Setiap Gedung Punya Cerita

Blog Sejarah Gedung-Gedung Indonesia

Iklan

Minder dan tak puas: Kisah dibalik tiadanya supertall di Indonesia

Ditulis pada tanggal

oleh

Terbaru:

Pencakar Langit di Jakarta
Jadi, apa yang masih kurang dari ibukota? Foto oleh mimin SGPC

Mimin SGPC dalam dua hari terakhir telah merilis tulisan mengenai dua gedung standar pencakar langit di Indonesia, bernama Menara Trinitas alias Trinity Tower dan Gama Tower. Keduanya memiliki tinggi melebihi 262 meter, yaitu tinggi gedung Wisma 46, dan kini menjadi tetengger Jalan Rasuna Said dan kota Jakarta. Namun, yang membuat pecinta skyscraper di bumi Nusantara makin bangga (tetapi tak akan bangga) adalah pembangunan Autograph Tower di kawasan Thamrin 9. Tingginya mencapai 383 meter, masuk standar supertall, tetapi masih jauh dari kriteria sebuah megatall mencapai 600 meter.

Walau Indonesia telah memiliki satu supertall, sepertinya bangsa ini tidak akan puas. Mereka ingin bangunan sejenis ini! Kita ga mau kalah dengan negara tetangga! Seperti itulah yang beredar di kalangan pecinta pencakar langit dalam negeri. Mimin akan tarik sejarah bagaimana upaya para investor-investor Indonesia yang berupaya mendongkrak kebanggaan nasional lewat pembangunan struktur-struktur megamenjulang, dan bagaimana perkembangan di negara-negara tetangga secara superfisial.

Dekade Dilan: Wisma 46 dan BDNI Tower

Jakarta di tahun 1990an.
Foto oleh Dahlan Rebo Paing/Majalah Prospek

Dekade 1970an dan 1980an, yang merupakan masa awal Orde Baru mengembangkan ekonomi dan pembangunan fisiknya, diwarnai dengan pembangunan pencakar langit terutama perkantoran di ibukota Jakarta. Sayangnya, Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta, secara spesifik membatasi tinggi gedung menjadi 32 lantai melalui Perda Nomor 4 tahun 1975. Tetapi di praktiknya, santer dikabarkan bahwa Pemda DKI era Ali Sadikin membatasi tinggi gedung ke 110,8 meter, tinggi gedung Blok G Balai Kota, tetapi sudah disalip oleh Plaza Bumi Daya dan Landmark pada pertengahan 1980an, di masa Tjokropranolo dan Soeprapto.

Hal ini menyebabkan Jakarta sepenuhnya tidak punya pencakar langit yang menonjol. Sebaliknya, di Singapura dan Malaysia, pada 1980an, pembangunan pencakar langit diatas 200 meter saja telah terealisasi. Sebut saja kantor pusat Maybank di Kuala Lumpur rancangan Hijjas Kasturi (244m, 1988) dan One Raffles Place rancangan Kenzo Tange di Singapura (280m, 1986).

Oub-uob-towers
OUB Centre/1 Raffles Place, Singapura (kiri). Foto oleh mailer_diablo, CC-BY-SA 3.0

Sebenarnya titik terang buat pengembang Indonesia membangun gedung-gedung menjulang sudah terlihat sejak 1990. Zachri Zunaid, arsitek Team 4, kepada Majalah SWAsembada bahwa Bank BNI sedang berencana membangun gedung berlantai 46, yang akhirnya terealisasi pada November 1992, lapor Harian Republika, pada bulan Desember 1994. Wisma 46 selesai dibangun pada tahun 1996 dengan ketinggian 262 meter. Tahun 1990 adalah masa kebutuhan dan pembangunan perkantoran di Jakarta sedang hangat-hangatnya. Jika anda melihat bangunan tinggi lawas di kawasan Kuningan didominasi gedung berlantai 8, itu karena regulasi lama Pemda DKI membatasi tinggi gedung di H.R. Rasuna Said menjadi 8 lantai, sementara Sudirman-Thamrin khusus maksimal tinggi 32 lantai.

Awal tahun 1994 telah diusulkan penghapusan batas tinggi gedung di Jakarta dan mengganti konsep perhitungan lantai bangunan, digaungkan lewat forum Tall Buildings Development di kantor Bakrie pada Maret 1994, dan melalui artikel di majalah Konstruksi pada Februari 1994. Pendapat seperti pengamat perkotaan Mohammad Danisworo dan Zachri Zunaid menganggap bahwa pembatasan tinggi tersebut sudah tak lagi sesuai dengan semangat globalisasi dan modernisasi pasar properti Jakarta yang menuntut adanya bangunan prestisius berlantai banyak, tetapi mencatat bahwa sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyongsong keberadaan bangunan menjulang masih kurang baik sehingga perlu pembenahan sarana-sarana terkait.

Nah, berangkat dari pendapat itulah penerbitan SK Gubernur DKI Jakarta No. 678/1994 menjadi jalan terbuka untuk pembangunan gedung diatas 32 lantai di lokasi strategis dengan koefisien lantai bangunan diatas 5. Salah satu gedung supertall pertama yang sempat muncul di permukaan adalah Sentra BDNI, gedung setinggi 317 meter rancangan I.M. Pei, arsitek Bank of China Tower Hong Kong. Dibangun tepat jelang malaise ekonomi nasional, Sentra BDNI hanya selesai di tingkat bangun inti gedungnya (core shaft), dan pada 2019-2020 intinya malah digusur.

Petronas, Baiyoke dan MahaNakhon, kita tak banyak berharap

Petronas Towers, Kuala Lumpur (3323152170).jpg
Menara Kembar Petronas, Kuala Lumpur, Malaysia. Membuat iri jirannya yang selalu caper. Foto oleh Andy Mitchell, CC-BY-SA 2.0

Menara Berkembar Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia dengan ketinggian 452 meter, menjadi gedung tertinggi di dunia sejak tahun 1997 hingga Taipei 101 selesai dibangun; ditambah dengan Bangkok, ibukota Thailand, dengan Baiyoke Tower II-nya setinggi 309 meternya di tahun 1997, menjadi faktor lain di balik malunya dan ketidakpercayaan diri netizen Indonesia melihat perkembangan pencakar langit di Asia Tenggara – terutama dalam konteks rivalitas ekonomi dan sospol Malaysia-Indonesia dan rivalitas ekonomi Thailand-Indonesia.

Pada dekade 2000an awal, krisis moneter 1998 dan gejolak politik era transisi membuat pembangunan sejenis ini praktis melambat dan tidak banyak proyek pencakar langit yang dibangun. Wisma Mulia, dengan tinggi 195 meter, adalah yang tertinggi yang dibangun pada awal 2000an, tetapi gedung tersebut melanjutkan proyek yang sempat mangkrak. Hanya di era SBY, dimana booming komoditas memancing pembangunan gedung-gedung pencakar langit baru di Indonesia, khususnya Jakarta, walau pada 2008 terjadi krisis ekonomi global, yang membuat kebutuhan perkantoran menjadi susut.

Walau mania pembangunan bangunan tinggi terjadi, toh tidak ada gedung era 2000an dan 2010an di Indonesia yang bisa menyalip bangunan tinggi di ASEAN semisal MahaNakhon di Bangkok. Di Jakarta, dan selanjutnya, Surabaya, mulai bermunculan gedung-gedung setinggi 200 meter maupun lebih, yang merupakan ketinggian yang cukup prestisius. Pada 2016, Gama Tower selesai dibangun, namun dengan ketinggian 288 meter, 12 meter lebih pendek dari kriteria minimal supertall. Mimin sempat membaca beberapa rasa kekecewaan para pecinta skyscraper perihal Gama Tower, namun itu adalah keputusan para pengembang dan arsitek.

MahaNakhon by kylehase
Mahanakhon. Foto oleh Kyle Hasegawa, CC-BY-SA 2.0

MahaNakhon rancangan Ole Scheeren menyihir mata kita dengan pola kotak-kotak ala piksel, setinggi 314 meter – dan Landmark 81 di Ho Chi Minh City, Vietnam setinggi 461 meter karya Atkins, menjadi bangunan lain yang bikin fans pencakar langit Indonesia makin iri. Di dunia maya, para netizen menyalahkan regulasi dan korupsi sebagai biang ketiadaan pencakar langit di Indonesia, termasuk gagalnya realisasi megatall kebanggaan Indonesia, Signature Tower SCBD dan Pertamina Energy Tower pada pertengahan ke akhir 2010an. Khusus konteks 2010an akhir, pembangunan Landmark 81 hanya membentuk rasa iri hati netizen Indonesia yang sangat dalam pada Vietnam dan perkembangan ekonominya yang sangat baik. Parahnya, beberapa netizen Indonesia bahkan memuji-muji negeri Ho Chi Minh setinggi langit dengan menyertakan komentar-komentar miring terhadap Pemerintah Republik Indonesia.

Baru pada 2021 ini, pembangunan Autograph Tower dari Thamrin 9 setinggi 382 meter – menyalip Baiyoke II dan MahaNakhon, setidaknya menenangkan inferioritas bangsa Indonesia terkait pencakar langit. Tapi, sebagian orang akan tetap tak akan puas karena Merdeka PNB 118 setinggi 644 meter sedang dibangun, lagi-lagi membangkitkan rasa inferior netizen kita yang lama kelamaan akan semakin mendalam dengan prediksi bahwa tak akan ada lagi pembangunan megatall pasca-pandemi setelah PNB 118 rampung (lihat video B1M).

Kenali regulasi dan jalan sejarah pasar properti

Mimin SGPC mengidentifikasi penyebab gedung-gedung supertall semacam Autograph Tower jarang sekali dibangun di Indonesia. Dan bukan hal yang netizen Indonesia pikirkan.

Pertama, batas ketinggian gedung. Biasanya batas ketinggian diambil untuk kepentingan keselamatan penerbangan (KKOP), estetika dan juga teknis. Di Bali, batas ketinggian 15 meter ditetapkan untuk menjagai ciri khas Pulau Bali sebagai pulau kebudayaan. Di kota seperti Medan, Semarang dan Surabaya, kota tersebut tidak bisa memiliki tinggi gedung karena KKOP untuk menjamin keselamatan penerbangan di bandara-bandara kota tersebut.

Kedua, regulasi. Rencana Tata Ruang Wilayah dan regulasi terkait yang kompleks bisa mengganggu pembangunan sebuah gedung super tinggi. Mimin ga bakal banyak jelaskan soal regulasi ini, karena sejujurnya, semuanya berkaitan dengan koefisien lantai bangunan, lahan, tinggi gedung, ketersediaan parkir dan sebagainya.

Pemandangan Jalan Jenderal Sudirman pada 1970an, saat regulasi ketinggian bangunan di Jakarta berlaku. Foto oleh Majalah Konstruksi ed. Juli-Agustus 1977

Ketiga, kalau batas ketinggian dan regulasi bukan halangan, bisa jadi pasar propertinya tidak menuntut pembangunan tersebut. Catatan SGPC dari pelbagai sumber (Properti Indonesia, SWAsembada, KOMPAS dan Prospek) menunjukkan pasar properti perkantoran, yang seringkali menjadi gedung tertinggi di Indonesia, meluber pada 1976, 1985-86, 1992-94, 1998-2003 (krismon), 2015 dan 2021 (dampak pandemi COVID-19). Baik Pertamina Energy Tower dan Signature Tower SCBD gagal total karena mereka berencana membangun gedung tersebut tepat saat pasar perkantoran sedang terkapar. Sementara di daerah, pasar properti ternyata tidak mendukung adanya gedung-gedung prestisius tersebut.

Tapi, bagaimana bila ketiga faktor diatas tidak menjadi alasan supertall tidak dibangun? Dana. Sebagai perbandingan, Autograph Tower menghabiskan biaya 8 triliun rupiah buat membangun gedung tersebut. Mending membangun gedung 150 meter yang banter menghabiskan biaya 500 milyar hingga 1 triliun berdasarkan perhitungan inflasi yang mimin SGPC lakukan di setiap artikel blog ini, tetapi balik modal dalam 1-2 tahun selepas masa konstruksi.

Itu adalah alasan teknis dan non-teknis yang bisa membantu terjegalnya pembangunan gedung tinggi menjulang di Bumi Nusantara. Sayangnya, publik Indonesia terlalu terkungkung oleh isu-isu viral dan menjadikan korupsi, kolusi dan nepotisme, isu paling sensitif, sebagai kambing hitam gagalnya proyek pembangunan, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang sayangnya, di Indonesia, tidak pernah diperhatikan.

Referensi tambahan

  1. Urip Yustono; Dwi Ratih; Rakhidin (1994). “Menyongsong Era Bangunan Sangat Tinggi di Jakarta.” Majalah Konstruksi No. 190, Februari 1994, hal. 30-38, 96-97
  2. Joko Yuwono (1995). “Tak Ada Kompromi Bagi Pembandel.” Majalah Properti Indonesia No. 17, Juni 1995, hal. 40-41
  3. Zachri Zunaid (1990). “Tanggapan Sajian Utama SWA Edisi Mei 1990: Rebutan Kapling Dalam Bisnis Properti.” Majalah SWA No. 4/VI, Juli 1990, hal. 4-5
  4. Wikipedia: Merdeka 118, Petronas Towers, Baiyoke Tower II, MahaNakhon, One Raffles Place, Landmark 81
  5. rus (1994). “Pemda DKI Revisi Kebijakan Pembangunan Gedung Tinggi.” KOMPAS, 31 Maret 1994, hal. 7
  6. Council for Tall Buildings and Urban Habitat: Autograph Tower, Sentra BDNI Tower A, Wisma Mulia
  7. Hilda B. Alexander (2015). “Pasar Perkantoran di Pusat Bisnis Jakarta “Melempem”.” KOMPAScom, 4 September 2015. Diakses 15 Oktober 2021 (arsip)
  8. ANTARA (2011). “Permintaan Perkantoran Jakarta 2011 Tertinggi.” Investor Daily, 14 Desember 2011. Diakses 15 Oktober 2021 (arsip)
  9. Hendra Hartono (2010). “Pasca-Krisis Global, Sektor Perkantoran Pulih Lagi.” KOMPAScom, 2 Februari 2010. Diakses 15 Oktober 2021 (arsip)
  10. Dina Mirayanti Hutahuruk (2020). “Autograph Tower, gedung tertinggi di Indonesia akan beroperasi tahun depan.” KONTAN, 25 Desember 2020. Diakses 15 Oktober 2021 (arsip)
  11. Imam Mudzakir (2019). “Pasar Perkantoran Jakarta Membaik.” Investor Daily, 3 Juli 2019. Diakses 15 Oktober 2021 (arsip)
  12. Emanuel B. Caesario (2018). “SCBD Tunda Pembangunan Calon Pencakar Langit Tertinggi Indonesia.” Bisniscom, 23 Juni 2018. Diakses 15 Oktober 2021 (arsip)
  13. Muhammad Idris (2015). “Tarif Sewa Kemahalan, Pertamina Tower Batal Dibangun 99 Lantai.” Detikcom, 1 September 2015. Diakses 15 Oktober 2021 (arsip)
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *