Balai Kota DKI Jakarta Blok G merupakan gedung pemerintah pertama di Indonesia yang menembus lebih dari 12 lantai, lebih tinggi dari rata-rata gedung pemerintahan pusat yang saat itu kebanyakan menyebar dan belum mengkonsolidasi kantornya dengan membangun gedung baru masing-masing atau sedang dalam tahap membangun.
Gedung Blok G memiliki 23 lantai dan 2 penthouse, dan memiliki tinggi 110,8 meter. Dirancang oleh tim arsitek dari Arkonin dan Obayashi Gumi secara terpisah, gedung ini dibangun oleh PT Pembangunan Jaya mulai bulan April 1971 hingga selesai dibangun pada bulan April 1976. Tetapi sejak bulan Agustus 1974, sebagian gedung Blok G sudah ditempati oleh Pusat Pengelolaan Data Elektronis Pemda DKI, dan diperkirakan pada tahun 1975, 12 lantai ruang gedung sudah ditempati.
Saat ini, gedung bergaya internasional tersebut sudah berubah penampilan dan penambahan atap gedung menambah tinggi menjadi sekitar 115-120 meter (karena ketiadaan data yang dapatkan), dan masih menjadi kantor pemerintahan DKI Jakarta hingga kini.
Sejarah Balai Kota DKI sejak 1967
Sejak 1967 hingga 1976 Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dibawah pemerintahan Ali Sadikin, telah merancang dan membangun ekspansi gedung Balai Kota DKI untuk memastikan kebutuhan ruang kerja yang meningkat terakomodasi dengan baik. Pada bulan Maret 1971, Pemda DKI membangun blok gedung berlantai 4, setidaknya berhasil mempertahankan rasio karyawan-luas lantai dari 8,47 meter persegi per orang pada tahun 1967, menjadi 8,48 meter persegi per orang. Rencana perluasan ini belum termasuk gedung berlantai 20 yang baru ditetapkan pada 20 November 1970.
Pada tanggal 1 April 1971, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menanam kepala kerbau sebagai tanda dimulainya pembangunan Gedung Blok G. Gedung tersebut direncanakan berlantai 20 dan akan menghabiskan biaya Rp. 3,5 milyar, dan dibangun oleh Pembangunan Jaya dengan Arkonin sebagai pihak arsitek yang ditunjuk langsung oleh Gubernur tanpa melalui proses lelang sehingga dikritik oleh Kementerian Dalam Negeri.
Di tengah jalan, proyek tersebut sempat tertunda karena perselisihan antara pihak Pemda DKI dengan Obayashi Gumi, menyebabkan Pemda menghentikan kontrak kerja mereka dengan perancang Jepang. Akhirnya, pihak Arkonin masuk menggantikan Obayashi dan mengubah jumlah lantai menjadi 23 (lihat subbagian berikutnya).
Balai Kota DKI, saat dibangun, akan dijadikan sebagai standar dan ketentuan dari pembangunan gedung bertingkat lain di Indonesia, begitulah klaim dari pihak Pemerintah DKI Jakarta kepada KOMPAS pada 17 Juli 1974. Bahkan pembangunan gedung ini diklaim mendorong modernisasi pelayanan Pemerintah DKI Jakarta yang saat itu sudah canggih melalui sistem komputerisasi. Sebulan kemudian, Pusat Pengelolaan Data Elektronik di lantai 3 Blok G diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tanggal 23 Agustus 1974.
Gedung yang memiliki luas lantai total 44.300 meter persegi ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 28 April 1976. 3.000 karyawan dari 15 dinas terkait di Pemda DKI pindah ke gedung ini. Pemerintah DKI akhirnya membayar Rp 9 milyar rupiah nilai 1976 untuk membangun perluasan Balai Kota DKI.
Pemberitaan harian pagi KOMPAS pada tanggal 18 Juli 1974 dan 23 April 1976 menyebut perancangan dan pembangunan Blok G Balai Kota sebagai produk murni arsitek dan insinyur asli Indonesia, begitupun tajuk rencana Redaksi KOMPAS tertanggal 30 April 1976 yang menyebut Blok G Balai Kota sebagai sebuah tonggak prestasi teknik sipil dan arsitektur Indonesia.
Sejak 2011, eksterior Balai Kota Jakarta diganti dengan lapis komposit dan kaca berwarna biru, dengan tambahan atap berlapis baja. Sebagian lapis komposit tersebut copot pada tanggal 25 Agustus 2014, menimpa Kantor Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Penambahan lantai jadi sumber masalah perselisihan Ohbayashi Gumi-Pemprov DKI
Imelda Akmal (Wiratman: Momentum and Innovation 1960-2010, 2012) mengatakan bahwa pada tahun 1972, saat progres proyek mencapai 50 persen, Pemda DKI mengatakan bahwa gedung tersebut tak akan cukup menampung PNS mereka dengan gedung berlantai 20 – Majalah Pola (No. 19, Januari 1977) menyebutnya saat struktur mencapai lantai 17.
Disinilah perancang Obayashi Gumi dengan Pemerintah DKI Jakarta mulai tak sependapat, karena ide menambah lantai gedung saat pembangunan berjalan, di era 1970an, sangat berisiko dan tidak biasa (Di era modern, penambahan lantai disaat gedung sedang atau sudah dibangun berhasil diterapkan pada Gedung BULOG, Wisma Bank Rama dan Hotel Garden Palace Surabaya di dekade-dekade berikutnya tanpa masalah berarti bagi keselamatan masyarakat rata-rata. Struktur Garden Palace sendiri, menariknya, adalah rancangan Wiratman & Associates juga).
Karena tidak ada kesepakatan, Obayashi Gumi mundur, dan insan keinsinyuran Indonesia masuk mengambil alih perancangan. Wiratman Wangsadinata, Roosseno dan insinyur lain, disinyalir dari pihak Arkonin, melakukan perhitungan ulang pada struktur bangunan atas permintaan Ali Sadikin. Mengkaji struktur gedung berbentuk kotak itu, ditemukan bahwa rancangan Obayashi Gumi boros. Imelda Akmal mengklaim rancangan Obayashi adalah untuk menambah margin pendapatan biro arsitek dai Nippon itu.
“Keborosan” atau lazimnya disebut sebagai over-engineering bisa ditemukan di beberapa sisi. Pertama, jumlah tulangannya balok lantainya mencapai 15 batang. Kedua, kualitas beton yang biasanya minimal K225, terutama di lantai 15, ditemukan berkualitas K288 sampai K315.
Wiratman mengatakan bahwa rencana penambahan tiga lantai bisa dijalankan dengan meneruskan desain arsitektur 20 lantai yang sama, tetapi untuk lantai 20-23, supaya efisien dan efektif, jumlah tulangan balok lantainya disunat dari 15 batang menjadi 10 saja. Hal ini diperkuat dengan kalkulasi ulang yang dilakukan Roosseno di komputer IBM 370 milik Pemprov DKI, dimana beban tambahan tiga lantai terhadap pondasi hanya 10-15 persen, serta – menurut pemberitaan KOMPAS pada 23 April 1976 – mampu menahan efek gempa terhadap tambahan tiga lantai itu.
Dan pada akhirnya, dengan kecilnya pengaruhi beban penambahan lantai terhadap pondasi, kualitas beton yang baik dan perhitungan penyunatan jumlah balok lantai oleh Wiratman itu, Balai Kota DKI bisa dibangun dengan 23 lantai atau 110,8 meter seperti yang diinginkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan tetap tegak berdiri seperti sekarang.
Blok G Balai Kota DKI Jakarta adalah gedung tertinggi di Indonesia era 1970an
Berketinggian 111 meter, Balai Kota DKI adalah gedung tertinggi di Indonesia versi media cetak di zamannya, sayangnya tidak diakui oleh media daring yang dengan memanfaatkan data Emporis dan CTBUH dengan mengklaim Wisma Nusantara masih tertinggi di Indonesia saat itu dengan 117 meter. Berita KOMPAS pada tanggal 28 Juni 1975 menyebutkan bahwa Wisma Nusantara hanya memiliki tinggi 103 meter. Indonesia Design, merujuk pada rancang desain bangunan, menyebut tinggi Wisma Nusantara 110 meter.
Seperti yang SGPC bahas sebelumnya, Balai Kota DKI berlanggam internasional tersebut merupakan tonggak kemandirian insinyur Indonesia dari perancangan arsitektur, struktur hingga ke tahap interior. Di era 1970an, kebanyakan gedung setinggi Balai Kota DKI dirancang oleh arsitek asing dan dibangun oleh pemborong asing dalam bentuk kerjasama. Dengan keberhasilan tersebut, Balai Kota DKI dianggap sebagai barometer perkembangan arsitektur dan struktur Indonesia yang sayangnya tidak dipahami baik oleh Dilanowcy akhir-akhir ini. Walaupun itu, saat selesai dibangun, muncul beberapa kritik soal tingginya yang mencoba menyaingi Monas, sehingga Gubernur Ali Sadikin terpaksa membela keputusannya membangun balai kota setinggi 111 meter itu.
Selain untuk menampung 3000 PNS seperti yang disinggung di bagian sejarah, Balai Kota Jakarta memiliki fasilitas yang tiada duanya untuk gedung pemerintah saat itu, terdiri dari kantin, pusat komputer, sasana binaraga, ruang sauna, ruang pijat, dan ruang Balai Eksekutif yang merupakan ruang kerja Gubernur DKI Jakarta dan balai rapat, dipercantik dengan hiasan-hiasan bertemakan Betawi. Salah satunya adalah lukisan karya Srihadi yang menggambarkan sejarah Sunda Kelapa hingga Jakarta modern di ruang hijau Balai Eksekutif, dan lukisan burung dan gunung bercorak Betawi karya Umi Dahlan di balai rapat.
Data dan fakta
Alamat | Jalan Medan Merdeka Selatan No. 8-9 Gambir, Jakarta Pusat, Jakarta |
Arsitek (dirancang terpisah) | Ohbayashi Gumi (Versi Imelda Akmal, Ohbayashi mengambil perancangan arsitektur dan struktur. Tetapi versi Pola, Ohbayashi hanya merancang strukturnya sebelum diambil alih Arkonin) Arkonin (Versi majalah Pola, harian KOMPAS, Sinar Harapan dan informasi resmi dari Pembangunan Jaya. Imelda Akmal tidak menyebut keterlibatan biro arsitek ini.) |
Pemborong | Jaya Konstruksi |
Lama pembangunan | April 1971 – April 1976 |
Diresmikan | 28 April 1976 |
Jumlah lantai | 23 lantai 2 penthouse |
Tinggi gedung | 110,8 meter |
Biaya pembangunan | Rp 9 milyar (1976) Rp. 429 milyar (inflasi 2023) |
Signifikasi | Arsitektur dan Struktur (Gebrakan mandiri arsitek nasional dalam pembangunan gedung tinggi) |
Referensi
- Wr (1971). “Pemerintah DCI Membangun Kantor 20 Tingkat Dengan Biaja Rp3,4 Miljard”. KOMPAS, 2 April 1971.
- J (1974). “Gedung Bertingkat di Balai-kota Dijadikan Standard di Pembangunan Gedung Bertingkat Lainnya”. KOMPAS, 18 Juli 1974.
- hw (1974). “DKI Masih akan Menerima 20.000 Karyawan Lagi”. KOMPAS, 24 Agustus 1974.
- hw (1975). “Ibukota Selintas: Gedung Tertinggi”. KOMPAS, 28 Juni 1975.
- hw (1976). “Gedung Tertinggi di Asia Tenggara Diresmikan Presiden Kamis Mendatang”. KOMPAS, 23 April 1976.
- H-4 (1976). “Satu2-nya di Indonesia: Gedung Kantor DKI Dilengkapi Fasilitas Ruang Pijit & Sauna”. Sinar Harapan, 27 April 1976.
- Sinar Harapan, 27 April 1976 (iklan ucapan selamat pada Peresmian Blok G Balai Kota DKI Jakarta)
- Imelda Akmal (2012). “Wiratman: Momentum & Innovation 1960-2010”. Jakarta: Imajibooks. Halaman 104-107
- Alsadad Rudi (2014). “Gedung Blok G Balaikota Baru Digunakan 2 Tahun“. KOMPAScom, 25 Agustus 2014. Diakses 18 Januari 2020. (Arsip)
- “Tajuk Rencana: Gedung Bertingkat DKI”. KOMPAS, 30 April 1976.
- “Bangunan Utama Pemerintah DKI Jakarta.” Majalah Pola No. 18, Januari 1977, hal. 35-44
- PT Mitra Pembangunan Jaya (2018). “PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya: Perkembangan Perkotaan dan Arsitektur Jakarta.” Jakarta: PT Mitra Pembangunan Jaya. Halaman 32
Leave a Reply