Perpustakaan Nasional Republik Indonesia adalah lembaga negara nonkementerian yang bertugas mengurus pengelolaan Perpustakaan Nasional di Jakarta dan juga menetapkan standarisasi untuk pengelolaan perpustakaan baik swasta, daerah maupun sekolah. Perpusnas RI berkantor di dua tempat, yaitu di Gedung Perpusnas RI di Salemba dan di Medan Merdeka Selatan.
Bagian pertama dari dua bagian mengenai aset-aset penting Perpusnas di Jakarta adalah gedung lama di Salemba. Sebuah gedung perpustakaan yang megah dan ramping di zamannya yang dipasangkan dengan sebuah gedung zaman kolonial Belanda, gedung ini menjadi tempatnya kutu butu mencari kebutuhannya dari 1989 hingga 2018, saat akhirnya dipindah ke Jalan Medan Merdeka Selatan.
Sejarah Gedung Perpustakaan Nasional RI Salemba: ia mempersatukan empat perpustakaan
Sejarahnya dimulai dari bulan Mei 1980, saat Pemerintah Republik Indonesia akhirnya mendirikan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI, dulu disingkat PNRI) dari peleburan empat perpustakaan, yaitu Perpustakaan Museum Gajah, Perpustakaan Sejarah dan Politik, Pusat Pembinaan Perpustakaan bid. Bibliografi dan Deposit dan Perpustakaan Wilayah DKI Jakarta. Namun, tempatnya juga berpencar. Perpustakaan nasional pertama menumpang bekas rumah Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1, Museum Gajah dan Jalan Medan Merdeka Selatan No. 11 (Pusat Pembinaan Perpustakaan).
Ketiadaan dan kondisi perpustakaan nasional yang memprihatinkan saat itu juga direfleksikan oleh istri Presiden Soeharto, Siti Hartinah alias Tien Soeharto. Pada tanggal 8 Oktober 1968, ia menghadiri pameran surat kabar langka yang diadakan oleh Perpustakaan Museum di Museum Gajah, dan membaca salah satu konten koran yang dipamerkan, bahkan Ibu Tien sampai ke gudang tempat disimpannya koran-koran tersebut yang disebutnya dalam kondisi tidak terawat dan lembap. Pameran tersebut diadakan oleh pihak Perpustakaan Museum sendiri walau ternyata kurang mendapatkan perhatian dari instansi terkait; sebaliknya perhatian muncul dari Departemen Penerangan, Departemen Luar Negeri dan media massa yang ulasannya mampir ke telinga Cendana.
Yayasan Harapan Kita selamatkan Perpustakaan
Pada tahun 1971, Presiden Soeharto dan Ibu Tien kembali ke Perpustakaan Museum. Dalam kunjungan tersebut, Presiden memberikan perhatian istimewa pada keberadaan tumpukan buku-buku lama dan dokumen (baca: harian) bersejarah yang tersimpan di gudang yang sama. Maka, sebagai suami-istri yang baik, Presiden merestui dan mendukung penuh pembangunan Gedung Perpusnas, yang dilanjutkan ke bawahan-bawahan Yayasan Harapan Kita, salah satu yayasan bentukan Presiden.
Sayangnya, baru pada 1985 perencanaan gedung baru Perpusnas bisa dijalankan, karena secara lembaga Perpustakaan Nasional baru ada 9 tahun setelah kunjungan Presiden Soeharto ke Perpustakaan Museum dan masih harus mencari lahan yang cocok untuk gedung baru perpustakaan beserta masterplan yang disiapkan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Urgensinya makin terlihat dengan berbelitnya birokrasi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu (belum independen) sehingga Kepala Perpustakaan Nasional saat itu, Mastini Hardjoprakosa, harus memutar otak agar proyek tersebut terlaksana selekasnya.
Dalam pertemuannya dengan Ibu Tien, Mastini mengatakan bahwa selain masalah birokrasi, ia juga membeberkan anggaran yang diperlukan untuk membangun gedung baru itu, yaitu 10 milyar rupiah. Pihak Ibu Tien menenangkan pustakawan legendaris tersebut dan mengatakan bahwa Yayasan Harapan Kita-lah yang akan menanggung sepenuhnya konstruksi dan perencanaan gedung tersebut.
Memburu tanah di Jalan Salemba Raya, dan memulai konstruksi
Sebelum merencanakan kawasan Perpustakaan, Tien dan Yayasan Harapan Kita harus mencari lahan yang cocok untuk Perpusnas, dan harus memiliki luas minimal 1 hektar, yang di Jakarta memang barang langka. Hingga akhirnya Ibu Tien menghampiri sebuah gedung tua dengan halaman luas milik Direktorat Kesehatan Angkatan Darat ABRI.
Karena berminat, pihak yayasan melakukan lobi dengan ABRI dan akhirnya didapatkan secara sukarela. Tanah tersebut selanjutnya dikapling menjadi tiga; satunya menjadi jatah Departemen Sosial yang juga butuh gedung kantor, satunya dengan bangunan kuno adalah jatah Perpustakaan Nasional dan sisanya kami tidak ketahui, sekarang apartemen Menteng Square.
Baru pada 8 Desember 1985 penanaman kepala kerbau menandai secara seremonial pembangunan gedung Perpusnas RI Salemba, sekaligus pemugaran gedung lama yang dahulu merupakan sekolah gimnasium Raja Willem II. Pemugarannya berlangsung hingga pada akhirnya rampung pada bulan Desember 1986. Sementara pembangunan gedung perluasannya yang saat itu baru tiga blok selesai dibangun pada bulan Oktober 1988, sekaligus pemindahan koleksi-koleksi Perpusnas di eks Pusat Pembinaan Perpustakaan dan Museum Gajah ke Salemba.
Awalnya akan diresmikan sebelum Kongres Bulan Bahasa V, gedung Perpustakaan Nasional RI baru diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 11 Maret 1989. Dalam sambutannya, Presiden saat itu mendorong semangat masyarakat gemar membaca buku dan cinta dengan membangun perpustakaan, yang merupakan bagian dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasca-peresmian, Perpusnas menambah dua gedungnya sekitar tahun 1998 hingga 2000 (data dari arsitek gedung Perpusnas, baca di bagian berikutnya) dan 2003-2006 (data arsitek dan foto Google Earth). Sejak kebanyakan pelayanan Perpusnas dipindahkan ke gedung barunya di Medan Merdeka Selatan, pelayanan yang tersisa di Salemba hanya layanan surat kabar langka dan deposit.
Bangunan Belanda merampingkan sosok arsitektural Gedung Perpustakaan Nasional RI Salemba
Gedung Perpustakaan Nasional RI di Salemba terbagi ke dalam lima blok gedung modern dan bangunan bersejarah era Belanda, bekas sekolah gimnasium Raja Willem II di zaman kolonial Belanda. Gedung modernnya secara keseluruhan dirancang oleh Tripanoto Sri Konsultan dan dibangun oleh Wijaya Kusuma Contractors, namun kami tidak menjamin mereka adalah kontraktor blok A dan E dari perluasan Perpusnas Salemba. Sementara perancang dan kontraktor renovasi eks sekolah gimnasium juga berasal dari, masing-masing, Tripanoto Sri Konsultan dan Wijaya Kusuma Contractors.
Desainnya yang ramping disebabkan oleh keberadaan gedung kuno yang berdiri di tahun 1860 itu, yang harus dilestarikan sehingga harus memanfaatkan lahan yang tersisa, membentuk sebuah gedung berbentuk segi enam (heksagon), masing-masing blok B dan D berlantai 7 dan blok C berlantai 9. Saat berdiri, luas lantai total mencapai 8.228 m2 di luar luas lantai eks-Sekolah Raja Willem II yang luasnya 4.250 m2. Pasca-pembangunan Blok A dan E yang masing-masing berlantai 5 dan 9, luas lantainya, berdasarkan estimasi SGPC dari foto satelit Maxar, mencapai 16.298 m2.
Berdasarkan catatan Ibu Tien Soeharto, secara filosofis, keberadaan gedung baru dan lama yang disandingkan tersebut diartikan bahwa masa lampau yang bisa menjadi sumber referensi dan masa depan yang penuh tantangan dan beban.
Secara desain, eksterior gedungnya mengambil konsep asli arsitektur tropis Tanah Air – teritisan di setiap jendelanya kecuali untuk blok A yang lebih kontemporer.
Sementara untuk renovasi gedung era Belandanya, perancang mengganti dan menyegarkan beberapa bagian gedung seperti penggunaan genteng berglasir dan struktur baja pada atap. Penggunaan struktur baja dimaksudkan untuk mendukung genteng yang bebannya jauh lebih besar dari genteng biasa, serta penguatan struktur eksisting, karena saat itu gedung tersebut difungsikan sebagai administrasi dan aula Perpusnas.
Data dan fakta
Alamat | Jalan Salemba Raya No. 28A Senen, Jakarta Pusat, Jakarta |
Arsitek | Tripanoto Sri Konsultan |
Pemborong | Wijaya Kusuma Contractors |
Lama pembangunan | Desember 1985 – Oktober 1988 |
Diresmikan | 11 Maret 1989 |
Jumlah lantai | 11 lantai (A) 9 lantai (C) 7 lantai (B, D) 5 lantai (E) |
Signifikasi | Sejarah (khusus gedung lama) Pariwisata (obyek wisata perpustakaan utama di Indonesia) |
Referensi
- Abdul Gofur (1993). “Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.” Jakarta: Citra Lamtorogung Persada. Halaman 421-432
- “Seputar pemugaran gedung-gedung kuno: Ada yang kondisinya tidak laik untuk dihuni.” Majalah Konstruksi No. 108, Maret-April 1987, hal. 39-45
- “Presiden resmikan Gedung Perpustakaan Nasional: Kembangkan Semangat Cinta Buku dan Gemar Membaca.” Berita Buana, 13 Maret 1989, hal. 1
- “Presiden resmikan Gedung Perpustakaan Nasional.” Berita Yudha, 13 Maret 1989, hal. 1
- “Gedung Perpustakaan Nasional Diresmikan: Presiden Ketuk Hati Pengusaha Penerbitan Menyumbang Buku.” Suara Pembaruan, 11 Maret 1989, hal. 1
- “Perpustakaan Nasional mulai pindah ke Salemba Raya.” Suara Pembaruan, 5 September 1988, hal. 12
- fit; ton (1988). “Perpustakaan Nasional siap pindah.” KOMPAS, 15 Oktober 1988, hal. 1
- “Presiden resmikan Gedung Perpustakaan Nasional: Kembangkan Semangat Cinta Buku dan Gemar Membaca.” KOMPAS, 12 Maret 1989, hal. 1
- Sulistyo Basuki (2008). “Sejarah Perpustakaan Nasional RI: Sebuah Kajian.” Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Diarsip 28 Desember 2021.
- Halaman resmi Perpusnas RI, diakses 9 Maret 2023:
- Arsip halaman resmi Tripanoto Sri Konsultan, diarsip 2 September 2020 (arsip 1980-90, 1990-2000, 2000-10)
- Halaman resmi Wijaya Kusuma Contractors, diakses 10 Maret 2023 (arsip)
Leave a Reply