Jika anda membaca banyak literatur dan juga sumber-sumber daring mengenai kawasan Ring 1 Kepresidenan Republik Indonesia, banyak yang lebih mengenal Istana Merdeka, dan Istana Negara. Keduanya adalah bangunan era kolonial Belanda yang memiliki peran penting dalam perkembangan sejarah Republik Indonesia sebagai negara, yang dulunya adalah kediaman orang Belanda sebelum dialihfungsikan pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai kantor pusat Gubernur Jenderal dan penginapan khusus bagi tamu pemerintah.

Istana Kepresidenan
Kompleks Istana Kepresidenan. Foto oleh mimin SGPC

Kawasan inilah yang digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia, pasca-penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada tahun 1949 sebagai kediaman resmi Presiden Republik Indonesia dan kantor-kantornya. Di utara gedung ini adalah Istana Negara yang berfungsi sebagai tempat pertemuan antara Presiden dengan tamu-tamunya.

Di masa pemerintahan Orde Baru, Pemerintah Republik Indonesia membangun gedung-gedung tambahan untuk instansi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, seperti Dewan Pertimbangan Agung dan Kementerian Sekretariat Negara. Entah mengapa, gedung-gedung tambahan ini tidak pernah dianggap sebagai bagian sejarah dari kawasan Ring 1 yang bersejarah dan ketat ini.

Referensi prologue

  1. Desca Lidya Natalia; Monalisa (2017). “Mengenal Istana Kepresidenan: Jangan lupa tersenyum di Istana Negara“. ANTARA, 7 November 2017. Diakses 17 April 2021 (arsip)
  2. Kementerian Sekretaris Negara (2020). “Istana Merdeka: Sejarah Tempat Kediaman Resmi Presiden.” KOMPAScom Skola, 26 Januari 2020. Diakses 17 April 2021 (arsip)

Iklan

Bina Graha (1970)

Bina Graha
Foto oleh mimin SGPC

Gedung pertama di masa Orde Baru yang dibangun di kawasan ring 1 Kepresidenan Republik Indonesia adalah Bina Graha. Sebelum pemerintahan Orde Baru dibentuk, lahan tempat berdirinya Bina Graha dahulunya adalah sebuah hotel mewah bernama Hotel Dharma Nirmala, yang di masa kolonial bernama Hotel der Nederlanden.

Di masa pemerintahan Soekarno Hotel Dharma Nirmala pernah dijadikan markas pasukan Tjakrabirawa. Tetapi, di tahun 1968, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir. Sutami menyatakan Hotel Dharma Nirmala tidak layak pakai, sehingga memerlukan pembangunan gedung baru. Karena pemerintah melalui Departemen PUTL tidak memiliki dana, Pertamina, dibawah pengelolaan Dirut Ibnu Sutowo, ditugaskan membiayai pembangunan Bina Graha dengan kas perusahaan.

Pembangunan berlangsung setahun dari tahun 1969 hingga 1970, dan sebagai kontraktor utama adalah PT Wijaya Kusuma Contractors. Gedung dengan biaya konstruksi Rp 600 juta nilai 1970 (setara 86 milyar rupiah nilai 2021) itu diserahterimakan kepada Pemerintah pada tanggal 16 April 1970.

Saat dibangun, Bina Graha diperuntukkan sebagai kantor kerja Presiden, ruang pamer dan ruang sidang. Presiden Soeharto menempati Bina Graha selama 28 tahun masa jabatannya hingga mundur di bulan Mei 1998. Penerusnya, B.J. Habibie dan Abdurrachman Wahid, tetap menggunakan ruang kantor era Soeharto. Baru di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, Bina Graha dijadikan museum dan sanggar seni.

Era Susilo Bambang Yudhoyono dianggap sebagai masa terkelam Bina Graha. Per 2008, ruang kerja Soeharto dijadikan gudang. Hal tersebut terjadi karena baik Megawati dan SBY sudah menggunakan Istana Negara sebagai kantor kepresidenan mereka.

Gedung Bina Graha per April 2021 digunakan sebagai kantor Kepala Staf Presiden.

Referensi

  1. Ag (1970). “Presiden Resmikan Gedung Bina Graha 16 April”. KOMPAS, 15 April 1970, hal. 1
  2. Ag (1970). “Bina Graha Diserahterimakan.” KOMPAS, 17 April 1970, hal. 1
  3. Bina Graha, Kisahmu yang Berubah Sekarang.” KOMPAScom, 28 Agustus 2008, diakses 26 April 2021 (arsip)
  4. Halaman resmi Wijaya Kusuma Contractors, diakses 26 April 2021 (arsip)

Iklan

Gedung Dewan Pertimbangan Agung (1982)

Sebelum dibangun di dalam kawasan Istana Merdeka, Dewan Pertimbangan Agung berkantor di Jalan Medan Merdeka Utara No. 17, yang kini sudah masuk ke dalam bagian dari Istana Merdeka. Gedung ini adalah yang kedua dibangun sebagai bagian dari pengembangan kawasan Istana Negara sejak 1970an.

Gedung DPA terakhir ini dirancang oleh tim arsitek dari Encona Engineering, dengan Ir. Slamet Wirasondjaja sebagai perancang individu, mengusung gaya arsitektur brutalisme. Sepertinya tim arsitek Encona tidak mau Istana Merdeka disaingi oleh gedung DPA sehingga mereka menggunakan beton pracetak polos (tidak dicat) sebagai elemen eksteriornya. Kawasan ini memiliki rotunda yang menghubungkan gedung DPA dan sayap timur Gedung Sekretariat Negara dan kolom-kolom bergaya Romawi yang dimaksudkan agar desain arsitekturnya serasi dengan Istana Negara dan Istana Merdeka. Tinggi gedung ini hanya 4 lantai.

Komponen Gedung DPA sendiri terdiri dari blok DPA dan blok Sekretariat Negara, DPA menempati 3 bangunan di bagian selatan rotunda termasuk gedung I yang berbentuk 1/4 lingkaran sebagai ruang sidangnya, sementara 2 bangunan utara rotunda ditempati Sekretariat Negara, yang kemungkinan dipindahkan dari kantor di Medan Merdeka Barat setelah baru 4 tahun menempati gedung itu.

Gedung DPA dibangun oleh PT Pembangunan Perumahan mulai April 1979 (IAI: Mei 1979) hingga pembangunannya selesai dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 24 Mei 1982. DPA menempati gedung ini selama 21 tahun hingga akhirnya dibubarkan oleh amandemen Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 2002 dan pembubarannya difinalisasi pada bulan Agustus 2003.

Pasca-pembubaran DPA, gedung ini praktis kosong. Pemerintah berencana menempatkan kantor Wakil Presiden di bekas Gedung DPA, tetapi dibatalkan karena sistem keamanannya harus dibenahi, sebab di dekade 2000an aksi terorisme marak di Indonesia. Sejak 2004 gedung tersebut menjadi kantor pusat Komisi Pemberantasan Korupsi hingga Gedung Papan Sejahtera siap digunakan untuk lembaga anti-rasuah itu pada tahun 2007. Pasca pindahnya KPK, baru sejak 2012, gedung DPA direnovasi dan menjadi kantor Wakil Presiden RI. Sementara blok utara rotunda yang ditempati Sekretariat Negara tetap digunakan sebagaimana peruntukan awalnya sebagai kantor Sekneg.

Referensi

  1. “Kombinasi teknologi maju dan padat karya, diterapkan dalam pembangunan Gedung D.P.A.” Majalah Konstruksi, Juli 1982, hal. 33-54
  2. Ikatan Arsitek Indonesia (1983). “Buku Ke-1 Karya Arsitektur Arsitek Indonesia.” Jakarta: Ikatan Arsitek Indonesia. Halaman 65-66.
  3. afr (1982). “Resmikan Gedung DPA, Presiden Soeharto: Pembangunan Politik Tidak Kita Abaikan”, dalam buku “Jejak Langkah Pak Harto 29 Maret 1978 – 11 Maret 1983” oleh G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin, hal. 541. Jakarta: Citra Kharisma Bunda. Via Soeharto.co, diakses 17 April 2021 (arsip).
  4. Den (2003). “Anggota DPA Reformasi Dibubarkan“. Liputan 6 SCTV, 31 Juli 2003. Diakses 17 April 2021 (arsip)
  5. Achmad Zulfikar Fazli (2016). “Pemerintah Serahkan Gedung Lama KPK“. Medcom, 22 September 2016. Diakses 17 April 2021 (arsip)
  6. Aprilian Hermawan (2012). “Istana Wapres: Dari Merdeka Selatan Pindah ke Bekas Gedung DPA“. Bisniscom, 10 Februari 2012. Diakses 17 April 2021 (arsip)

Iklan

Gedung Sekretariat Negara (1984)

Gedung Sekretariat Negara (sayap barat)
Sayap barat saat sedang dicat. Foto: Kementerian Sekretariat Negara

Sementara dua tahun setelah sayap timur Gedung Sekretariat Negara/Kantor Wakil Presiden RI selesai dibangun, Sekretariat Negara membangun kembali perluasannya, kini di sisi barat Istana Negara dan Merdeka.

Gedung Sekretariat Negara sayap barat memiliki gugusan 3 gedung yang masing-masing berlantai 4 (luas lantai 7.500 m2), 5 (luas lantai 4.650 m2) dan 6 (luas lantai 11.100 m2). Harian Berita Buana menyebutkan bahwa Gedung Sekretariat Negara, masih dirancang oleh Encona Engineering dengan Ir. Slamet Wirasondjaja sebagai perancang individu, dirancang dengan konsep monumental, berwibawa dan tetap menghormati lingkungan Istana Merdeka. Konstruksinya berlangsung mulai Agustus 1981 hingga selesai keseluruhan pada Juli 1983.

Sayap Barat Sekretariat Negara diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 12 Januari 1984, disertai dengan pameran foto di lobi Gedung Setneg. Bersama Presiden Soeharto dan Ibu Negara Tien Soeharto, hadir pula Mensesneg saat itu Sudharmono, Sekretaris Kabinet Drs. Moerdiono dan Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Ir. Drs. Ginandjar Kartasasmita. Pemerintah RI menggelontorkan biaya Rp. 11,6 milyar (1983, setara Rp. 256,6 milyar nilai 2021) untuk membangun gedung tersebut. Saat ini, sayap barat Setneg ditempati Sekretariat Kabinet dan Kementerian Sekretariat Negara.

Sayangnya, citra gedung Setneg sayap barat saat ini ikut dirusak romantisme publik pada Societiet Harmonie yang kini menjadi bagian dari parkiran Setneg sayap barat dan perluasan Jalan Majapahit. Gedung tua tersebut dibongkar setahun setelah Setneg sayap barat diresmikan penggunaannya.

Referensi

  1. ch (1984). “Peresmian Gedung Baru Sekretariat Negara”. KOMPAS, 13 Januari 1984, hal. 1
  2. W-15 (1984). “Presiden Resmikan Gedung Baru Sekretariat Negara di Jalan Veteran”. Berita Buana, 13 Januari 1984, hal. 1
  3. Ade P. Marboen (2013). “Kisah Gedung Sekretariat Negara“. ANTARA, 21 Maret 2013. Diakses 26 April 2021 (arsip)
  4. in (1984). “Gedung Baru Setneg Ditinjau Presiden dan Ibu Negara.” Surabaya Post, 12 Januari 1984

Lokasi

Google Translate:

Bagaimana pendapat anda......

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Banyak tulisan gedung yang SGPC buat sebelum dijadwalkan terbit. Penasaran? Dukung kami via Trakteer.