Wika Tower adalah sepasang bangunan tinggi yang merupakan kantor pusat dari BUMN kontraktor besar PT. Wijaya Karya, sesuai namanya sejak 1982. Gedung tersebut masing-masing berlantai 11 dan yang terbaru dengan 16 lantai dengan penampilan yang sekarang terlihat seragam. Gedung ini merupakan kantor pusat BUMN kontraktor kelima yang dibahas oleh SGPC, setelah sebelumnya PP, Hutama Karya, Waskita Karya dan Nindya Karya sudah dibahas pada 2019 lalu.
Mayoritas isi artikel ini disarikan dari buku “Wika Tower: A Pride of Our History” yang SGPC dapatkan di pasar liar (baca: pasar daring). Buat yang tidak mendapatkan buku ini, kami ambil poin-poin pentingnya, dengan detail a la artikel SGPC sebelumnya, karena kami yakin tak semua orang bisa dapat bukunya.
Sebelum 1976, Wika pindah kantor dua kali
Wijaya Karya lahir di tengah kampanye nasionalisasi besar-besaran perusahaan Belanda di Indonesia di era Orde Lama. Pemerintah mengambil alih perusahaan bernama Vis en Co., sebuah perusahaan milik orang Belanda yang berkecimpung dalam dunia jasa instalasi AC, listrik dan pipa air. Sejak Maret 1960, perusahaan tersebut berubah nama menjadi Wijaya Karya.
Awalnya WIKA menumpang di sebuah rumah di Jalan Johar No. 10. Tetapi BUMN kontraktor yang baru seumur jagung itu diminta pindah karena tuannya mau menggunakan rumah tersebut buat keperluan lain. Dinas Pekerjaan Umum di Jakarta menawarkan tanah kosong di Hayam Wuruk, milik orang lain juga, bagi Wijaya Karya sebagai kantor pusatnya, yang akhirnya diterima dan direalisasikan pada 1962.
Saat itu, kantor di Hayam Wuruk No. 111 hanya berupa bedeng (seng dan kayu) berbentuk L – seperti bangunan sekolah umumnya. Bedeng tersebut bertambah seiring dengan pertumbuhan perusahaan saat itu, namun per 1969, PT Wijaya Karya mulai merambah sektor konstruksi gedung dan infrastruktur – tidak lagi hanya menjadi pemasang listrik dan ledeng, dan membentuk kantor cabang di penjuru Nusantara. Itu artinya bedeng WIKA Hayam Wuruk jadi kantor pusatnya, hingga pada tahun 1975-76, perusahaan diminta pindah lagi karena tanahnya akan digunakan untuk keperluan lain.
Kedua tempat tersebut sudah tak tersisa lagi, bahkan WIKA saja tidak tidak punya foto otentik kedua bangunan itu (yang ada di buku adalah ilustrasi). Jalan Johar No. 10 sekarang adalah Gedung Jaya Teknik, sementara Jalan Hayam Wuruk No. 111 kemungkinan adalah kompleks rukan (Versi WIKA mengatakan bahwa lahan di Hayam Wuruk 111 adalah “Mal Hayam Wuruk”. Mal yang dimaksud adalah Plaza Hayam Wuruk yang sudah berdiri sejak 1978) .
Kavling 9 D.I. Panjaitan (1982)
Awal era Orde Baru, perusahaan kontraktor negara diberi jatah lahan di Cawang, tepatnya persimpangan M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan untuk kepentingan operasional. Wijaya Karya awalnya hanya mendapatkan jatah di Kavling 3 dan 4 (kini The Hive), yang dimanfaatkan sebagai gudang baja dan kantor cabang wilayah V WIKA DKI Jakarta. Maka, belum tentu WIKA bisa membangun gedung kantor pusat baru di Cawang andaikata diminta pindah lagi.
Tiba-tiba, WIKA mendapat rejeki nomplok. Pada tahun 1972, perseroan tersebut mendapatkan lahan di Kavling 9 dari sebuah BUMN kontraktor lain bernama Kumala Karya yang dilikuidasi karena krisis keuangan. Selama empat tahun pertama, lahan di kavling 9 digunakan sebagai bengkel kayu perusahaan tersebut, hingga pada akhirnya sebuah gedung berlantai dua rancangan Suminta Abdullah dari Bina Karya berdiri di tahun 1976, tepat enam bulan setelah pemilik lahan di Hayam Wuruk meminta BUMN kontraktor berwarna biru langit gelap itu pindah, dengan biaya Rp. 115 juta (1976, setara Rp. 5,5 milyar nilai 2023).
Walau cuma berlantai dua, pondasinya gedung tersebut dibuat untuk beban 3-4 lantai, alias perluasan ke atas bisa dilakukan. Konsep yang sama juga dimanfaatkan untuk gedung perluasannya, yang blog ini singgung di paragraf berikutnya.
Karena perkembangan Wijaya Karya yang semakin pesat alias sering mendapat proyek-proyek besar, wajar perseroan perlu gedung baru. Untuk persiapan gedung baru, bengkel kayu dipersatukan dengan bengkel baja di Kavling 3-4 dan di bekas bengkel kayu Kav. 9 dibangun gedung berlantai delapan rancangan Emir Hadi (sayangnya tidak dijelaskan bekerja untuk firma siapa) untuk arsitektur dan Tri Hapsoro untuk struktur. Dalam paket pembangunan ini, juga diperluas gedung lama WIKA dari dua menjadi tiga lantai. Pembangunannya berlangsung dari 1980 hingga 1982.
Perluasan ketiga adalah perluasan gedung berlantai delapan menjadi 11, yang dimungkinkan berkat pondasinya yang dibuat untuk 14 lantai, dibangun di bagian punggung gedung pada tahun 1994-95. Sayangnya, penampilan modern ini sekarang sudah diselimuti oleh lapisan kaca berwarna biru dan aluminium wafer putih sejak 2007, melalui renovasi wajah (alias oplas gedung) yang mewarnai proses WIKA masuk gelanggang Bursa Efek Indonesia. Dengan rampungnya WIKA Tower, maka gedung di Kav. 9 menjadi kantor anak-anak usaha WIKA.
Kavling 10 D.I. Panjaitan, Wika Tower (2016)
Dengan semakin majunya perkembangan usaha di Indonesia belakangan ini, maka Wijaya Karya pun mulai beranak-pianak. Beberapa divisi WIKA dipecah menjadi anak usaha dengan manajemen tersendiri, sementara WIKA induk memutuskan berkosentrasi ke bidang Engineering, Procurement & Construction (EPC) alias proyek bernuansa energi, dan investasi. Khusus konstruksi bangunan (alias ranah SGPC), diserahkan ke WEGE – WIKA Gedung – yang akan membangun Wika Tower; sementara pengembang properti WIKA adalah WIKA Realty.
Hal itu menyebabkan banyak anak usahanya berkantor di gedung lain, sebuah deja vu tahun 1980. Semisal WIKA Realty yang numpang di Menara Bidakara, sedangkan WIKA Gedung dan WIKA Rekayasa Konstruksi menumpang di Menara MTH. Keduanya masih satu jalur ke M.T. Haryono. Hal inilah yang membuat Wijaya Karya ingin membangun gedung baru di sebelah kantor pusat korporatnya sejak 1982.
Sebenarnya, ide untuk membangun gedung baru adalah keinginan yang terpendam sejak 1994-95. Di tengah perluasan gedung Kav. 9, WIKA yang tak mau ketinggalan dengan sesama kontraktor negeri lainnya (Adhi Karya dan PT PP) berencana membangun gedung kantor berlantai 14 bernama WIKA Plaza yang akan difungsikan tak hanya sebagai kantor pusat WIKA tetapi juga menjadi kantor sewa.
Harapan tersebut baru terwujud 20 tahun kemudian, saat gedung perluasan itu, kini bernama WIKA Tower dibangunnya sendiri mulai Juli 2014, hingga rampung sekitar awal tahun 2016. Penggunaannya diresmikan pada 20 Mei 2016, dan sejak saat itu WIKA inti berkantor di gedung ini, untuk perkembangan setidaknya sampai 2022 lalu (itupun sebelum Covid-19 datang menyapa dunia).
“Mpok Glesi dari Cawang”
Secara desain, WIKA Tower yang dirancang oleh tim arsitek dari Arkonin, diilhami lebih pada aspek muatan lokal yaitu mengadopsi busana pengantin wanita Betawi, dengan konsep manusia – ada kepala, badan dan kaki, plus simbolisasi citra PT Wijaya Karya. Bagian mahkotanya diumpamakan sebagai hiasan kembang, eksteriornya yang sarat kaca diumpamakan sebagai cadar pengantin, sekaligus meneduhkan penghuni dari hujan.
Kaki gedung ini artiannya jauh dari budaya Betawi, sebaliknya menegaskan persatuan, kesatuan dan pengelolaan yang bertanggung jawab (good governance) Wijaya Karya beserta anak-anak usahanya. Bentuk dasarnya menurut tim penulis buku WIKA Tower adalah kotak yang dimainkan bentuknya agar ada kesan dinamis, simbolisasi citra dinamis dan berperan dalam mewujudkan infrastruktur nasional dan internasional. Gedung berkaca biru itu menerima gelar emas Bangunan Hijau dari Majelis Bangunan Hijau Indonesia (Green Building Council Indonesia) yang mengacu pada efisiensi energi listrik, air dan ruang terbuka hijau.
WIKA Tower memiliki 16 lantai dengan 4 ruang bawah tanah, berdiri di atas pondasi rakit setebal 2,5 meter dan struktur atas berupa beton bertulang dengan rangka batang sebagai pemikul beban, bersama dengan kolom. Akibatnya, inti gedung dan tembok geser yang tebal menjadi tidak diperlukan. Kolom di lantai 1 diberi base isolator alias pemisah untuk mengurangi efek dari gempa terhadap struktur bangunan. Awalnya gedung ini akan memiliki 19 lantai, tetapi karena KKOP Bandara Halim Perdanakusuma, tinggi gedung ini dibonsai menjadi 70 meter.
Keseluruhannya adalah menurut tim dari Wijaya Karya, dan bukan dari orang biasa dan SGPC yang menganggap gedung ini tidak ada spesialnya, hanya satu dari ratusan mpok Glesi yang berdiri di penjuru Ibukota.
Data dan fakta
Kavling 9
Alamat | Jalan D.I. Panjaitan Kav. 9 Jatinegara, Jakarta Timur, Jakarta |
Arsitek | Suminta Abdullah (Bina Karya, arsitektur blok depan) Emir Hadi (arsitektur blok menara) Tri Hapsoro (struktur blok menara) |
Pemborong | Wijaya Karya |
Lama pembangunan | 1976 (blok depan) 1980 – 1982 (blok menara) |
Jumlah lantai (blok menara per 1994) | 11 lantai |
Jumlah lantai (blok depan per 1982) | 3 lantai |
Kavling 10 (WIKA Tower)
Alamat | Jalan D.I. Panjaitan Kav. 10 Jatinegara, Jakarta Timur, Jakarta |
Arsitek | Arkonin |
Pemborong | Wijaya Karya |
Lama pembangunan | Juli 2014 – Mei 2016 |
Tinggi gedung (WIKA) | 70 meter |
Jumlah lantai | 16 lantai 4 basement |
Biaya pembangunan | Rp. 260 milyar (2016) Rp. 305,5 milyar (inflasi 2023) |
Referensi
- Adhitya Putra Pratama; Candella Sardjito; Imelda Anwar et. al. (2016). “Wika Tower: A Pride of Our History.” Jakarta: PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Halaman 28-34, 50-67, 76, 110, 144-145
- Indra Utama (1995). “Setelah Matang di Hilir.” Majalah Properti Indonesia No. 21, Oktober 1995, hal. 46-47
- Bineratno; Mada Gandhi; Herman Syahara (1994). “Sumber Profit Baru BUMN-PU.” Majalah Properti Indonesia No. 3, April 1994, hal. 84-86
- Press release (2016). “Syukuran Penempatan Gedung Baru Kantor Pusat WIKA WIKA Tower.” Halaman resmi Wijaya Karya, 20 Mei 2016. Diakses 2 Februari 2023 (arsip)
Tinggalkan Balasan