Sopandi menyebut keberadaan gedung ini sebagai sebuah simbol “untuk menjauhkan Bank Indonesia dari citra kolonial warisan de Javasche Bank” yang diarahkan ke kantor di Jalan Pintu Besar Utara (DJB, kini Museum Bank Indonesia). Ia ditetapkan sebagai cagar budaya melalui SK Menteri Pendidikan & Kebudayaan No. 237 sejak 1999 – atau baru berusia 36 tahun, sebuah anomali.
Sekarang, gedung ini masih digunakan sebagaimana mestinya sebagai kantor BI, dengan lantai lima yang merupakan lantai auditorium yang sarat dengan ornamen batik; ruangan yang dibagi ke tiga jenis berdasarkan warna – kuning, merah, dan hijau; ruang bioskop dan ruang rekreasi.
Data dan fakta
Arsitek | Friedrich Silaban (arsitektur) Roosseno (struktur) |
Pemborong | Adhi Karya |
Lama pembangunan | 1958 – 1962 |
Diresmikan | 5 Juli 1963 |
Jumlah lantai | 5 lantai |
Gedung Kebon Sirih (1972?)
Tepat di belakang kantor utama BI adalah Gedung Kebon Sirih, berlantai enam dan rancangannya digarap dari 1959 sampai 1965. Sama dengan gedung utamanya, ia dirancang oleh Friedrich Silaban, namun dengan atap yang lebih datar. Secara konsep desain, baca lagi subbab Gedung BI 1963.
Banyak yang mengatakan gedung ex-Biro Lalu Lintas Devisa ini berdiri sejak 1964; Sopandi mencatat proyeknya baru dilanjutkan per Juli 1971 dengan pengawasan oleh maestro arsitektur nasional tersebut. Gedung tersebut juga bagian dari Bank Indonesia, tetapi dipisahkan oleh Jalan Budi Kemuliaan I yang sudah terkubur gedung-gedung baru dari Rikoperbi (Rancangan Induk Kompleks Perkantoran Bank Indonesia) 1978-1998. Kami duga, dengan proyeknya baru lanjut di tahun-tahun tersebut, proyek Kebon Sirih baru selesai sekitar 1972.
Di lantai enam alias teratas disediakan ruang rapat, aula dan bahkan Museum Arta Suaka yang memamerkan uang-uang lama. Berbeda dengan Museum BI, Arta Suaka agak susah diakses. Aula Sasana Cakra yang bergaya klasik dirancang oleh Hoemar Tjokrodiatmo, maestro interior Indonesia yang juga merupakan arsitek kantor Bank DBS di Jalan Juanda. Anda mungkin tidak mendengar nama Hoemar; sementara Dinapraba dikhususkan untuk jamuan tamu VVIP dan Bagaskara dengan perabotan yang diboyong dari DJB, merupakan ruang rapat VIP.
Data dan fakta
Arsitek | Friedrich Silaban (arsitektur) |
Selesai dibangun | ~1972 |
Jumlah lantai | 6 lantai |
Gedung Arsip, Ekspedisi dan Tipikal (1987)
Pada tahun 1978, Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh menggagas perlunya kompleks perkantoran terpadu dalam satu lokasi untuk institusinya yang artinya gedung-gedung rancangan Silaban akan dipersatukan sebagai satu kompleks bersama dengan beberapa petak tanah milik institusi atau orang lain. Saat itu, kantor BI masih berpencar tak hanya di Gambir melainkan di eks-DJB, Roa Malaka, Krekot dan Jalan Ir. Juanda, sehingga memunculkan permasalahan klasik bernama inefisiensi dan ketidak efektifan komunikasi.
Namun, BI tidak akan merekrut maestro arsitektur Indonesia yang mulai semakin sakit untuk merancang masterplan kompleks seluas 10 hektar ini, atau menggunakan rancangan Silaban yang sudah ada yaitu gedung perluasan berlantai 17 yang punya gaya arsitektur serempak dengan Gedung Kebon Sirih/Gedung Utama.
Adalah Zainuddin Kartadiwira dari Zainuddin Kartadiwira & Associates, biro arsitek yang kurang ternama di kalangan masa kini yang merancang Rikoperbi 1978 yang akan menjadi basis dasar Gedung Arsip, Ekspedisi (Arsek) dan Tipikal BI. Berdasarkan konsep, gedung ini rencananya akan sangat banyak kuantitasnya, dikelompokkan berdasarkan kedekatan pada satuan kerja dan akan dibangun per modul (alias bertahap). Lokasinya yang ada di pusat kota seharusnya bisa mendongkrak wajah Jakarta setelah kompleks ini rampung per 1992. Sayangnya, rencana ini berantakan karena deregulasi Paket Juni 1983 yang mengubah sistem kerja organ moneter negara, perubahan teknologi yang begitu deras serta masalah klasik bernama pembebasan lahan.
Pembangunan Gedung Arsek-Tipikal BI, yang berdiri di sebelah bekas kantor pusat Bank Bumi Daya sebelum Desember 1982 dibangun oleh PT Pembangunan Perumahan mulai bulan Desember 1984 hingga bulan November 1987. Sayangnya, seperti gedung BI pusat lainnya, gedung yang biaya konstruksi awalnya diperkirakan mencapai 20 milyar rupiah (1983) minim pemberitaan.
Dengan bentuknya yang mengotak, gedung yang dulunya bernama Pusat Komputer, Arsip dan Ekspedisi ini sebenarnya fleksibel untuk 10 tahun kedepan, ditengah kehadiran komputer sebagai alat kerja. Eksteriornya didominasi keramik berwarna putih, tipikal zaman 1980an, dan lisplank sederhana yang juga berfungsi sebagai brise-soleil alias tabir surya, pengaman bagi tenaga perawatan bangunan serta penempatan lampu cahaya tak langsung.
Gedung ini menyediakan luas lantai 33.203 m2 melalui 17 lantai plus 8 lantai gedung Arsek, yang keseluruhannya dialokasikan untuk bagian Manajemen Internal, dan Arsek sesuai dengan namanya, arsip sejarah Bank Indonesia.
Data dan fakta
Arsitek | Zainuddin Kartadiwira & Associates (arsitektur dan struktur) Wiratman & Associates (struktur) |
Pemborong | Pembangunan Perumahan |
Lama pembangunan | Desember 1984 – November 1987 |
Jumlah lantai (Gedung Tipikal) | 17 lantai |
Jumlah lantai (Gedung Arsek) | 8 lantai |
Biaya pembangunan | Rp. 20 milyar (1983) Rp. 423 milyar (inflasi 2023) |
Menara Radius Prawiro dan Sjafruddin Prawiranegara, Gedung C dan D (1997)
Menjelang penyelesaian Gedung Arsek & Tipikal pada 1987, Bank Indonesia kembali mengevaluasi Rikoperbi yang berusia 9 tahun itu dan menyesuaikannya dengan kebutuhan organ moneter Republik Indonesia. Revisi tersebut dikomandoi oleh Gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar yang akhirnya mengeluarkan Rikoperbi 1988, yang dirancang oleh PRW Architects selaku pemenang sayembara yang diadakan oleh BI. Sejauh ini, peserta sayembara selain PRW, baru Han Awal & Associates yang diketahui.
Berbeda dengan rencana 1978 yang sarat dengan bangunan berwarna putih, kompleks berdasarkan Rikoperbi 1988 awalnya akan menambah tujuh gedung, serta memiliki keunggulan perancangan keamanan kompleksnya dipersatukan dengan rancangan arsitektur. Namun, dalam praktiknya hanya gedung A, B, C dan D yang dibangun, selepasnya tidak jadi karena kebutuhan BI sudah terpenuhi cukup dengan empat gedung.
Bank Indonesia sendiri mencatat bahwa untuk pembangunan perluasan keempat gedung tersebut, pihak Direktur Bidang Logistik di bawah T.M. Syakur Machmud, pimpinan Urusan Logistik (UL) dan Urusan Penelitian dan Pengembangan Internal (UPPN) harus merumuskan proses, jangka waktu dan tahapan konstruksi dari pemancangan hingga penggunaan resminya sebagai jawaban atas skeptisme terhadap penyelenggaraan Rikoperbi ’88. Hasil perumusannya dikenal dengan nama Buku Putih atau Dokumen Ciawi – karena perencanaannya digarap di Ciawi.
Pemancangan tiang pertama pembangunan gedung kembar baru dimulai pada Agustus 1991, dua bulan lebih lambat dari rencana awal Juni 1991. Kami yakin keseluruhan empat gedungnya dibangun oleh Waskita Karya, kontraktor negara. Direncanakan dibangun dalam waktu empat tahun dan akan diresmikan di Tahun Emas Kemerdekaan RI pada 1995, proyek ini terhadang permasalahan teknis. Artinya, pembangunan ini memakan waktu enam tahun; baik menara kembar bersama dengan Gedung C dan D selesai serempak per 1997. Saat kebakaran terjadi pada Desember 1997, sebagian kantor Bank Indonesia baru itu sudah mulai dihuni pegawai. Bagian selanjutnya mengupas dikit mengenai tragedi tersebut.
Gedung hasil perencanaan Rikoperbi 1988 tersebut baru diresmikan pada 17 Agustus 2005 sekaligus mengganti nama dua gedung tertingginya sebagai Menara Radius Prawiro (ex-Gedung A) dan Sjafruddin Prawiranegara (ex-Gedung B)
Kebakaran Gedung A/Menara Radius Prawiro, 8 Desember 1997
8 Desember 1997 seharusnya menjadi tanggal yang spesial bagi Bank Indonesia karena di hari itu organ moneter Indonesia tersebut mulai menghuni gedung barunya dan bertepatan dengan itu adalah rapat tahunan BI di Gedung B lantai 3. Namun, apa yang terjadi kemudian menjadi hari paling memilukan bagi insan organ moneter itu.
Terjadi kebakaran hebat di lantai 23-25 Gedung A yang saat itu sedang dipoles interiornya. Kebakaran bermula dari ruangan di lantai 23 yang sedang menjalani tahap instalasi interior pada jam 9.30, menyebar ke lantai-lantai di atasnya, yang akhirnya ditanggulangi oleh tim pemadam kebakaran lima jam kemudian, atau sekitar 14.30. Tragisnya, 15 orang ditemukan meninggal dunia termasuk 9 diantaranya di dalam lift. Kisah saksi mata bisa mengarahkan SGPC pada kesimpulan bahwa korban meninggal kebanyakan menghirup asap beracun. Rapat BI pun dipindahkan ke gedung Thamrin.
Penyebab kebakaran tidak jelas – bahkan Bank Indonesia sendiri tidak mendapat infonya. Pada 1999, muncul dugaan kebakaran disengaja setelah ditemukan thinner di lantai 18 yang merupakan lantai kosong lain saat kejadian. Insiden ini, karena terjadi di saat Tim Likuidasi Bank Indonesia di lantai 7 menangani masalah di 16 bank yang dibekukan organ moneter Republik Indonesia, menjadi bahan teori konspirasi masyarakat Indonesia, yang kami pikir bisa dipatahkan melalui potongan berita.
Tetengger Thamrin yang mengawal gedung hadap Thamrin
Menara Prawiro dan Prawiranegara dirancang oleh Ir. Karnaya dari PRW Architects, kemungkinan merupakan salah satu karya terakhir dari biro arsitek bentukan Rusjdi Hatamarrasjid, Warman Anwar dan Purnomo Ismadi ini. Tak hanya menara kembarnya, PRW juga menggarap gedung C – sementara Ciriajasa menggarap gedung D.
Secara desain, baik menara kembar dan gedung C dan D ini memiliki desain yang sama-sama pasca-modern, mengacu desain karya Silaban yang punya “kaki, badan dan kepala” alias topinya yang berangka besi. Posisi menara kembarnya dibuat sedemikian rupa agar terlihat mengawal Gedung BI yang hadap Jalan Thamrin itu. Sementara gedung C dan D, punya perbedaan eksterior yang sedikit mencolok walau terlihat kembar, sama-sama berlantai 10 – semisal Gedung D punya kolom yang memanjang penuh tinggi gedung dan kaca di atas kanopi pintu masuknya lebih penuh ketimbang gedung C.
Interior Menara Prawiro dan Prawiranegara dikenal mewah dan sarat ukiran, dipoles oleh tim interior Atelier 6 (bukan ATG Interior seperti yang ditulis tim penulis BI) dengan sepasang monumen karya Pintor Sirait yang diboyong oleh Miranda Goeltom, Gubernur BI yang punya selera seni yang kuat. Keduanya adalah satu dari empat kopi patung bertajuk “Please Sit with Me” (Duduklah bersama saya), sisanya di Manado dan Korea Selatan.
Sayangnya, tidak ada data luas lantai gedung-gedung ini. Berdasarkan informasi, Menara Radius Prawiro menjadi tempatnya sektor perbankan dan Dewan Gubernur BI beroperasi, sementara Menara Sjafruddin Prawiranegara menjadi kantor operasi sektor moneter, sementara gedung C merupakan kantor penukaran uang dan gedung D adalah kantor BI Institute, bidang akuntansi dan kliring.
Menariknya, Rikoperbi 1998, penerus dari Rikoperbi 1988, menyertakan taman dan lapangan upacara yang rimbun dan hijau, dengan monumen pintu masuk dan air mancur karya Rita Widagdo, koridor tertutup dan terbuka serta Masjid Baitul Ihsan, yang ditempatkan ke Jalan Budi Kemuliaan, dimaksudkan sebagai pusat orientasi untuk gedung BI lainnya. Masjid karya Ir. Karnaya (dalam kapasitas sebagai arsitek di PT Arservo) ini sudah berdiri sejak 1999.
Data dan fakta
Arsitek (Menara Kembar dan gedung C) | PRW Architects (arsitektur) Limaef (struktur) Atelier 6 (interior) |
Arsitek (Gedung D) | Ciriajasa (arsitektur) Limaef (struktur) Atelier 6 (interior) |
Pemborong | Waskita Karya |
Lama pembangunan | Agustus 1991 – Desember 1997 |
Diresmikan | 17 Agustus 2005 |
Jumlah lantai (Menara Kembar) | 25 lantai |
Jumlah lantai (Gedung C dan D) | 10 lantai 1 basement |
Referensi
- Lukman Boenjamin; Pramudyarto; Sri Mulyaningsih et. al. (2010). “Karya Arsitektur Anak Bangsa: Gedung Bank Indonesia di Jakarta.” Jakarta: Dir. Logistik & Pengamanan Bank Indonesia
- J. Soedradjad Djiwandono; Paul Soetopo Tjokronegoro et. al. (2005). “Sejarah Bank Indonesia Periode IV: 1983-1997.” Jakarta: Unit Khusus Museum Bank Indonesia. Hal. 138-142
- J. Soedradjad Djiwandono; Paul Soetopo Tjokronegoro et. al. (2005). “Sejarah Bank Indonesia Periode III: 1966-1983.” Jakarta: Unit Khusus Museum Bank Indonesia. Hal. 142-144
- Setiadi Sopandi (2017). “Friedrich Silaban”. Jakarta: Gramedia. Hal. 183-184, 295, 449
- ANTARA (1963). “Gedung Bank Indonesia Diresmikan Pemakaiannja.” Harian Merdeka, 6 Juli 1963, hal. 2
- Harian Merdeka, 23 Agustus 1962, hal. 4
- Ikatan Arsitek Indonesia (1983). “Buku Ke-1 Karya Arsitektur Arsitek Indonesia.” Jakarta: Ikatan Arsitek Indonesia. Halaman 53-54
- Arsip halaman resmi PT Pembangunan Perumahan, diarsip 24 Desember 2003
- Press release (2005). “Gubernur Bank Indonesia Meresmikan Menara Sjafruddin Prawiranegara dan Menara Radius Prawiro.” Bank Indonesia, 17 Agustus 2005. Diarsip 23 November 2005
- Iklan Kantor Pusat Bank Indonesia. Majalah Konstruksi No. 256, Agustus 1997, hal. 54-55
- Andi Reza Rohadian (2020). “Dulu Gedung-gedung ini terbakar saat Negara mengusut perkara besar.” Seputar Indonesia, 23 Agustus 2020. Diakses 15 Maret 2023 (arsip)
- Tim KOMPAS (1997). “Gedung BI Terbakar.” KOMPAS, 9 Desember 1997, hal. 1
- Tim KOMPAS (1997). “IPB belum ada, Gedung BI sudah ditempati.” KOMPAS, 10 Desember 1997, hal. 1
- Tim KOMPAS (1997). “Belum diketahui, penyebab kebakaran di Gedung BI.” KOMPAS, 11 Desember 1997, hal. 3
- msh (1999). “Diduga, kebakaran Gedung BI disengaja.” KOMPAS, 9 November 1999, hal. 16
- “Gedung Bank Indonesia Tjab. Gambir.” Majalah “Arsitektur” No. 1, 1958, hal. 24-25, 34
Tinggalkan Balasan