Di era Indonesia modern, mayoritas masyarakat yang ingin tahu tentang sebuah gedung lebih banyak mencarinya lewat internet. Web yang tersedia adalah Emporis, Skyscraperpage atau Skyscrapercenter bikinan Council for Tall Buildings and Urban Habitat untuk gedung tinggi; atau beberapa website yang sayangnya hanya mau mengupas gedung zaman Belanda. Tetapi yang ditemukan baru setengah-setengah atau hanya mengurus gedung baru (dalam kasus Skyscrapercenter/Emporis).
Maklum, data diinput oleh pihak eksternal, dan web tersebut jarang dimanfaatkan pecinta arsitektur gedung tinggi Indonesia. Keterbatasan dalam memanfaatkan sumber non-online seperti buku, koran dan majalah, atau bahkan melakukan riset langsung ke “sumbernya” (ini yang belum dilakukan penulis) menjadi alasan munculnya blog ini. Jika ada yang bertanya ketersediaan sumber data tersebut, oke, Setiap Gedung Punya Cerita akan menjabarkan sumber-sumber yang digunakan dalam blog ini dan bagaimana anda mendapatkannya:
Majalah Arsitektural (Konstruksi, Cipta dan Southeast Asia Building (Materials and Equipment))
Majalah terbitan PT Tren Konstruksi ini terbit sejak 1976 dan edisi debutnya, Oktober 1976, kini ada di rak koleksi buku mimin SGPC. Majalah Konstruksi adalah sumber kunci dan urat nadi blog ini karena di majalah ini penjabaran tentang sebuah gedung, metode pembangunan, arsitek, rancangan dan alasannya, ditulis secara lebih gamblang.
Majalah kunci lainnya adalah CIPTA, terbitan Pusat Informasi Teknik Pembangunan Departemen Pekerjaan Umum. Secara pribadi, CIPTA adalah proto-majalah Konstruksi karena kemiripan ulasannya. Hal yang menjadi lebih menarik adalah Majalah Cipta cenderung lebih simpel penjelasannya, dan sering membuka hal-hal “di balik layar” seperti perancangan dan sayembara, seperti pada Gedung Kementerian ATR/BPN.
Dan majalah terakhir, baru ditemukan, adalah Southeast Asia Building. Majalah terbitan Singapura ini juga mengulas bangunan-bangunan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Rak mimin memiliki beberapa edisi acak yang rentangnya mencapai 20 tahun, yang terlama adalah bulan April 1974.
Beberapa eksemplar majalah Asri dan Laras juga berada di genggaman mimin, tetapi konten yang disajikan cenderung kurang sejalan dengan visi dan misi blog ini; fokus utama pada arsitektur bangunan tinggi dan menonjol di kota-kota besar Indonesia.
Surat kabar dan majalah non-arsitektur
Khusus Kompas, karena mimin jarang keluar daerah cuma untuk ke perpustakaan, maka web Kompasdata yang memiliki pemberitaan tentang sebuah gedung, walau tidak selengkap Majalah Konstruksi, jadi andalan. Surat kabar menjadi kunci dari blog ini karena mengulas kejadian-kejadian penting pada sebuah tempat. Terutama saat Internet belum masuk Indonesia di awal 1990an.
Untuk surat kabar dan majalah lain, mimin harus ke perpustakaan untuk mencari datanya, dan butuh waktu sangat lama. Dan dalam waktu bersamaan mimin juga mengoleksi majalah dengan dana sendiri. Majalah yang cukup diperhitungkan sebagai sumber blog ini terdiri dari majalah ekonomi Prospek (1990-1996?), Warta Ekonomi (1989-2000an?), Progres (1970an), majalah Properti Indonesia dan majalah berita TEMPO.
Sumber paling tidak umum di blog ini adalah majalah wanita populer Sarinah dan rekaman siaran TV (untuk Gedung Pusat Produksi TVRI dan Plaza Blok M) dan sebuah post Facebook resmi (Gedung Guru Indonesia).
Buku
Mimin SGPC memaklumi bahwa buku cukup jarang dijadikan sumber, baik non-arsitektur maupun buku arsitektural. Pertama, bila bukunya non-arsitektur, pertanyaannya, mimin mau mulai dari mana? Karena buku tersebut bisa saja tidak memfokuskan diri pada obyek bangunan. Bila sumbernya berasal dari sumber arsitektural, harga menjadi batu sandungan.
Semisal buku karya Imelda Akmal mengenai Wiratman Wangsadinata, harganya cukup berat. Buku Frederich Silaban karangan Setiadi Sopandi, harganya membuat kantong langsung bolong. Dengan harga 1 juta rupiah, mimin sebenarnya sudah menghabiskan uang yang bisa digunakan untuk 40 PDF artikel KOMPAS, 50 majalah Konstruksi dan biaya makan dan bensin selama 2 minggu.
Buku “Karya Arsitektur Arsitek Indonesia”, sebuah buku antologi mengenai perkembangan arsitektur Indonesia di dekade 1980an, kini dimasukkan sebagai urat syaraf Setiap Gedung Punya Cerita. Bila anda memiliki buku “Karya Arsitektur Arsitek Indonesia” dan ingin tahu dengan nasib gedung-gedung yang dimuat pada buku tersebut, anda bisa melihat daftar dan lokasinya disini.
Iklan
Dimanapun majalah dan surat kabarnya, selalu ada iklan. Iklan properti juga menjadi kunci bagi blog ini karena iklan bisa membuka kapan gedung selesai dibangun, fitur, pengembang dan tawaran-tawaran yang diberikan pengembang. Mungkin bisa menjadi penting bila gedungnya sudah berganti nama atau sudah dibongkar – contoh, pada kasus Hotel Hasta. Namun, ini bukan faktor utama, hanya pendamping.
Media Online
Bisa dibilang media daring adalah sumber yang paling terakhir dianggap dipercaya, karena ada tendensi media sejenis ini sering tidak melakukan riset, internetsentris dan sensasional – seperti yang anda baca di tulisan perdana blog ini: Menara Saidah. Media ini hanya berguna bila informasinya berupa info terkini di sebuah gedung.
Tidak semua data-data daring atau media daring tidak bisa dipercaya sehingga mimin memaksa menggunakan sumber non-internet: Gedung Film, misalnya, keseluruhan datanya hanya mengandalkan sumber daring.
Untuk mengantisipasi sumber media online menjadi 404 Not Found atau website mati, penulis blog menyertakan Archive.is atau Archive.org sebagai link alternatif. Hal ini sangat penting dilakukan karena untuk verifikasi faktual, anda sepatutnya sangat memerlukan link tersebut.
Kenapa anda tidak tulis artikelnya di Wikipedia?
Permasalahan pada Wikipedia adalah mensyaratkan artikel yang ada bukan artikel hasil meneliti sendiri (original research), mengingat status Wikipedia sebagai ensiklopedia sumber tersier, dan memiliki aturan notability (keternamaan). Setiap Gedung Punya Cerita adalah blog yang mendudukkan dirinya pada antara sumber primer, sekunder dan tersier, dimana penulis mendapatkan datanya berdasarkan sumber-sumber yang tersedia di atas. Jadi penulis tidak bisa melakukannya secara sembarang dengan memasukkan data-data ke Wikipedia.
Kebijakan penamaan gedung
Masalah terbesar yang dihadapi blog ini adalah menyelaraskan “nama arsitektur” dan “nama umum” kepada pembaca, mengingat visi penulis blog adalah merangkum dan mengumpulkan sejarah bangunan, arsitektur dan struktur ke dalam satu kesatuan blog mengenai profil bangunan.
“Nama arsitektur” adalah nama yang digunakan oleh komunitas dan penulis arsitektur untuk bangunan-bangunan yang dibahas dalam material mereka. Tidak semua nama arsitektur bertahan dengan perkembangan zaman, tetapi di kalangan para archigeeks….. nama lama itu tak akan pernah luntur. Sementara “nama umum”, adalah nama yang umum digunakan oleh masyarakat atau orang-orang non-arsitek.
Contoh yang paling kentara adalah Intiland Tower di Jakarta maupun Surabaya, keduanya rancangan Paul Rudolph, arsitek Amerika. Di kalangan archigeek, nama Wisma Dharmala Sakti masih tertancap walau sudah berganti nama. Penyakit sejenis juga dialami gedung-gedung Bank Mandiri pra-peleburan, dimana oleh penulis buku Soejoedi, masih menyebut nama Bank Ekspor-Impor Indonesia, satu dari empat komponen Bank Mandiri modern.
SGPC meneliti secara mendalam lokasi “nama arsitektur” tersebut dan mencocokannya dengan nama umum yang digunakan, sebagai bentuk keberlanjutan (continuity). Dan maaf, untuk masalah ini, penulis hanya menggunakan nama umum untuk penjudulan blog. Nama arsitektur akan ditempatkan di subbagian Data dan Fakta sebagai “nama lama”.