Setiap Gedung Punya Cerita

Blog Sejarah Gedung-Gedung Indonesia

Iklan





Arsitektur brutalist ngetren gegara film, apakah ada di Indonesia?

Ditulis pada tanggal

oleh

Terbaru:

Arsitektur brutalist adalah sebuah langgam arsitektur yang populer di negara-negara maju pada era 1960an hingga akhir 1970an, dikenal dengan bentuk bangunannya yang berkesan kokoh dan kuat, haus beton dan minimalis dengan menonjolkan ekspresi strukturalnya.

Namun, brutalist dikenal sebagai langgam yang membuktikan terbelahnya selera masyarakat umum dengan arsitek, karena dalam sejarahnya arsitektur ini banyak dikritik karena dinilai memberi nuansa kelam dan otoriter serta membebani pemilik bangunan dengan biaya perawatan yang mahal.

Di Indonesia, hanya orang tertentu yang tahu dan paham dengan arsitektur brutalist. Sementara di kalangan masyarakat umum, kami yakin kata “brutalist” ini merujuk pada sebuah film Hollywood. Orang yang sama yang menganggap Setiap Gedung Punya Cerita adalah sebuah novel karangan karakter novelis di film garapan Nicolas Saputra.

Artikel ini akan menjelaskan, dengan pemahaman terbatas mimin SGPC dalam bidang arsitektur, arsitektur brutalist di Indonesia dan subyek-subyek yang bisa diidentifikasi menganut langgam arsitektur brutalist.

Penelusuran kilat

Apa itu arsitektur brutalist?

Arsitektur brutalist bukanlah arsitektur yang mudah dipahami nalar kebanyakan orang. Sudah dijelaskan di awal paragraf artikel ini bahwa langgam ini terbukti membelah ikatan antara arsitek dengan masyarakat, yang sepertinya ingin dilekatkan kembali oleh arsitektur-arsitektur bernuansa populis.

Kata “brutalist” muncul pada tahun 1950an, tetapi ada dua versi.

Nybrutalism Asplund (1951)

Villa Gรถth di Uppsala, Swedia, karya Bengt Edman dan Lennart Holm. Asal usul “brutalisme” yang lebih mirip rumah perkampungan. Foto: Sebastian F./Wikimedia Commons

Pada tahun 1950an arsitek kenamaan Swedia, Hans Asplund, mencetuskan istilah nybrutalism (brutalisme baru) dalam pendapat mengenai sebuah vila bernama Villa Gรถth karya Bengt Edman dan Lennart Holm untuk seorang taipan farmasi Elis Gรถth. Rumah tersebut selesai dibangun pada 1950, dengan penampilan yang terlihat “setengah jadi” – bata merah, tulangan besi dan beton kasar yang tidak dipoles.

Pasca-komentar Asplund, menurut seorang fotografer bernama Eric de Marรฉ, arsitek-arsitek Inggris yang datang ke Swedia demi menengok Vila Gรถth, selanjutnya memboyong label nybrutalism itu ke Inggris Raya. Arsitek Inggris pertama yang menggunakan istilah itu adalah pasutri arsitek Alison dan Peter Smithson yang memperkenalkan kata “brutalist” untuk bangunan sekolah karya mereka di tahun 1950an.

SMA Smithdon di Hustanton, Inggris timur, karya pasutri arsitek Alison dan Peter Smithson. Promotor arsitektur brutalis Inggris. Foto: Christopher Hilton/Geograph UK/CC-BY-SA 2.0

Beton brut dari pecandu beton Le Corbusier (1953)

Berlin Unite – salah satu dari beberapa Unitรฉ d’Habitation karya Le Corbusier yang terealisasi. Foto: A. Savin/Wikipedia

Versi kedua merupakan gabungan definisi versi Asplund dan perkembangan mengenai dedengkot arsitektur modern dunia yaitu Deddy Corbuzier Le Corbusier. Corbusier adalah pecandu beton: pada 1914 bersama dengan Max Dubois meneliti teknologi beton bertulang. Ia pernah berkata kalau beton bertulang “punya sumber besar, variasi yang banyak dan semangat keluwesan” (reinforced concrete provided me with incredible resources, and variety, and a passionate plasticity). Secara tak langsung ia melihat peluang besar dari kemunculan beton.

Namun, penerapan “brutalisme” gaya Corbusier baru kelihatan setelah Perang Dunia II. Tidak tanggung-tanggung, bukan satu melainkan dua bangunan, Unitรฉ d’Habitation di Marseille dan Maisons Jaoul di pinggiran Paris, Perancis. Keduanya menonjolkan elemen beton cetak polosnya alias bรฉton brut.

The New Brutalism, dan masa-masa jayanya

Gaya arsitektur pilihan banyak arsitek Inggris era 1960an. Royal National Theatre di London, ibukota Inggris Raya, karya Denys Lasdun dan Peter Softley. Raja Charles III – saat masih bergelar Pangeran – menyebut gedung ini “reaktor nuklir”. Foto: Anthony O’Neil/Geograph UK/CC-BY-SA 2.0

Dari kedua asal usul tersebut, pada 1955 seorang penulis arsitektur Inggris Reyner Banham mulai menyebut “brutalisme” “gerakan seni asli Inggris pertama” yang “berasal dari seni Art Brut dan bรฉton brut-nya Corbusier.” Penjabaran tersebut tertuang di artikel The New Brutalism yang naik cetak di majalah Architectural Review terbitan 9 Desember 1955; dan dicetak lagi di buku karangannya sendiri, The New Brutalism, pada 1966.

Pada masa jayanya, brutalisme menjadi pilihan arsitek untuk merancang bangunan fasilitas umum, perumahan rakyat, kampus-kampus, hingga gedung parkir di negara-negara maju terutama Inggris Raya dan Jerman maupun berkembang (spesifik: Brazil, RFS Yugoslavia dan Uni Soviet). Bahkan genre arsitektur ini mengorbitkan nama-nama seperti Paul Rudolph yang selanjutnya merancang bangunan perkantoran Grup Intiland di Tanah Air.

Kompleks apartemen Richter (Richterovi neboderi) di Zagreb, ibukota Kroasia karya Berislav ล erbetiฤ‡, Ljuba Iveta, Vjenceslav Richter dan Olga Korenik. Di foto ini terlihat corat-coret tangan-tangan jahil yang sering merusak pemandangan, indikasi keruntuhan kehidupan perkotaan (urban decay) dan menjadi salah satu alasan rusaknya citra arsitektur brutalist di kalangan akar rumput. Foto: Evildee5432/Wikimedia Commons/CC-BY-SA 4.0

Namun, persepsi masyarakat dan pengelola bangunan jauh berbeda dengan yang dilihat para arsitek. Di mata masyarakat negara-negara maju, brutalisme identik dengan ideologi otoriter negara sosialis, keputusasaan, kehidupan yang suram dan perancangan yang buruk; sementara di bagian keuangan, arsitektur brutalist dihantui tingginya biaya perawatan bangunan yang harus ditanggung pengelola agar layak ditempati. Namun tampilan yang kokoh, unik dan minimalis menjadi perhatian para arsitek sehingga jenis arsitektur ini menerima pandangan positif di literatur-literatur arsitektur.

Karakteristik umum brutalisme antara lain, seperti yang disampaikan beberapa referensi antara lain ketiadaan ornamen, permukaan kasar dan tidak dipoles (atau jeleknya dibaca “mangkrak”), bentuk ekspresif dan tidak biasa dan bentuk yang masif, berkesan kokoh dan tangguh.

Anda bisa menemukan brutalisme di Indonesia!: Penjabaran singkat gedung-gedung brutalist

Datang telat (1972-73)

Arsitektur brutalist datang terlambat ke Indonesia karena kebijakan arsitektur tropis yang dicanangkan Presiden Soekarno saat itu, belum ditambah gejolak politik dan ekonomi yang sangat tidak kondusif untuk melaksanakan kegiatan usaha apapun.

Gedung PPM Bina Manajemen 1992 Jakarta 1990an
Gedung Bina Manajemen pra-renovasi, awal 1992. Bangunan brutalist pertama di Indonesia. Foto: Sudibyo/Majalah Prospek, 13 Juni 1992

Produk arsitektur brutalist terawal pertama yang masuk Indonesia sebenarnya adalah produk kebanggaan anak bangsa juga. Ia adalah Gedung PPM Manajemen (Bina Manajemen) yang dirancang oleh Ary Mochtar Pedju dari biro arsitek Encona Engineering. Gedung berlantai empat tersebut selesai dibangun 1972.

Awalnya tembok gedung ini tidak pernah dipoles betonnya agar mengurangi biaya perawatan lapisan luar serta terdapat rongga yang merupakan produk dari triplek untuk mencetak beton. Sayangnya, eksterior gedung ini mayoritas telah dicat.

Gedung Kedutaan Besar Perancis, 1994, Jakarta tempo dulu
Gedung Kedutaan Besar Perancis lama dari Jalan M.H. Thamrin, 1994. Foto oleh Majalah Konstruksi

Setahun kemudian, berdiri sebuah bangunan mahakarya arsitektur modern tanah air Soejoedi Wirjoatmodjo, yakni Gedung Kedutaan Besar Perancis di Jalan M.H. Thamrin yang berlantai lima.

Gedung ini juga berlanggam brutalisme – menurut artikel Majalah Cipta edisi 1974 – untuk menyerasikan tampilan dengan pusat perbelanjaan Sarinah, tetapi di kalangan arsitek, muncul klaim dari Budi A. Sukada (dalam buku “Membuka Selubung Cakrawala Arsitek Soejoedi”, 2012) yang mengaitkan gedung ini dengan karya-karya Le Corbusier (candu beton) a.l. Gereja Notre-Dame du Haut di Ronchamp, Perancis dan kantor pemda Punjab dan Haryana di Chandigarh, India. Sayangnya gedung ini dibongkar pada tahun 2012.

Hotel Hyatt Regency Sanur
Hyatt Regency Bali di Sanur. Keberadaan tanaman rambat setidaknya meluruhkan keangkeran arsitektur brutalist yang disebut KOMPAS seperti benteng ini. Foto oleh mimin SGPC

Di kampung halaman mimin, terdapat sebuah hotel di Bali yang dirancang dalam bentuk arsitektur brutalist, yaitu Hyatt Regency Bali di Sanur. Hotel yang nuansa brutalisnya hanya ada pada bangunan kamar (bukan bangunan lobi yang lebih tradisional) yang bentuk gedungnya disebut oleh harian KOMPAS (15 Oktober 1973) seperti benteng – merupakan karya dari Kerry Hill dari Palmer & Turner. Ia selesai dibangun pada tahun 1973.

Brutalist pencakar langit (1974-1977)

Terdapat dua bangunan tinggi era 1970an yang menerapkan gaya arsitektur brutalist antara lain Hotel Aryaduta Menteng dan Wisma Hayam Wuruk di Jakarta. Gedung yang disebut terakhir adalah bangunan brutalist tulen yang akhirnya masuk buku SOS Brutalism.

hotel aryaduta menteng jakarta 1970an
Hotel Aryaduta sebelum renovasi punya aura brutalist.
Foto: tidak diketahui, disadur dari Welcome to Jakarta terbitan Editions Delroisse Montreal

Hotel Aryaduta Menteng dibangun dalam dua tahap, pertama 1970 hingga 1974 dan 1985-1987. Tahap pertama dirancang oleh Wirachai Wongpanit asal Thailand, dengan tampilan brutalist-nya yang sarat beton polosan. Namun, tampilan lama tersebut telah tiada dengan renovasi dan perluasan yang dilaksanakan oleh konsortia Chhada Siembieda & Associates, Shimizu dan Wiratman & Associates pada 1985-1987.

Wisma Hayam Wuruk dari Hotel Yello Harmoni, Juni 2023
Wisma Hayam Wuruk dilihat dari Hotel Yello Hayam Wuruk. Foto oleh mimin SGPC

Kedua adalah brutalist tulen, yaitu Wisma Hayam Wuruk. Gedung berketinggian 64 meter dengan 15 lantai tersebut adalah karya dari biro arsitek Alfred A. Yee & Associates yang dibangun dari 1974 hingga sekitar 1976. Gedung ini memiliki penampilan yang melebar ke atas untuk memaksimalkan luas lantai. Berbeda dengan beton-beton bugil dari awal 1970an, eksterior Wisma Hayam Wuruk dipracetak.

Eksterior beton telanjang Wisma Hayam Wuruk akhirnya dicat pada tahun 2016.

Pemerintah dan BUMN menikmati candu betonnya sendiri (1977-1984)

Sejak 1977 hingga 1994 – betul, 1994, Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan badan-badan usaha milik negara menjadi peminat terbesar arsitektur brutalisme di Indonesia dan Encona Engineering merupakan spesialis penerapan arsitektur tersebut. Khusus untuk bagian ini kami fokuskan pada proyek yang didirikan dari 1977 hingga 1984 – kecuali bangunan niaga.

Gedung Keuangan Negara Denpasar
Dari sudut ini, kita bisa melihat bentuk dari kolom miring. Foto oleh mimin SGPC

Kembali ke kampung halaman blog ini, yaitu Pulau Bali. Pada tahun 1977, gedung karya Encona Engineering di Denpasar yaitu gedung pertama Gedung Keuangan Negara Niti Mandala berlantai 3 selesai dibangun, menonjolkan sisi miring gedung tersebut dan beton ekspos dengan paduan arsitektur Bali. Nyaris mirip dengan karya Kerry Hill, tapi Kerry memilih penerapan ornamen Balinya di tempat lain.

Setelah GKN Denpasar, sepertinya Encona masih merancang bangunan brutalist untuk pemerintah pusat maupun BUMN, mulai dari kantor pusat Hutama Karya (1977, dibongkar 2017), Kementerian ESDM (1981, eksterior ditutupi panel aluminium) hingga kompleks gedung perluasan Istana Merdeka (1982-1983, dicat putih).

Gedung yang tim SGPC terka-terka sudah tercerahkan – Foto: Toky/Majalah Konstruksi

Di tahun 1978 lahir gedung pertama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional di Jalan M.T. Haryono, sekarang dealer Nissan. Ketika berdiri sebagai kantor BKKBN, gedung karya Herman Sudjono yang merupakan dosen arsitektur di Institut Teknologi Bandung itu memiliki tampilan brutalist dengan elemen sirip sebagai reflektor cahaya. Sebagian pihak saat itu memuji tampilan arsitektur gedung ini karena perpaduan arsitektur modern dengan fungsi tradisional.

Sayangnya, sejak 2000an, setelah dibeli Indomobil, penampilan eksteriornya berubah mengikuti standar desain dealer Nissan.

Gedung perluasan Istana Merdeka dan bekas Gedung Dewan Pertimbangan Agung karya Slamet Wirasondjaja sebenarnya cukup menarik. Alasan penerapan arsitektur brutalist adalah agar tidak menyaingi perhatian dari Istana Negara/Istana Merdeka; dan secara arsitektur dibuat seirama dengan istana era kolonial Belanda plus memberi kesan kokoh dan monumental.

Setelah berdirinya gedung baru di Istana Negara/Merdeka, selera arsitektur pemerintah/BUMN ikut bergeser ke gaya modern. Namun, masih ada sisa-sisa brutalisme yang diterapkan oleh instansi pemerintah/BUMN. Sebut saja Gedung Pusat Manajemen PT Dirgantara Indonesia karya Adhi Moersid dari Atelier 6, yang desainnya merupakan pengejawantahan dari visi PT Dirgantara Indonesia, selesai 1985. Namun, kami di SGPC sebenarnya merasa gedung PTDI “hanya brutalist dalam konsep” karena pemakaian tegel keramik untuk eksterior.

Brutalisme “dalam konsep saja” di Indonesia dan senjakala

Penerapan brutalisme di bangunan-bangunan niaga di Indonesia mulai ditinggalkan pada pertengahan 1980an, karena bertepatan dengan era tersebut lahir arsitektur pascamodern yang menggebrak dengan permainan bentuknya yang lebih berani dan pemilihan bahan bangunan yang lebih canggih dan beragam.

Tetapi itu tidak menyurutkan arsitek lokal maupun asing menerapkan arsitektur tersebut ke proyek-proyek di Indonesia. Kita sudah menyinggung Gedung Pusat Manajemen Dirgantara Indonesia yang juga kita sebut “Brutalist dalam konsep” karena penggunaan eksterior keramiknya.

Puri Matari tempo dulu
Puri Matari 1, apakah ini bisa disebut menganut brutalisme. Gedung ini awalnya dicat putih. Foto oleh Matari Advertising/Majalah SWA No. 2/VIII, Mei 1992

Di tahun 1984 berdiri bangunan berlantai 4 karya Encona Engineering lainnya yang merupakan kantor dari biro iklan Matari Advertising; namun kami meragukan apakah ini memang brutalist dalam konsep saja atau tidak, karena pemakaian cat warna putih dan kurangnya literatur mengenai gedung ini. Tetapi anggap saja gedung ini brutalist dalam konsep saja.

Tak hanya kantor Matari Ad, ada empat bangunan lain hanya merupakan bangunan berkonsep brutalist tetapi agak sulit disebut menganut brutalisme karena faktor penggunaan cat atau keramik. Dua diantaranya adalah Wisma Tugu (1986-1990, karya Parama Matra Widya) dan Intiland Tower di Jakarta (1983-1987) dan Surabaya (1996-1997) karya Paul Rudolph.

Wisma Tugu 2 Jalan HR Rasuna Said Jakarta
Gedung Wisma Tugu yang pilihan warnanya tidak monoton. Foto oleh mimin SGPC.

Walau Wisma Tugu berkesan brutalist karena memiliki kesan monumental dan bentuknya yang tidak biasa, pilihan warnanya yang lebih beragam, sebagai representasi dari identitas asuransi tersebut membuat kompleks dua bangunan di kawasan HR Rasuna Said ini lebih layak disebut bangunan pascamodern.

Intiland Tower Jakarta, 2018
Intiland Tower. Tegel keramik membuat gedung ini sulit disebut sebagai karya brutalist Paul Rudolph. Mungkin dari faktor historis Rudolph sajalah ia menerima penilaian brutalist. Foto oleh mimin SGPC

Sementara Intiland Tower karya Paul Rudolph kerap disamarkan dengan tendensi arsitektur modern tropis di literatur nasional maupun internasional; identitas brutalist kedua gedung Intiland kemungkinan karena sudut pandang terkait dengan karya-karya arsitektur Rudolph sebelumnya.

Hanya ada dua gedung yang bisa dibilang secara bonafid menganut langgam brutalist saat berdiri di periode 1990an, yakni Gedung Waskita Heritage dan Bank Indonesia Semarang. Sebelum direnovasi pada 2019, Gedung Waskita Heritage (1991) rancangan Wierdani Soeroso dari Atelier 6 ini memiliki eksterior brutalist yang sebenarnya adalah hasil dari perencanaan dari cetakan beton, diperkuat dengan pemilihan kaca berwarna cokelat gelap.

Gedung Bank Indonesia Semarang
Gedung Bank Indonesia Semarang. Foto oleh mimin SGPC

Sementara Gedung BI Semarang (1993) terkadang punya sisi-sisi pascamodern mengingat filosofisnya terilhami dari candi-candi di Jawa Tengah. Sisi brutalistnya tampak dari nuansa beton tak berpoles yang sesungguhnya menggunakan beton berserat (glass fibre-reinforced concrete).

Pasca-berdirinya gedung BI Semarang, salah satu karya brutalist terakhir yang SGPC nilai adalah juga kantor Bank Indonesia di Sampit, yang juga memiliki elemen pascamodern. Praktis, brutalisme sudah ditinggalkan di Indonesia.

Brutalist datang kembali melalui rumah-rumah tinggal

Pada dasawarsa 2010an, langgam arsitektur yang kerap dicemooh masyarakat dunia ini kembali diterapkan arsitek-arsitek Indonesia. Tidak seperti biasanya, penerapannya kembali melalui jalan sunyi bernama rumah-rumah tinggal milik orang-orang yang mengerti arsitektur brutalist.

Pertama adalah kediaman resmi Andra Matin di Jalan Manyar I kawasan Bintaro Jaya, Jakarta Selatan (2013), dan rumah milik seorang bule bertajuk “A Brutalist Tropical Home in Bali” di Desa Canggu, Kab. Badung, Bali (2019) karya Dan Mitchell bersama dengan biro arsitek Pattisandhika.

Kedua kediaman ini membuktikan bahwa seburuk apapun arsitektur brutalist, masih ada arsitek maupun klien yang berminat pada langgam yang haus beton dan mengerikan ini. Bahkan membuktikan bahwa arsitektur brutalisme bisa dikreasikan untuk menyesuaikan dirinya pada iklim tropis Indonesia.

Ketiga adalah gedung Ali Sadikin di kompleks Taman Ismail Marzuki, selesai dibangun sekitar 2019an. Lagi-lagi ini adalah karya Andra Matin, yang menurutnya diilhami oleh not lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki; serta bentuknya yang terinspirasi oleh kapal phinisi.

Apa kata SGPC mengenai arsitektur brutalist

Harus diketahui arsitektur brutalist secara global mulai digandrungi fans arsitektur, tetapi sarat dengan pencemoohnya, sementara di kawasan (Asia Tenggara) dan di dalam negeri Indonesia, peminatnya cukup banyak terkhusus arsitek.

Bagi kami, arsitektur brutalist merupakan bumbu tambahan arsitektur Indonesia yang tidak banyak dilihat masyarakat, bahkan membutuhkan uluran tangan seorang yang bukan arsitek untuk menjelaskan arsitektur brutalist di tanah air beserta eksistensinya.

Arsitektur ini, seperti yang dijelaskan di awal-awal paragraf, sulit dipahami masyarakat awam, karena berdasarkan pengalaman mimin blog ini, bangunan brutalist memiliki kesan beton yang tidak dipoles dengan cat berwarna warni atau tidak diselesaikan secara serius, sehingga menciptakan kesan adanya korupsi. Beberapa bangunan brutalist awal akhirnya dilapisi cat atau panel aluminium oleh ketidakpahaman pengelola bangunannya.

Diantara bangunan brutalist yang ada, mimin kurang menyukai Gedung Ali Sadikin. Panjang, sosoknya besar dan berbentuk seperti kapal beton, sehingga tanpa sadar Andra Matin menciptakan sebuah Karel Doorman, kapal perang Belanda, di pusat kebudayaan modern Tanah Air – Taman Ismail Marzuki.

Dan ada catatan penutup yang menarik: arsitekur brutalist disenangi juga oleh para seniman dan musisi lagu techno. Anehnya, SGPC membuat artikel ini sembari menyetel lagu Metallica dan Ahmad Albar, bukan lagu techno murahan.

Referensi tambahan

  1. Reyner Banham (1966). “The New Brutalism: Ethic or Aesthetic?” London: The Architectural Press
  2. Brutalism in architecture.” Royal Institute of British Architects, diakses 23 Maret 2025 (arsip)
  3. Kristin Hohenadel (2024). “What is Brutalist Architecture?” The Spruce, 20 September 2024 (update terbaru). Diakses 23 Maret 2025 (arsip)
  4. Brutalist Architecture.” The Art Story, diakses 24 Maret 2025 (arsip)
  5. Revisit: AM Residence Karya andramatin Dirancang Bersama Alam.” Archify, 7 November 2019. Diakses 24 Maret 2025 (arsip)
  6. Lizzie Crook (2019). “Patisandhika and Daniel Mitchell complete A Brutalist Tropical Home in Bali.” Dezeen, 7 Februari 2019. Diakses 24 Maret 2025 (arsip)
  7. Rifqi Khansyah (2024). “Kajian Konsep Arsitektur Metafora dalam Bangunan Taman Ismail Marzuki (Gedung Ali Sadikin).” Archimane: Journal of Architecture and Human Experiences, Vol. 3 No. 1, 13 November 2024. Diakses 24 Maret 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *