Iklan

Setiap Gedung Punya Cerita

Blog Sejarah Gedung-Gedung Indonesia

Gedung MPR/DPR/DPD-RI

Gedung MPR/DPR/DPD-RI adalah kompleks kantor parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto, kel. Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tetapi ia dikenal sebagai Senayan karena kawasan ini berada di utara Kompleks Olahraga Senayan, atau sekarang dikenal dengan Gelanggang Olahraga Bung Karno Senayan. Gedung ini difungsikan sebagai Kantor MPR/DPR/DPD-RI sejak 1972.

Evolusi gedung MPR/DPR/DPD-RI dikenal sangat panjang dan sangat berikatan dengan sejarah kebangasan Indonesia, diawali sebagai proyek monumental Soekarno membangun kantor sekretariat organisasi tandingan PBB hingga akhirnya dimanfaatkan sebagai kantor parlemen Indonesia sejak era Orde Baru. Ia dibangun oleh banyak BUMN Karya dan dirancang oleh sebuah komite yang dipimpin oleh Soejoedi Wirjoatmodjo.

Proyek Gedung MPR/DPR/DPD-RI juga berperan sangat besar pada blantika arsitektur Indonesia karena menelorkan bakat-bakat baru yang kelak meninggalkan jejaknya karyanya di era Orde Baru.

Mayoritas isi artikel Gedung MPR/DPR/DPD-RI disarikan dari buku “Gedung MPR/DPR-RI, Sejarah dan Perkembangannya” yang diterbitkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI pada tahun 1995.

Gedung MPR/DPR/DPD-RI
Pandangan depan di saat sore, 8 Juni 2023. Ki-ka: Gedung Nusantara, Nusantara I, Elemen Estetik, Nusantara III dan Nusantara IV. Foto oleh Haris Purwa/Shutterstock.

Penelusuran kilat


Iklan

Sejarah Gedung MPR/DPR/DPD-RI yang diawali dari Conefo

Sejarah gedung ini sebenarnya bukan dari keinginan menyediakan fasilitas dasar negara termasuk membangun kantor baru untuk DPR-GR saat itu; sebaliknya ia lahir dari perilaku panjat sosial Presiden Republik Indonesia pertama Soekarno di panggung internasional.

Saat itu, sikap permusuhan terhadap negara-negara Barat sedang panas-panasnya, dan demi sikap antikolonialismenya, Soekarno nekat memproklamirkan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berkehendak membentuk organisasi internasional tandingan bernama Conefo (Conference of New Emerging Forces) yang berisikan negara-negara berkembang Asia dan Afrika.

Persiapan pembentukan organisasi yang dikerjakan secara tergesa-gesa dan tidak mempedulikan kondisi ekonomi yang payah dan sosial-politik yang berantakan tersebut direalisasikan pada 8 Maret 1965 melalui penerbitan Keputusan Presiden No. 48/1965 yang memerintahkan Departemen Pekerjaan Umum & Tenaga (PUT) menggarap proyek yang bernama political venue (gelanggang politik).

Tujuannya adalah untuk menyediakan tempat untuk “kepentingan penyelenggaraan konferensi-konferensi internasional di bidang politik dalam rangka penggalangan persatuan bangsa-bangsa, terutama dari negara-negara New Emerging Forces.” Keppres tersebut juga menitikberatkan kesesuaian dengan “kepribadian Indonesia” kemungkinan merupakan konteks arsitektur.

Tetapi, Keppres ini memberikan tenggat waktu realisasi yang sangat tidak realistis, 17 Agustus 1966. Maka, Departemen PUT mengeluarkan Peraturan Menteri PUT No. 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo (Kopronef) yang memerintahkan mobilisasi seluruh aparatur negara dan daerah, mengadakan hubungan kerja antara instansi sipil, militer dan swasta, mengerahkan masyarakat dan perusahaan baik BUMN maupun swasta serta mengeluarkan kebijakan yang dirasa perlu untuk melancarkan Proyek Conefo.


Iklan

Tahap konstruksi dan pemakaian oleh MPR/DPR/DPD-RI

Pemancangan tiang pertama proyek Conefo terjadi pada 19 April 1965, HUT 10 tahun Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Pembangunannya yang kolosal dan tenggat waktu yang sangat mepet melibatkan banyak BUMN karya seperti Hutama Karya (gedung utama konferensi), Adhi Karya (gedung Sekretariat), Nindya Karya (gedung auditorium dan balai banquet) dan Waskita Karya, Wijaya Karya dan PN Peprida masing-masing mengerjakan danau dan plaza, instalasi listrik serta mekanik.

Konstruksi struktur seluruh gedung Conefo selesai menjelang HUT 20 tahun Kemerdekaan RI atau dalam kata lain, 17 Agustus 1965. Namun, setelah momen tersebut, proyek mulai sedikit melambat terutama karena insiden Gerakan 30 September dan keterbatasan anggaran. Toh itu tidak membuat proyek Conefo terhenti.

Dalam waktu bersamaan dengan proyek Conefo, DPR-Gotong Royong sedang merehabilitasi gedung yang sekarang Gedung A.A. Maramis di Lapangan Banteng. Mulai Februari 1965, DPR-GR menempati bekas kantor Komando Urusan Pembangunan Asian Games 1962; sementara MPR Sementara nomaden. Pasca-G30S, karena ketidakjelasan rehabilitasi gedung di Lapangan Banteng, baik DPR-GR dan MPRS bersidang di stadion basket dan Istora, semuanya di kawasan Gelora Bung Karno.

Hingga akhirnya, pada 9 November 1966, Keppres No. 48/1965 diamandemen menjadi Surat Keputusan Presidium Ampera No. 79/U/Kep/11/1966 dengan mengubah maksud “political venue” sebagai kantor dan tempat pertemuan permanen MPR/DPR-RI. Sebulan kemudian (19 Desember 1966), Departemen PUTL membubarkan Korpronef dan dibentuk ulang sebagai Panitia Pembangunan Gedung MPR/DPR-RI, yang selanjutnya kewenangannya diserahkan pada Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU.

Proyek tersebut bisa diselesaikan secara bertahap. Per September 1966, biaya konstruksi proyek Conefo sudah mencapai Rp. 546 juta rupiah (1966), setara Rp. 473 milyar rupiah nilai 2023, dan untuk menyelesaikan proyek tersebut, Soejoedi mengatakan bahwa panitia memerlukan tambahan Rp. 500 juta lagi (nilai 1967).

Penyelesaiannya pun harus dilaksanakan bertahap. Tahap pertama yang diselesaikan adalah gedung utama (Gedung Nusantara) dan penataan jalan pada 15 Maret 1968; gedung sekretariat (Gedung Nusantara III) pada 20 Maret 1978, gedung auditorium pada 15 September 1982 dan gedung banquet pada Februari 1983, jauh lebih lambat dari Gedung Sekretaris Jenderal (akan dibahas di bagian berikutnya).

Sekretariat DPR-RI mulai berpindah ke kawasan ini pada Mei 1968 sekaligus menyerahkan gedung Daendels di Lapangan Banteng ke Departemen Keuangan; pada bulan Agustus 1972 Sekretariat DPR-RI menempati gedung yang sekarang merupakan Gedung Nusantara III dan disusul dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang menempati dua lantai teratas gedung tersebut. BPK pindah ke gedung barunya di seberang kompleks MPR/DPR-RI pada 1979.

Pada Mei 1998, gedung auditoriumnya menjadi target pendudukan gedung utama DPR oleh mahasiswa yang menuntut mundur Presiden Soeharto pada 18 Mei 1998.


Iklan

Gedung Nusantara, Nusantara II, III, IV dan V (1968-1983)

Nusantara III DPR-RI
Dari sini anda bisa melihat cantilever pada Nusantara III dan IV. Foto oleh mimin SGPC.

Terdapat lima bangunan awal yang dibangun di Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD-RI seluas 418.000 meter persegi (awalnya 728 ribu m2 yang kemudian dibagi-bagikan ke Taman Ria Senayan (sekarang Senayan Park), Televisi Republik Indonesia, Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Manggala Wanabakti; gedung yang disebut terakhir adalah karya Soejoedi dan Nurpontjo lainnya), yang terdiri dari – namanya Inggris semua – Main Conference Building (Nusantara), Secretariat Building (Nusantara III), Press Centre (Nusantara II), Banquet (Nusantara IV) dan Auditorium (Nusantara V).

Perancangan dan pembangunan kompleks ini dilaksanakan secara kolosal dan keroyokan secara terburu-buru, sehingga dibagi menjadi empat tim, yaitu tim I perencanaan, tim II keuangan, tim III logistik dan tim IV pelaksanaan. Tim I dipimpin oleh Soejoedi Wirjoatmodjo, tim II dipegang J. Muda Dalam, tim III dikepalai S. Danugoro dan tim IV dipegang oleh Ir. Sutami. Kita bahas apa yang Tim I garap, karena ini membahas arsitekturnya.

Desain gedungnya merupakan hasil dari sayembara yang diadakan pada bulan November 1964, dalam persiapan proyek political venue. Saat itu, dua BUMN dan satu perusahaan swasta yaitu Virama Karya, Bina Karya serta Perentjana Djaja bersaing dengan seorang Soejoedi Wirjoatmodjo yang dalam keadaan enggan akhirnya maju ke sayembara atas dorongan Menteri PUTL Soeprajogi. Soejoedi berhasil mengalahkan insinyur-insinyur di bawah nama perusahaan tersebut secara aklamasi, konon karena Soejoedi langsung menyodorkan maket dan penyelesaian yang cerdas yaitu membagi konstruksi gedung menjadi lima bagian.

Gedung MPR/DPR/DPD-RI berada di utara gelanggang olahraga Gelora Bung Karno Senayan, yang dimaksudkan sebagai pelengkap kawasan olahraga tersebut; hanya dipisahkan oleh keberadaan Jalan Gerbang Pemuda. Sebagai proyek kolosal tandingan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS, perancangan proyek yang awalnya akan dijadikan Gedung Conefo tersebut menjadi etalase arsitektur nasional di panggung global sekaligus memiliki ciri monumental dan megah. Titik fokus kawasan ini bukanlah gedung sekretariatnya seperti pada kantor pusat PBB melainkan gedung pertemuan utama (Gedung Nusantara).

Sementara penataan taman dan kebunnya digarap oleh Slamet Wirasondjaja MLA, memperkuat kesan monumental dan megah tersebut. Jalan akses sepanjang 500 meter yang bersimpangan dengan Jalan Gatot Subroto berjalan paralel dengan sumbu utama sehingga menunjang keberadaan Gedung Nusantara sebagai titik fokus; dan dengan jarak yang luas inilah memberikan keleluasaan dalam mengadakan kegiatan-kegiatan protokoler. Sekitar gedung terdapat taman-taman yang memberikan kesan kesejukan tropis Indonesia, serta kolam air mancur dan monumen bernama Elemen Estetik, yang turut memperkuat kesan monumentalnya.

Jalan dan kolam tersebut merupakan pengganti dari rencana pusat pertokoan yang tidak dibangun karena faktor pendanaan.


Iklan

Profil gedung-gedung

Gedung MPR/DPR/DPD-RI, 1977
Seperti burung yang akan terbang, 1977.
Foto: tidak diketahui, disadur dari Welcome to Jakarta terbitan Editions Delroisse Montreal

Gedung Nusantara adalah gedung pertemuan utama anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; ia menyediakan kapasitas kursi 1.000 orang untuk balkon bawah dan 500 orang untuk balkon atas; dan menjadi tempat bertemu 600 lebih anggota DPR-RI dan 200an anggota DPD-RI. Ia memiliki luas lantai sekitar 23.870 m2.

Secara arsitektur, Gedung Nusantara merupakan sebuah tetenger dengan bentuk kubah yang mirip kepakan sayap seekor burung “yang akan take-off” per Sinar Harapan (25 Maret 1976) atau burung Garuda – simbol Republik Indonesia (Gedung MPR/DPR-RI, Sejarah dan Perkembangannya). Secara garis besar, kepada pewarta harian Sinar Harapan (25 Maret 1976), kubah tersebut melambangkan dinamika.

Tetapi, muncul teori baru yang paling awal dari tahun 2011. Teori tersebut adalah bahwa Gedung Nusantara merupakan perwujudan interpretasi yoni dari lingga yang menjadi interpretasi Monumen Nasional, dimana Monas yang dekat dengan Istana Negara mewakili eksekutif menjadi “bapak” dan kantor DPR yang mewakili legislatif menjadi “ibu” yang melahirkan “anak” atau produk hukum (undang-undang).

Walau terkesan dipaksakan dan mengabaikan kisah menarik dari pembangunan Gedung Nusantara yang akan blog ini sampaikan di bagian berikutnya, teori lingga yoni tersebut lebih diterima masyarakat – kasus yang mirip dengan Gedung Sapta Pesona dimana penjabaran awalnya sulit diterima; justru interpretasi lingga yoni lebih diterima di benak masyarakat.

Ehemaliges TWA-Terminal am John F. Kennedy International Airport in New York
Trans World Airlines Flight Centre (sekarang sudah jadi hotel) karya Eero Saarinen, New York City, AS. “Sayap”-nya naik ke atas dan titik rendah kubahnya difungsikan sebagai kanopi pintu masuk terminal. Beda jauh dengan Gedung Nusantara. Foto: Roland Arhelger, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons
Berlin Kongresshalle BW 1
Haus der Kulturen der Welt (bekas Kongresshalle) karya Hugh Stubbins, Berlin, Jerman. Konon Soejoedi pernah melewati gedung ini dan dianggap sumber inspirasi Gedung Nusantara; posisi titik temu dua busur beton ada di tanah, bukan di kubah seperti yang ada di Gedung DPR. Pada tahun 1980, busur beton Kongresshalle ambruk; sementara Gedung DPR yang pernah diduduki ribuan manusia pun tidak ambruk juga. Foto: Berthold Werner, CC BY-SA 3.0/GNU FDL, via Wikimedia Commons

Tidak seperti yang dituduhkan sementara pihak, gedung bekas Main Conference Hall bukan versi K.W. dari Haus der Kulturen der Welt (Hugh Stubbins) di Berlin, atau TWA Flight Centre (Eero Saarinen) di New York City, karena idenya sendiri sudah orisinal. Teori bahwa Soejoedi yang merupakan jebolan TU Berlin dan pernah melihat Haus der Kulturen der Welt memperkuat tuduhan penjiplakan tersebut.

Per buku “Gedung MPR/DPR-RI, Sejarah dan Perkembangannya” idenya hadir di saat-saat jelang deadline alias crunch time para arsitek dalam menyelesaikan maket Conefo. Saat Noerpontjo (anak buah Soejoedi dan arsitek Gedung Karsa Kemenhub) menyempurnakan hasil cetakan kubah Gedung Nusantara yang terbuat dari panci kue serabi, Soejoedi melihat dua potongan cetakan yang tergeletak. Ia mengatakan bahwa akan jauh lebih bagus bila kedua potongan cetakan disatukan dalam kondisi diangkat dan dibelah. Usulan tersebut disetujui perancang struktur dan Kepala Tim IV Sutami.

Konsep struktur kubahnya mirip dengan pesawat terbang; ini yang membuat Sutami yakin dengan rancangan kubah Gedung Nusantara. Kubah sepanjang diameter 120 meter ditopang oleh dua busur beton yang jarak kaki depan dan belakangnya 117 meter.

Struktur gedung ini juga menggunakan beton pratekan dengan cantilever (gantungan) sepanjang 7,5 meter (baca di paragraf selanjutnya). Ini yang membuat kolom di dalam aula Gedung Nusantara tidak lagi diperlukan; atau yang diklaim KOMPAS pada 1978 dan koran Yogyakarta Bernas 15 tahun kemudian, tidak perlu memakai struktur baja a la insinyur Tiongkok komunis. Catatan sejarah yang tertuang dalam buku “Gedung MPR/DPR-RI, Sejarah dan Perkembangannya” ini seharusnya bisa menggugurkan teori lingga yoni yang ramai dibicarakan pengguna internet Indonesia saat artikel ini ditambah pada 18 Agustus 2024.

Nusantara III DPR-RI
Gedung Nusantara III yang terlihat tekukannya dari posisi ini. Foto oleh mimin SGPC.

Sementara gedung-gedung lainnya yaitu Nusantara II, III, IV dan V memiliki tampilan yang modern, biasa saja, sarat garis horisontal. Tapi tampilan biasa serta peruntukan awal terutama Nusantara IV dan V sebagai gedung jamuan (Banquet) dan auditorium tersebut menyimpan arti tersendiri sebagai bangunan yang sangat memahami arsitektur tropis Indonesia, dan kebudayaan Indonesia yang ramah dan melayani tamu. Penerapan tropisnya bisa dilihat dari saratnya pemakaian gantungan cantilever 5 meter di Gedung Nusantara II dan III, serta gantungan 7,5 meter di Gedung Nusantara IV.

Gedung Nusantara III yang lahir sebagai Secretariat Building dan sekarang menjadi kantor komisi-komisi Dewan Perwakilan Rakyat RI memiliki 10 lantai dan 1 basement dengan luas lantai total 30.888 m2 (hitungan kasar Google Maps, versi buku DPR 4.500 m2, kemungkinan luas tapak saja). Dari bentuk gedungnya, gedung sekretariat dan komisi DPR-RI ini berbentuk menekuk, mirip dompet terbuka, supaya titik pandang masyarakat tetap tidak berpaling dari Gedung Nusantara. Ini yang diklaim oleh tim penulis sejarah Gedung DPR-RI sebagai kejeniusan tim Soejoedi dkk.

Sementara Gedung Nusantara II (eks Press Centre) berlantai dua memiliki luas lantai 6.160 m2 (Google Maps) dan Nusantara IV (eks Banquet) dengan 3 lantai seluas 13.440 m2. Sebagai kantor Dewan Perwakilan Daerah, Gedung Nusantara V bekas Auditorium mengisi luas lantai 10.480 m2. Gedung Nusantara IV punya keunikan eksteriornya, yaitu relief bertajuk “batu-batu pembangunan” yang dikaryakan oleh tim seniman Departemen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, yang tersusun atas pola lengkungan yang diulang-ulang, mengesankan kelembutan yang dipadu dinamisme gerak.

Gedung Nusantara IV, Gedung MPR/DPR/DPD-RI
Gedung Nusantara IV dengan relief “Batu-Batu Pembangunan” karya Departemen Seni Rupa ITB. Foto oleh Haris Purwa/Shutterstock.

Iklan

Gedung Sekretaris Jenderal (1981)

Gedung Sesjen DPR-RI
Terselip diantara megahnya Gedung DPR era Conefo. Foto oleh mimin SGPC.

Gedung Sekretaris Jenderal MPR/DPR/DPD-RI adalah tambahan pertama non-Soejoedi (atau malah Soejoedi juga arsiteknya? Gedung ini mulai dibangun saat ia masih hidup) yang dibangun di dalam kawasan Gedung MPR/DPR/DPD-RI. Ia dibangun bersamaan dengan penyelesaian akhir gedung banquet dan auditorium yang saat itu sedang digesakan untuk menyelesaikan proyek Kompleks Parlemen Indonesia.

Gedung ini berlantai delapan, penampilan standar gedung era Orde Baru, dengan luas lantai sekitar 7.000 sampai 8.500 meter persegi, lebih kecil dari luas lantai Gedung Nusantara IV. Gedung Sesjen DPR dirancang oleh tim arsitek Gubah Laras, biro arsitek bentukan bekas personel Conefo, Soejoedi dan Nurpontjo, dan dibangun oleh Getraco Utama mulai 6 Desember 1979 dalam sebuah upacara peletakan batu pertama, hingga selesai dibangun pada September 1981 (22 bulan).

Gedung Sekretaris Jenderal DPR-RI
Kanopi masuk gedung Sekjen DPR-RI. Foto oleh Ikung Adiwar/Panoramio

Gedung Sesjen DPR diresmikan penggunaannya oleh Ketua MPR/DPR-RI Daryatmo pada 28 Oktober 1981 dengan nama Kamania Sasanagraha. Proyek ini menghabiskan biaya negara Rp. 2,46 milyar (1981, setara Rp. 64,6 milyar nilai 2023).


Iklan

Gedung Nusantara I (1997)

Gedung Nusantara I DPR-RI adalah gedung terbaru di kompleks MPR/DPR/DPD-RI dan gedung tambahan non-Soejoedi kedua (atau satu-satunya bila benar Gedung Sesjen DPR-RI merupakan karya Soejoedi). Gedung berlantai 25 tersebut juga merupakan rancangan dari Gubah Laras. Perencanaan gedung yang awalnya bernama Lokawirsabha Tama itu sudah dilakukan sejak 1991 melalui lokakarya dan seminar yang melibatkan pihak perancang terkait dan DPR-RI.

Konstruksi Gedung Nusantara I dimulai pada 5 Januari 1994 dalam sebuah upacara dimulainya tahap konstruksi yang dihadiri oleh Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut Soeharto), anak Presiden Republik Indonesia kedua Soeharto sekaligus pemilik Citra Lamtorogung Persada. Proyek tersebut berlangsung 3 tahun lebih, menghabiskan biaya sebesar 116 milyar rupiah, ekuivalen dengan Rp 854 milyar nilai 2023. Citra Lamtorogung Persada bekerjasama dengan BUMN perborongan Adhi Karya sebagai kontraktor gedung ini. Gedung Nusantara I akhirnya dibuka oleh Ketua DPR kala itu Wahono pada 11 Maret 1997.

Nusantara 1
Foto oleh mimin SGPC

Tidak banyak drama hingga era Reformasi, saat DPR menggodok pembangunan gedung baru berlantai 36 lantai di belakang Gedung Nusantara I. Sontak rencana tersebut memicu keributan di media massa, baik elektronik maupun cetak, karena fasilitas yang diberikan.

Klaim lain yang muncul adalah Gedung Nusantara I dianggap miring 7 derajat. Tidak disebutkan arah kemiringannya, tetapi gedung tersebut, menurut Kementerian PU dalam sebuah pengecekan visual pada September 2009, secara struktur masih tegak. Belum juga keadaan lift yang diklaim tidak beres dan ruang kantor yang sempit (baca arsitektur dan struktur). Tetap saja pihak DPR memang ingin gedung baru karena alasan-alasan ini.

Akibat dari rencana ini, DPR tak hanya dicemooh publik di media massa dan media sosial, rencana membangun gedung baru gagal sejak Mei 2011, dan kembali digagalkan pada Agustus 2015 saat Presiden Joko Widodo menolak menandatangani prasasti pembangunan gedung baru DPR-RI.

Pada 15 Oktober 2018 beberapa peluru milik penembak yang sedang melakukan latihan tembak terdekat di Senayan mendarat di beberapa kantor anggota DPR di Gedung Nusantara I DPR-RI. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Kedua penembak, sama-sama PNS Kementerian Perhubungan, ditangkap Polda Metro Jaya esok harinya, karena dianggap lalai dalam kejadian tersebut.

Pasca kejadian penembakan tersebut DPR merencanakan memasang film kaca anti-peluru, sementara Pemerintah Daerah DKI Jakarta berencana menutup Lapangan Tembak Senayan yang legendaris itu, karena alasan keselamatan dan keamanan.


Iklan

Gedung Nusantara I MPR/DPR/DPD-RI hanya menang tinggi

Gedung Nusantara 1 ini memang tidak memiliki penjelasan khusus dari segi arsitektural luar, selain dari kasat mata menggunakan komposit dan kaca berwarna hijau yang cukup elegan dibanding tetangganya yang modern khas gaya internasional. Interior gedung juga lebih menonjol segi penggunaan marmernya yang mencapai 15 ribu meter persegi, dan dengan luas keseluruhan 56 ribu meter persegi, sudah termasuk sekat dan ruang untuk toilet dan service lainnya, 16 ribu meter persegi ruang bersih sudah digunakan oleh keseluruhan 500 anggota DPR-RI kala itu.

Asumsi 2019 dengan 560 anggota, total ruang yang digunakan secara teoritis seharusnya sudah mencapai 17.920 meter persegi, bila merujuk luas gedung yang digunakan untuk ruang anggota DPR-RI sebesar 32 meter persegi/anggota per laporan majalah Konstruksi edisi Juli 1997. Kenyataan yang didapat media online Detik, per anggota DPR dan staf-stafnya hanya 20 meter persegi/anggota, dengan grand total 11.200 meter persegi.

Fasilitas tambahan yang ada dalam Gedung Nusantara 1 kala itu adalah kantor sekretariat fraksi, perpustakaan (kini pindah ke Gedung Nusantara 2) dan ruang sidang komisi-komisi DPR-RI.

Struktur pada gedung ini tidak dijelaskan secara rinci, pondasi bored pile dengan struktur gedung utama tidak dijelaskan. Saat instalasi sarana listrik dan mekanik gedung, salah satu helikopter ditugaskan untuk mengangkat sentral pendingin udara.


Iklan

Data dan fakta

Nama sejak Desember 1998Nama era ConefoNama era Orde Baru
Gedung Nusantara (gedung utama)Main Conference BuildingGrahatama
Gedung Nusantara Itidak dibangunLokawirasabha Tama
Gedung Nusantara IIPress CentreGana Graha
Gedung Nusantara IIISecretariat BuildingLokawirasabha
Gedung Nusantara IVBanquet HallPustaka Loka
Gedung Nusantara VAuditoriumGraha Karana
Gedung Sekretariat Jenderal MPR/DPR-RItidak dibangunKamania Sasanagraha

Gedung ex-Conefo

Untuk pendataan, seluruh kompleks tersambung dengan Gedung Nusantara III.

Nama lamaLihat tabel
AlamatKompleks MPR/DPR/DPD Republik Indonesia, Jalan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jakarta
ArsitekKomite, terdiri dari:
Soejoedi Wirjoatmodjo (arsitektur)
Sutami (struktur)
Slamet Wirasondjaja (tata kebun)
PemborongHutama Karya (gedung utama konferensi)
Adhi Karya (gedung Sekretariat)
Nindya Karya (gedung auditorium dan balai banquet)
Waskita Karya (danau dan plaza)
Wijaya Karya (listrik)
PN Peprida (mekanik)
Lama pembangunan (keseluruhan)April 1965 – Februari 1983
Jumlah lantai (Gedung Nusantara III)10 lantai
SignifikasiSejarah (proyek mercusuar era Soekarno)
Arsitektur (proyek arsitektur modern paling ikonik di Indonesia karya Soejoedi)
Sospol (bagian dari kantor anggota DPR-RI)
Referensi: Majalah Konstruksi Juli 1997; KOMPAS 8 Maret 1997

Gedung Sekretaris Jenderal DPR-RI

Nama lamaLihat tabel
AlamatKompleks MPR/DPR/DPD Republik Indonesia, Jalan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jakarta
ArsitekGubah Laras
PemborongGetraco Utama
Lama pembangunanDesember 1979 – September 1981
Diresmikan28 Oktober 1981
Jumlah lantai8 lantai
Biaya pembangunanRp. 2,46 milyar (1981)
Rp. 64,6 milyar (inflasi 2023)
SignifikasiSospol (bagian dari kantor anggota DPR-RI)
Referensi: Majalah Konstruksi Juli 1997; KOMPAS 8 Maret 1997

Gedung Nusantara I

Nama lamaLihat tabel
AlamatKompleks MPR/DPR/DPD Republik Indonesia, Jalan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jakarta
ArsitekGubah Laras
Pemborong (J.O.)Citra Lamtorogung Persada
Adhi Karya
Lama pembangunanJanuari 1994 – Maret 1997
Diresmikan11 Maret 1997
Jumlah lantai24 lantai
Biaya pembangunanRp 116 milyar (1997)
Rp 854 milyar (inflasi 2023)
SignifikasiSospol (bagian dari kantor anggota DPR-RI)
Referensi: Majalah Konstruksi Juli 1997; KOMPAS 8 Maret 1997

Referensi

  1. Budi A. Sukada; Julius Pour; Hilmi Syatria (1995). “Gedung MPR/DPR-RI, Sejarah dan Perkembangannya.” Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (Diakses via Repositori DPR-RI, diarsip 28 Juli 2022 – Bag cover depan-xvi, xvii-xxii, 1-35, 36-cover belakang)
  2. hbk;sef (1993). “Gedung DPR/MPR RI dibangun untuk menyaingi Gedung PBB.” Harian Berita Nasional (Bernas), 27 Februari 1993, hal. 11
  3. sindu; aj (1978). “Gedung MPR, hasil sebuah “mukjijat.” KOMPAS, 10 Maret 1978, hal. 1
  4. Laurens Samsoeri (1976). “Pembangunan Gedung DPR/MPR, Karya Arsitek2 Indonesia yang dikagumi.” Sinar Harapan, 25 Maret 1976, hal. 5
  5. dod (1967). “1/2 miljard lagi untuk proyek DPR-GR/MPR.” KOMPAS, 18 Juli 1967, hal. 1
  6. Sekjen DPR-RI (1970, reprint 1983). “Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia.” Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Halaman 462-463
  7. ANTARA (1982). “Gedung Auditorium DPR/MPR-RI diserahkan.” KOMPAS, 16 September 1982, hal. 3
  8. hk (1972). “Sekretariat DPR pindah ke gedung baru.” KOMPAS, 8 Agustus 1972, hal. 12
  9. Sekjen DPR-RI (1983). “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Periode 1977-1982.” Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Halaman 393-395
  10. “Gedung Baru MPR/DPR bernilai Rp. 2,5 milyar.” Berita Yudha, 30 Oktober 1981, hal. 6
  11. Arsip halaman resmi Gubah Laras, diarsip 7 Januari 2007
  12. dey;sef (1994). “Mbak Tutut tekan tombol pembangunan Gedung DPR.” Harian Berita Nasional (Bernas), 6 Januari 1994, hal. 1, 11
  13. Alexander Purba (1997). “Gedung Baru DPR-RI, Siap Tampung Anggota Baru”. Majalah Konstruksi, Juli 1997.
  14. RS (1997). “Gedung DPR/MPR Baru Diresmikan 11 Maret 1997”. KOMPAS, 8 Maret 1997.
  15. Prasetia, Andhika; Maulana Ibrahim, Gibran (2017). “Menelusuri Gedung Nusantara I Yang Disebut Miring 7 Derajat“. Detikcom, 15 Agustus 2017 (arsip)
  16. Rinaldo (2017). “Meluruskan “Gedung Miring” Wakil Rakyat“. Liputan 6 SCTV, 18 Agustus 2017. (arsip)
  17. Indeks berita terkait di Detikcom terkait insiden penembakan di Gedung Nusantara I
  18. Aryono (2014). “Riwayat nama ruang dan Gedung Parlemen.” Historia, 27 November 2014. Diakses 13 Maret 2024 (arsip)
  19. Makna filosofis arsitektur Gedung DPR dan Monas.” Liputan 6 SCTV, 19 Maret 2011. Diakses 18 Agustus 2024 (arsip)
  20. Dyan Agustin; Fairuz Mutia; Wiwik Dwi Susanti (2020). “Tradisi lisan sebagai salah satu sumber eksplorasi desain arsitektur nusantara: Studi kasus Gedung Museum Purna Bhakti Pertiwi, Tugu Monas dan Gedung DPR/MPR RI.” Surakarta: Sinektika Universitas Muhammadiyah Surakarta, vol. 17 No. 2, Juli 2020. Hal. 139-144

Lokasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *