Setiap Gedung Punya Cerita menemukan pelbagai tulisan kritis mengenai arsitektur Indonesia, mulai dari tahun 1980an sampai 2000an, di harian-harian yang dibaca oleh kalangan umum. Kritik pertama dilayangkan oleh Suharso Monoarfa di harian KOMPAS (20 Januari 1981), kedua merupakan kritik yang lebih keras dan cenderung chauvinist, terbit di harian Republika pada 17 Oktober 1993, dan yang ketiga mengenai pembangunan bangunan tinggi di Jakarta oleh Marco Kusumawijaya, di harian KOMPAS terbitan 19 Maret 2000. Ketiga tulisan arsitektur ini akan dibahas dan dikritik dari segi pandangan dari data-data yang dikumpul oleh SGPC.
“Estetika mesin” – Republika 17 Oktober 1993
Artikel ini bisa dibilang sangat chauvinist, nasionalis, membakar emosi bahkan ngawur. Seorang ketua kehormatan Ikatan Arsitektur Indonesia Jawa Tengah kala itu, dalam sebuah seminar di Jakarta pada 13 Oktober 1993, mengeluarkan pernyataan yang bisa saja menyinggung komunitas arsitektur kontemporer dan bahkan tim SGPC. Pernyataan pedas tersebut menusuk konsultan Barat, arsitek-arsitek Indonesia, pemodal dan pengembang gedung yang bersangkutan, hingga masyarakat. Artikel lengkap tersebut bisa dibaca disini. Di artikel ini mimin menyembunyikan identitas siapa yang membuat pernyataan tersebut karena berpotensi memfitnah.
Pernyataan pakar arsitek ini terkesan sangat meremehkan kerja arsitek-arsitek lokal dan luar negeri. Pertama, tudingan gedung di Jakarta tak ramah lingkungan juga punya satu kelemahan: mengabaikan masalah lingkungan. SGPC berpandangan masalah panasnya jalanan Jakarta lebih karena polusi udara dan kurangnya perindang, bukan hanya karena koil-koil pemanas (baca: lapis kaca). Serangan sejenis juga dilancarkan perancang Sequis Centre terhadap Wisma Kosgoro melalui artikel di Majalah Konstruksi edisi Februari 1980. Ironisnya, Wisma Kosgoro dirancang oleh arsitek Indonesia.
Kedua, tuduhan bahwa Indonesia pusatnya limbah arsitektur. Salah fatal kalau dibilang Indonesia itu tempat sampah arsitektur, bahkan di mata akar rumput. Bagaimana dengan gedung karya Soejoedi Wirjoatmodjo yang dipuji publik? Atau kejeniusan Paul Rudolph dengan Wisma Intiland-nya sehingga dia sering disambut bak bintang Hollywood di mimbar-mimbar arsitektur di Indonesia? Tak semua bangunan yang dibangun di Indonesia itu sampah. Sebaliknya, Gran Melia Jakarta rancangan Emilio Nadal dan Hotel Le Meridien rancangan William Tabler, menurut pengamatan akar rumput SGPC tak kalah unik dan menarik dilihat. Tetapi ia hanya memberi syarat gedung bagus di Indonesia, yaitu “berwawasan lingkungan”. Pada akhirnya, tidak ada gedung sebagus Gran Melia atau Wisma Intiland yang bisa dikatakan berwawasan lingkungan menurut penceramah tersebut.
Selain itu, ketiga, tuduhan bahwa “yang diimpor karya murahan. Konsultan asing, yang kebetulan lagi sepi proyek, tak repot membuatnya. Mereka cukup mengeluarkan beberapa desain yang pernah dibuat dari database komputernya. Mereka mencomot bagian tertentu desain itu, lalu menggabung. Jadilah desain baru yang “pas” buat Indonesia” merupakan bentuk prejudis yang sangat fatal. Sangat menyepelekan arsitek asing dan lokal yang kerjasama merancang gedung dan berbagi ilmu dengannya. Ada kemungkinan pernyataan ini menyorot penggunaan computer-assisted design (CAD) yang digunakan orang-orang arsitek di firma-firma besar.
Tapi menyebut konsultan asing mengimpor karya murahan itu jelas kurang ajar namanya. Konsultan mendengar dan mengeksekusi apa permintaan kliennya. Kalau permintaan kliennya liberal, anda mendapatkan keleluasaan membuat karya seni. Atau kalau kliennya punya selera arsitektur yang bagus, hasilnya juga karya seni. Itulah yang tercipta pada Wisma Intiland.
Sebagai penutup subbagian opini ini, inilah opini arsitektur paling kasar, paling buruk, sangat menggeneralisir, dan merendahkan yang pernah mimin dan anda baca.
Kuliah Arsitektur Kilat – KOMPAS, 20 Januari 1981
Artikel kedua yang SGPC angkat, rangkum dan kritisi adalah artikel lawas dari tahun 1981. Adalah Suharso Monoarfa, ketika ditulis sudah menjadi kepala BAPPENAS, yang mengangkat tema arsitektur dalam sebuah kolom opini di halaman empat harian KOMPAS terbitan 20 Januari 1981 dengan judul “Desah Arsitektur Mendesau Paradigma Baru”. Edisi tersebut sudah tersedia untuk dibeli di KOMPASdata sehingga SGPC tidak perlu mengunggah isinya langsung.
Isi artikel tersebut merupakan contoh implisit advokasi pascamodernisme, menyuarakan gambaran arsitektur dan kritik-kritiknya dari sudut pandang tahun 1981. Hal yang mungkin sudah tidak lagi akurat untuk sudut pandang 2020 yang kembali memegang panji neomodernisme yang sangat bablas. Untuk orang yang tidak banyak memahami arsitektur seperti mimin SGPC, tulisan ini ibarat kuliah arsitektur dasar.
Bagian awal dari artikel ini lebih soal ilustrasi “gagalnya” modernisme, diwakili oleh pembongkaran proyek perumahan rakyat Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat. Dirancang dengan “sempurna” dengan dipadu tiga kenikmatan kota – sinar, ruang dan vegetasi – kata Le Corbusier, bahkan diklaim memenangkan beberapa penghargaan (sayangnya, klaim itu tidak benar). Tapi dengan kesempurnaan kompleks itu, tidak menghindarkan kompleks perumahan Pruitt-Igoe dari masalah kejahatan. Bagian pembuka ini, menjadi ilustrasi munculnya gerakan bahasa arsitektur baru yang muncul dari sebuah paradigma baru.
Sayangnya, klaim bahwa Pruitt-Igoe adalah kegagalan arsitektur modern, sarat dengan kecacatan faktual. Kegagalan Pruitt-Igoe terjadi lebih kepada maraknya rasisme di Amerika Serikat, bobroknya pengelolaan dan kualitas pembangunan yang buruk, menurut Katharine G. Bristol. Katharine bahkan menuding bahwa masalah pada blok Pruitt-Igoe dibelokkan dari masalah salah pengelolaan menjadi masalah kegagalan komunikasi arsitektur oleh beberapa kritikus arsitektur. Argumen Bristol bisa dibenarkan. Semisal perumahan umum di negara seperti Singapura, dimana proyek HDB yang dibangun bukan tandingan Pruitt-Igoe dari segi konsep dan visi-misi perancangnya, dan menjadikan Singapura sebagai negara dengan proyek perumahan umum yang sangat berhasil.
Bagian kedua dari artikel ini, “Dari Joglo sampai Ratu Plaza”, mengupas tren arsitektur di Indonesia di era Orde Lama hingga tahun 1980. Dalam bagian ini, ia mengajak kita mendalami alasan beberapa gedung ternama seperti Wisma Nusantara hingga Gelora Bung Karno dibangun hingga bagaimana tren arsitektur Jakarta memengaruhi tren arsitektur lokal di kota-kota besar lain di Indonesia, mencari jatidiri arsitektur nasional.
Dalam beberapa paragraf, Suharso menyorot beberapa gedung pemerintah yang meninggalkan muatan lokalnya dan mengritik Ratu Plaza, rancangan tim arsitek Kajima dari Jepang, yang menurutnya “menjiplak konsep Dober Paddock Upton and Associates”. Mimin SGPC sayangnya tidak menemukan konsep yang dimaksud.
Bagian berikutnya merupakan penjelasan kata mengenai “Arcology”. Sebelumnya, Suharso mengritik bias geografi pada sejarah arsitektur, yang tidak memberi representasi kepada budaya timur, walau ia mengatakan bahwa tonggak awal sejarah arsitektur dari Mesir dan Asia Tengah memberi pengaruh pada arsitektur budaya timur. Ia juga memuji gerakan metabolisme Jepang komando Kisho Kurokawa sebagai gerakan “yang mempertahankan identitas Jepang sekalipun memungut kerangka dasar dari Barat”.
Gambaran mengenai Arcology dalam opini ini sebenarnya cukup berat dipahami. Arcology secara kata-kata, alias etimologis, diambil dari kata Architecture dan Ecology, artinya, arsitektur yang berdasar ekologi. Bila diambil dari bab 13 dari buku Arcology: The City in the Image of Man karangan arsitek Paolo Soleri, pencetus Arcology itu sendiri, arcology memadukan aspek ekologi lingkungan sebagai keseimbangan antara aspek psikologis, biologis dan fisik keseluruhan lingkungan arcology sendiri. Pada akhirnya, menyentuh aspek manusia itu sendiri. Suharso mengatakan bahwa apa yang disampaikan pada konsep ini adalah gambaran bahwa kehidupan itu vektor.
Secara sederhana, dalam bahasa sehari-hari, Arcology merangkapkan manusia dan lingkungan dalam satu kesatuan secara seimbang dalam sebuah bangunan berukuran masal. Sebuah visi yang visioner tapi tidak ramah lingkungan pada akhirnya.
Bagian terakhir adalah opini Suharso dalam “Desau paradigma baru”, mengenai bagaimana paradigma arsitektur berubah setiap saat mengikuti suara idealisme para arsiteknya. Salah satu kutipan yang pas dari subartikel ini adalah “betapa cemburutnya kaum gubug-karton menonton megahnya pencakar langit nan gemerlapan persis di depan gubug mereka,” simbol kesenjangan dan sentimen sosial anti-kapitalis yang sayangnya menjadi primadona para netizen Indonesia yang memiliki reputasi barbarian dan tak minta ampun menyerang siapapun.
Menurut SGPC, opini yang ditulis Suharso Monoarfa terkesan menceramahi pembaca mengenai arsitektur masa kini, detail yang dibawakan cukup mendalam dan penuh dengan pemikiran arsitek yang tidak tentu bisa dipahami masyarakat biasa. Dalam bahasa lain, opini ini layak anda baca, tapi sama dengan anda sedang dikuliahi tentang arsitektur.
Mengritik Pencakar Langit – KOMPAS, 19 Maret 2000
Di harian yang sama, 19 tahun kemudian, seorang anggota TGUPP DKI Jakarta pada masa depan, Marco Kusumawijaya menulis komentarnya mengenai bangunan tinggi yang dibangun di Jakarta. Sama dengan opini di atas, tulisan Marco tersebut sudah tersedia untuk dibeli di KOMPASdata sehingga SGPC kembali tidak perlu mengunggah isinya langsung.
Paragraf awal artikel, tidak banyak dijelaskan, mengingat bagian tersebut merupakan sejarah pencakar langit di Jakarta. Tetapi ia menganggap sebuah gedung slab 14 lantai seperti Hotel Indonesia, yang selesai dibangun 1962, tidak layak dikatakan sebagai pencakar langit pertama di Indonesia. Ia menganggap gedung berbentuk point (menara) yang merupakan pencakar langit, semisal Wisma Nusantara (1972) dan Sarinah (1966).
Bagian selanjutnya adalah mengenai pencakar langit sendiri. Marco menyebut bahwa saat pertama hadir di dunia ini, pencakar langit digambarkan membuat kegelisahan dan gejolak dalam komunitas arsitektur dan membuat arsitek berputar otak menerima pencakar langit sebagai bagian dari keluarga arsitektur. Tetapi generalisasi Marco soal bangunan Amerika menurut SGPC terlalu sempit, karena bangunan tinggi Amerika tidak bisa dilihat hanya dari sisi New York belaka. Banyak kota-kota Amerika yang dibangun dengan jalan membentuk kotak, dan memiliki desain arsitektur yang tak kalah berbeda karena regulasi di masing-masing kota.
Dalam opininya, gedung tinggi di Jakarta cenderung menggabungkan dua paham, seperti yang dilakukan Pei Cobb Freed dengan Anggana Danamon (sekarang Sampoerna Strategic Place) dan Han Awal dengan kompleks Universitas Atmajaya. Kedua paham tersebut adalah “avenues of the skyscrapers” (menara sepanjang jalan, Auguste Perret) dan “towers in the park” (menara di taman, Le Corbusier). Marco juga mengritik Plaza Sentral yang dianggapnya merusak implementasi irama Perret dan Corbusier di Jakarta. Sayangnya, Plaza Sentral dibangun pada 1984, 13 tahun sebelum Anggana Danamon; dan dari utara Plaza Sentral, irama tersebut sudah terlanjur tidak ditaati.
Hal lainnya yang dibahas adalah podium, badan gedung dan kepala (spire/muncuk gedung), serta masalah balkon. Hirarki desain arsitektur cetusan Louis Sullivan ini sangat mengakar kuat pada filosofi arsitektur di Indonesia, dimana Marco mencontohkan Anggana Danamon dan Plaza Gajah Mada yang memanfaatkan plaza sebagai tempat interaksi umum, menggambarkan pentingnya alas alias podium sebagai tempat interaksi. Keluhan sejenis mengenai interaksi bangunan tinggi ini pernah disinggung Zainudin Kartadiwira dalam sebuah mimbar pada Desember 1974.
Mantan anggota TGUPP ini mengritik tajam budaya pembuatan atrium yang dianggapnya sebuah pintu masuk yang sangat berlebihan. Sasaran tembaknya mengarah ke Wisma GKBI dan Atrium Setiabudi, dan portico berukuran raksasa milik Hotel Sari Pacific. Sayangnya, atrium menjadi hal yang jamak di bangunan-bangunan Indonesia, terutama pada pusat perbelanjaan. Ia juga memuji Intiland Tower yang atriumnya dianggapnya menyatu pada lingkungan jalanan Jakarta, tetapi ia menganggap elemen atap Intiland Tower, yang dimaksudkan meneguhkan citra arsitektur tropis, hanya dekoratif belaka karena dianggap terlalu ribut.
Selain Intiland Tower, Marco Kusumawijaya juga menyoroti penggunaan elemen atap pada gedung lain. Semisal Hilton Executive Club (Atelier 6, 1975) yang atapnya langsung menjadi bangunan itu sendiri. Ia juga memuji desain arsitektur Soejoedi Wirjoatmodjo pada Kedutaan Besar Perancis dan KBRI Kuala Lumpur yang “menggunakan atap sebagai cincin (spandrel) yang tidak terputus dan sangat meneduhkan”. Sebelumnya, anda sadar bahwa Kantor Gubernur Jawa Tengah memiliki spandrel yang sama dengan KBRI Kuala Lumpur? Gedung itu adalah rancangan tim arsitek dari Pola Dwipa pimpinan Soeroso S.R. yang menurut Soeroso, saat perancangannya dibantu oleh Soejoedi.
Sebagai penutup adalah superblok. Secara pemahaman tim SGPC, superblok tidak bisa dibedakan antara kawasan pengembangan dengan luas besar semisal SCBD dan Mega Kuningan, dengan kawasan seperti Podomoro City. Tetapi Marco Kusumawijaya memberi definisi superblok sebagai kawasan pengembangan dengan lahan besar, seperti SCBD.
Marco mengritik hampir semua superblok: SCBD dianggap tak ramah pejalan kaki dan kawasan Kota BNI dianggap memiliki masalah komunikasi arsitektur. Soal Kota BNI, permasalahan yang ditemukan SGPC cukup kompleks. Grha BNI, Wisma 46 dan Hotel Shangri-La dirancang oleh firma yang jauh lebih berbeda. Tidak ada komunikasi/masterplan pada rancangan kawasan setelah berganti firma arsitek. Palmer & Turner, Zeidler Partnership dan Kanko Kikaku Sekkeisha bisa dibilang berjalan sendiri soal paham arsitek yang mereka usung di Kota BNI. Pujian hanya diberikan kepada Anggana Danamon, karena hubungan gedung dengan lingkungannya masih relatif lebih baik.
Berbeda dengan yang dilontarkan orang IAI Jawa Tengah pada tahun 1993 yang serampangan, merendahkan dan terkesan melecehkan profesi arsitek sendiri, tulisan Marco Kusumawijaya terhadap aristektur gedung tinggi lebih spesifik, terarah, dan terbuka, namun masih ada kesan “ada yang tertinggal” dari kritik yang disampaikan Marco.
Penutup
Ketiga opini yang mimin SGPC temukan merupakan gambaran kritik arsitektur bangunan yang ada di Indonesia di harian-harian arus utama, bukan lagi di majalah khusus para arsitek. Dalam tulisan ini, Setiap Gedung Punya Cerita mengumpulkan tulisan-tulisan mengenai gedung-gedung di Indonesia dari sumber koran dan majalah yang belum dimasukkan ke dalam dunia maya, berupaya memberi tambahan atau opini tersendiri mengenai kritik arsitek di Indonesia di publikasi arus utama tersebut. Bahkan bertindak sebagai korektor. Kenapa? Karena keterbatasan informasi mengenai bangunan di Indonesia, kritikus sering kali tidak bisa mengidentifikasi maksud dan siapa di balik gedung-gedung tersebut.
Sayangnya, saat ini mimin tidak menemukan tulisan yang kritis pada arsitektur negara sendiri di publikasi arus utama, baik di koran maupun publikasi di internet. Apa mungkin karena tuntutan pembaca Indonesia di dunia maya yang sangat emosional atau media massa sekarang hanya mengejar apa yang kita inginkan, bukan sesuatu yang harusnya diketahui, masih saya tidak ketahui.
Setiap Gedung Punya Cerita
Referensi tambahan
- Bristol, Katharine G. (1991). “The Pruitt-Igoe Myth”. Journal of Architectural Education, vol. 44, no. 3, hal. 163-171. Dibaca 19 April 2020. (link; arsip)
- Resume Larry Lane AIA di web Archinet, diakses 19 April 2020. (arsip)
- Abhas Jha (2018). ““But what about Singapore?” Lessons from the best public housing program in the world“. World Bank, 31 Januari 2018. Diakses 19 April 2020. (arsip)
- TEMPO, 23 Juni 1983 (iklan)
- Soleri, Paolo (1969). “Arcology: The City in the Image of Man”. New York: Anchor Books.
Tinggalkan Balasan