Google Translation avaliable here. Use at your own risk; some translation may be incorrect or misleading:

Kunjungilah Trakteer SGPC untuk mendapatkan konten-konten akses dini dan eksklusif, serta mendukung blog ini secara saweran. Support us through SGPC’s Trakteer and get early access and exclusive content.

Sejarah Gedung-Gedung di Indonesia, Bagian I: 1950an sampai 1970an

Tulisan ini merupakan gambaran besar dari sejarah gedung-gedung yang SGPC catat sejak blog ini muncul pada tahun 2018, dengan 450+ bangunan dan kompleks yang dibangun di Indonesia yang terdokumentasi oleh Setiap Gedung Punya Cerita dari ribuan sumber yang didapat. Mengingat bahasannya yang sangat luas, rangkuman ini dipecah ke tiga bagian.

Bagian pertama tulisan ini membahas bangunan yang dibangun di dekade 1950an hingga 1970an, masa paling tidak stabil dalam sejarah Indonesia, tetapi juga merupakan masa jaya arsitektur modern dalam negeri.

Disclaimer: artikel ini ditulis ulang selama SGPC mendapatkan lebih banyak data dan gedung baru. Tulisan ini tidak sepenuhnya mewakili perjalanan arsitektur Indonesia secara garis besarnya versi komunitas arsitektur, yang mungkin anda bisa baca di luar blog ini. SGPC berjalan melihat yang terjadi di permukaan.


Iklan

1950an-1960an: Dikala Pemerintah Doyan Bangun Bangunan Mewah…….

Era Demokrasi Terpimpin ala Soekarno memang era yang sangat tidak bersahabat untuk bisnis, dan barangkali demi narsisme diri bangsa Indonesia di panggung dunia dengan keterbatasannya, dengan mengabaikan infrastruktur di pelosok-pelosok (jangankan kota besar lain), kita membangun sangat banyak bangunan besar dan mewah di beberapa lokasi di Indonesia, mulai dari hotel berlantai banyak hingga stadion temu gelang dengan 100 ribu tempat duduk kayu.

Gedung CTC
Gedung CTC, gedung tertua kedua yang dibahas blog ini. Foto mimin SGPC

Tapi jangan lupakan bahwa ini adalah era dimana mayoritas pemborong dan arsitek adalah anonim dan tidak menonjol, kecuali arsitek yang dekat dengan Presiden Soekarno. 100 persen gedung-gedung era 60an yang dibahas oleh blog ini, bergaya modernisme pertengahan. Firma arsitektur sangat sedikit: di dasawarsa ini, baru ada Indah Karya (IBIV), Sangkuriang, Arkonin dan Perentjana Djaja yang terlihat berkiprah.

Rumah dan bangunan jengki mimin simpan dulu, karena eksposnya masih lebih baik. Gedung tertua yang dibahas SGPC adalah Gedung Sentra Mandiri. Dirancang oleh arsitek Belanda A.W. Gmelig Meyling, gedung tersebut diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 6 April 1956. Gedung CTC yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1 Agustus 1958. Berlantai 5, gedung dengan gross floorplate 15 ribu meter persegi ini merupakan kantor banyak perusahaan milik PPI dan beberapa perusahaan swasta dari era 1960an sampai awal 1990an. Menjamurnya perkantoran di kawasan strategis menjadi penyebab turunnya pamor CTC, dan kini menjadi tempat uji nyali para penjelajah urban dan anak-anak pecinta dunia astral.

Di tahun yang sama, Indonesia mendapat jackpot dari Jepang: pencairan dana pampasan ratusan juta dolar AS dan mandat Asian Games 1962. Alih-alih membangun infrastruktur antarkota dan merenovasi stadion IKADA yang sudah representatif, pemerintah memilih membangun stadion megah di Senayan dan hotel-hotel mewah.

Iklan Hotel Hasta. Foto: Pola, Juli 1976

Stadion GBK belum akan dimasukkan dalam skup kerja Setiap Gedung Punya Cerita, sehingga mimin SGPC memutuskan mencari hal-hal kecil dari proyek Asian Games ’62. Keduanya sudah pernah menjadi hotel dan dihancurkan untuk proyek besar. Keduanya merupakan Press Centre dan Wisma Atlet Putri Asian Games. Press Centre, sesuai namanya, digunakan untuk menginap wartawan dan menyalurkan informasi Asian Games kepada dunia; sementara Wisma Atlet Putri sudah sesuai namanya, memiliki 18 unit untuk menampung 350 atlet putri dan ruang makan untuk 100 orang. Pasca Asian Games, keduanya menjadi hotel. Press Centre berganti nama menjadi Wisma Warta dan ditinggikan pada tahun 1968, dan kembali berubah nama pada 1969 sebagai Hotel Asoka.


Iklan

Hotel Asoka dibongkar pada tahun 1985 dan sekarang menjadi Plaza Indonesia. Wisma Atlet Putri, pasca-Asian Games, berganti nama menjadi Hotel Hasta, dan sempat mengemban kembali peran wisma atletnya pada PON 1977. Hotel Hasta tumbang di tangan sepasukan excavator pada tahun 1990, dan sekarang menjadi clubhouse Lapangan Golf Senayan.

Gedung BDN pra-renovasi. Arsitek: Perentjana Djaja
Foto: Majalah Konstruksi, Jan-Feb 1981

Tidak puas membangun Hotel Indonesia, Soekarno membangun pusat belanja, kantor bank, tiga hotel mewah lain di Pelabuhan Ratu, Yogyakarta dan Sanur untuk mendongkrak rasa bangga bangsa Indonesia. Ketiganya bernama Samudra Beach Hotel, Ambarrukmo Palace Hotel dan Bali Beach Hotel, kesemuanya dibangun serentak dari 1962-63 hingga selesai bersamaan di awal tahun 1966. Diantara ketiganya, Samudra Beach paling apes karena kurangnya tamu, sementara Ambarrukmo dibuat apes oleh habisnya kontrak 35 tahun dengan Keraton dan pada akhirnya dipegang swasta, sementara Bali Beach pernah hangus terbakar pada 1993.

Sarinah di Thamrin merupakan proyek ambisius Soekarno lain, kini dirancang oleh Perentjana Djaja (pada masa awal kehadirannya) dan Ohbayashi Gumi, dan dibangun oleh Adhi Karya, yang penanaman tiang pancang pertamanya terjadi pada tanggal 23 April 1963. Sarinah awalnya dibangun untuk mengakomodasi perdagangan UKM dan juga sebagai sarana untuk mendikte harga pasar. Hebatnya, pembangunannya bisa berjalan ditengah krisis politik dan ekonomi yang melanda bumi Nusantara; Sarinah Department Store mulai beroperasi sejak September 1966.

Era 1960an dibangun jua Gedoeng BNI dan Bank Indonesia Gambir, keduanya merupakan mahakarya Friedrich Silaban, Gedung STO Telkom Gambir yang lebih terkenal sebagai sasaran penyerbuan pemberontak dalam peristiwa 30 September 1965 yang gagal dan juga sarana-sarana diplomatik seperti Kedutaan Jerman Barat dan Inggris Raya di Menteng.

Lain dengan proyek swasta. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, era Soekarno identik dengan pembangunan sarana yang sebenarnya tidak perlu sebagai bangsa yang masih baru berdiri dengan anggaran cekak dan juga sangat memusuhi modal asing, bahkan modal lokal saja dibuat hidup segan matipun tak mau karena pemerintah pusatnya sendiri cuek bebek, hal ini tergambarkan dalam catatan sejarah Sahid Jaya Solo dimana pembangunan hotel 3 lantai dengan 50-an kamar yang biasanya makan waktu 7 bulan, menjadi 2 tahun karena langkanya bahan bangunan.

Dua gedung yang SGPC bisa bongkar tahun pembangunannya untuk awal era Orde Baru adalah Gedung Bank Dagang Negara (Wisma Mandiri I) dan Gedung Perbekalan Dalam Negeri Pertamina. Gedung BDN mulai dibangun pada tahun 1964, dan selesai dibangun 1969 hanya dengan 11 lantai dari rencana awal 18 lantai, sementara Gedung PDN Pertamina selesai dibangun pada tahun 1968 sebelum diperluas sebagai kantor Mahkamah Agung RI.


Iklan

1970an: Dari Minyak hingga PATA

Secara subyektif, era 1970an adalah masa jaya arsitektur di Indonesia, masa dimana desain arsitekturnya lebih banyak mengutamakan estetika dan keindahan tata ruang interior yang banyak mengadopsi nuansa dalam negeri. Hal ini didukung kuat oleh kebijakan ekonomi Orde Baru yang liberal.

Baik arsitek lokal dan asing menjajal dunia rancang bangun Indonesia, baik lewat kerjasama atau proyek sendiri-sendiri. Firma lokal pun mulai berjamuran, kebanyakan diantara mereka dibentuk oleh alumni proyek agung CONEFO yang sekarang Gedung DPR-RI, seperti Atelier 6, PRW Architects dan Gubah Laras. Firma besar lain yang juga berkiprah di era ini adalah Encona Engineering, Accasia hingga Gumarna.

Sementara firma arsitek asing era 1970an yang punya kiprah merancang bangunan tinggi di Indonesia terdiri dari Skidmore Owings & Merrill (SOM), Ed Killingsworth, Alfred A. Yee & Associates, Palmer & Turner (P&T Group), Wimberly Whisenand Allison Tong & Goo (WATG), Timothy Seow hingga Meiji Watanabe. Di luar Palmer & Turner dan Meiji Watanabe, rata-rata firma yang disebut hanya menyumbang satu karyanya di Indonesia.

Duta Merlin, sebelum mural urban menyelimuti wajah gedungnya.
Sinar Harapan, 25 Agustus 1976.

Tidak seperti gedung era 1960an yang berorientasi pada ideologi dan narsisme semata, gedung di masa ini mulai bergeser menjadi fungsional, estetis dan lebih bernilai secara komersil. Dibangun untuk mengantisipasi acara-acara besar, boom minyak akibat krisis minyak 1973-1974 dan, spesifik di Jakarta, kebijakan Ali Sadikin yang melarang perusahaan berkantor di rumah tinggal, terdapat puluhan hotel dan lusinan perkantoran yang dibangun di kota-kota di Indonesia.

Di era ini juga mulai muncul pertokoan-pertokoan swasta seperti Duta Merlin, Aldiron Plaza, Metro Pasar Baru dan Hayam Wuruk Plaza di Jakarta, Gedung Miramar di Bandung serta Pertokoan Simpang Lima di Semarang yang mayoritas diisi oleh kios-kios kecil dan supermarket. Salah satu fenomena pembangunan di bagian pusat belanja adalah diperkenalkannya model atrium di Glodok Plaza saat dibuka pada tahun 1977. Sayang, gedung tersebut terbakar pada tahun 1983.

Hotel merupakan sorotan utama awal 1970an, terutama karena adanya rapat PATA 1974. Cukup banyak penanam modal swasta nasional maupun asing yang memanfaatkan penuh momen ini – semisal dimulai kembalinya konstruksi Hotel Borobudur pada Januari 1970, dilanjutkan dengan Hotel Sahid Jaya pada Juli 1970, Hotel Aryaduta pada Agustus 1970 dan Hotel Marcopolo pada Oktober 1971. Dua diantaranya rampung dan bisa digunakan untuk menampung tamu PATA ’74 pada Maret 1974; satunya bisa selesai duluan sejak 1973, dan Hotel Aryaduta tidak sempat menikmati manisnya perhelatan PATA 74 karena baru buka sejak Juni 1974.

Di Bali sendiri, rapat PATA juga membawa berkah tersendiri. Di Sanur tahun 1973-74, tiga hotel baru yang sejarahnya terekam SGPC dibuka, mulai dari Bali Hyatt, Sanur Beach Hotel sampai Bali Seaside Cottage, tetangga Grand Bali Beach yang disatukan dengan GBB beberapa tahun berselang.


Iklan

Hotel Bumi Surabaya
Hotel Bumi Surabaya, wing 1979 rancangan Bruce Graham. Foto oleh mimin SGPC

Mengenai tujuan utama adanya perkantoran di tahun 1970an, memang cukup nasionalistis. Pertamina membangun cukup banyak proyek properti untuk kontraktor minyak, salah satunya Oil Centre Building, sekarang milik Dana Pensiun Pertamina, pada tahun 1971. Oil Centre dilengkapi oleh telepon dan layanan teleks yang langsung terhubung ke pasar internasional, setidaknya berhasil merayu pengebor minyak untuk berkantor di Indonesia. Disusul dengan Gedung Veteran RI pada 1973 dan Gedung Putera di Jalan Gunung Sahari Jakarta dua tahun kemudian.

Di luar Jakarta, Indonesia setidaknya sudah memiliki beberapa hotel berketinggian sedang alias mid-rise. Kejutan terbesar, Hotel Hyatt Surabaya (1979), sekarang Hotel Bumi Surabaya, yang dirancang oleh Bruce Graham dari Skidmore, Owings & Merrill. Di dunia arsitektur Graham lebih ngetop sebagai arsitek gedung tertinggi di dunia di zamannya, Sears Tower di Chicago, Amerika Serikat. Di Balikpapan arsitek Malaysia merancang Hotel Benakutai, tetapi dengan satu catatan, muncul versi lain yang menyebut Benakutai adalah rancangan lokal.

Fasilitas dasar berupa pendidikan tinggi dan kesehatan sayangnya blog ini jarang bahas. Hanya ada tiga, yaitu Universitas Atmajaya Semanggi (Han Awal & Partners), PPM Manajemen (Encona) dan R.S. Pertamina Cilacap (Tetra Hedra/Suwondo B. Sutedjo).

Class of ’76

Wisma Hayam Wuruk
Wisma Hayam Wuruk rancangan Alfred A. Yee & Associates (1976). Foto oleh mimin SGPC

Tahun 1976 adalah tahun yang paling banyak diwakilkan di blog ini dari dekade 1970an. Cukup banyak bangunan komersil maupun hotel yang selesai dibangun di tahun ini, yaitu 12 – 5 gedung perkantoran komersil, 2 hotel, 2 pertokoan, Balai Kota DKI, Kedutaan Soviet dan Apartemen Arjuna Plaza, dengan desain arsitektur yang sangat berwarna dan didominasi asing, mulai dari desain brutalist Wisma Hayam Wuruk (Alfred A. Yee & Associates) hingga lapis kaca Wisma Kosgoro (Jasa Ferrie/Raysoeli Moeloek). Menariknya, Wisma Kosgoro adalah rancangan lokal.

Tahun 1976 juga memunculkan dua hotel yang sampai sekarang menjadi pilihan utama para pelancong: Hotel Sultan dan Sari Pacific – keduanya (masing-masing oleh Edward Killingsworth dan Wimberly Whisenand Allison Tong & Goo) adalah rancangan arsitek Amerika dan bagi mereka, hotel tersebut masing-masing merupakan debut mereka berkarya dan berkontribusi memberi warna di blantika arsitektur Indonesia. Keduanya sudah dibangun sejak 1972. Walau sebagai hotel, Hilton dan Sari Pacific tidak dipersiapkan untuk PATA 1974.

Tahun itu juga memperkenalkan gaya hidup tinggal di apartemen pencakar langit. Ialah Arjuna Plaza, sebuah apartemen 36 unit di Slipi, Jakarta Barat. Perancangnya tidak banyak terdengar dalam blantika arsitektur Indonesia, tetapi apartemen yang kini merupakan asrama Bank Negara Indonesia tersebut telah menjelma menjadi inspirasi dalam industri real estate yang masih sedikit ragu masuk ke dunia hunian bertingkat banyak.

Balai Kota DKI adalah tolok ukur karya teknik Indonesia era 1970an dan juga menjadi patok batas tinggi gedung di ibukota Indonesia zaman itu; tetapi ada perbedaan pandangan dimana arsitek lokal secara kontemporer tidak pernah diakui.


Iklan

Gedung-gedung pemerintahan

GKN Denpasar
Gedung Keuangan Negara Denpasar, rancangan Encona Engineering. Foto mimin SGPC

Peningkatan ekonomi dan penduduk di masa Orde Baru juga memunculkan persoalan baru lain yaitu meningkatnya kebutuhan PNS dan konsolidasi organisasi lembaga negara. Sebelumnya, lokasi ditjen tercecer di seantero ibukota, menimbulkan inefisiensi dalam menjalankan tugas negara. Pelaksanaan pembangunan proyek-proyek perkantoran negara baik dari pusat maupun pelosok, didominasi arsitek dalam negeri dan BUMN pemborong. Proyek yang lebih kecil biasanya digarap pemborong lokal.

Di era 1970an, kantor pemerintah pertama yang terealisasi adalah Bina Graha yang dibangun sebagai kantor Presiden RI pada bulan April 1970, disusul dengan Gedung Kemenkominfo di Medan Merdeka Barat No. 9 di bulan Agustus 1970. Butuh beberapa tahun untuk kementerian dan lembaga lain menyusul membangun gedung tingginya, mulai dari Kementerian Luar Negeri (Januari 1971), Kementerian Dalam Negeri (Januari 1973) hingga Badan Pemeriksa Keuangan (selesai 1979) dan Gedung BKKBN di Jalan MT Haryono (1977-1980).

Secara regional, mimin baru meliput gedung di DKI dan Bali. Semisal kantor Gubernur DKI yang disebut sebelumnya, Dinas Pendidikan DKI (1979, dib. 2016), kantor Bank Indonesia (1972-73), Gedung Merdeka (1972-1976) dan Gedung Keuangan Negara di Denpasar (1973-1977). Kesulitan mencari sumber bisa dikatakan sangat berpengaruh dalam pembuatan profil gedung pemerintahan daerah.

Epilog

Era 1960an dan 1970an merupakan dekade yang keras dan penuh gejolak baik dari segi politik maupun segi ekonomi, tetapi era tersebut merupakan awal dari pembangunan gedung berlantai banyak di Indonesia, baik untuk tingkat pemerintah, niaga hingga perhotelan. Secara arsitektural, gedung di era tersebut sangat berani bereksperimen, dan menjadi awal dari lahirnya banyak firma arsitektur lokal dan kedatangan arsitek-arsitek asing berkiprah merancang karya-karya terbaiknya di bumi nusantara.

Kunjungilah Trakteer SGPC untuk mendapatkan konten-konten akses dini dan eksklusif, serta mendukung blog ini secara saweran. Bila anda perlu bahan dari koleksi pribadi SGPC, anda bisa mengunjungi TORSIP SGPC. Belum bisa bikin e-commerce sendiri sayangnya….


Bagaimana pendapat anda……

  1. I Nyoman Gede Maha Putra Avatar
    I Nyoman Gede Maha Putra

    Terimakasih, saya sedang menulis artikel tentang modernisme di Pulau Bali dan merasa sangat terbantu dengan artikel-artikel di blog ini
    salam kenal

    1. Salam kenal, bli Nyoman. Terima kasih sudah mengunjungi dan menjadikan SGPC referensi sejarah gedung di Indonesia.

      Bila ada pertanyaan lain, bisa kontak ke mimin.

  2. Bambang Bujono Avatar
    Bambang Bujono

    Tanya, Balai Sidang Jakarta ceritanya belum ada? Konon itu permintaan Ali Sadikin? Soejoedi arsiteknya? Salam dan trimss.

    1. Wah iya, ternyata komentar anda masuk kolom spam…..

      Jawabannya mimin sudah jawab di WA ya……

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *