Gedung berwarna hitam, mengotak dan bergaya internasional, dengan tampilan sangat elegan ini bukanlah bangunan baru. Bernama “Landmark Centre”, gedung ini pernah berjaya di masa lalu dengan banyaknya perusahaan top kelas dunia yang masuk sebelum menjamurnya bangunan lapis kaca pada abad 21, dan pemiliknya satu grup dengan pemilik Ratu Plaza yang juga berjaya di dekade 80an – Ratu Sayang Internasional. 

Landmark Yang Kehilangan Simbolnya
Dilihat dari Hotel Alia Cikini, tampak banyak ruang kantor yang tak terisi. Foto oleh mimin SGPC

Gedung yang berlokasi di ujung timur kawasan Sudirman (seberang Grha BNI dan Wisma 46 yang lebih ikonik) ini dibangun dalam dua tahap, tahap pertama dibangun oleh pemborong Kadi Internasional (yang kemungkinan melibatkan Kumagai Gumi) mulai Juli 1983 dan selesai dibangun paling cepat menurut rencana yang dikabarkan adalah September 1985. Pada tanggal 22 Januari 1985, dengan dihadiri Wakil Gubernur DKI Bun Yamin Ramto, gedung pertama Landmark Centre tutup atap. Gedung Landmark Centre I mulai digunakan sejak Januari 1986.

Sementara tahap kedua Landmark Centre II selesai dibangun pada tahun 1991, juga dibangun oleh Kumagai Gumi. Dengan pembangunan Landmark Centre II, gedung ini menjadi gedung kembar kelima di Indonesia setelah Wisma Metropolitan, apartemen Park Royale dan Sultan serta Palm Court. Tetapi pemakaian gedung tersebut belum terjadi sampai 1992 karena instalasi listriknya tidak dipasang dan memicu perselisihan antara Ratu Sayang dan Summa, kata pemberitaan Prospek.

Kedua gedung tersebut dirancang oleh Nihon Architects & Engineers (atau bernama Nihon Sekkei, yang merancang Park Royale, Wisma BCA, Gedung Ibnu Sutowo dan Atrium Mulia) bersama dengan Wiratman & Associates. Desain perkantorannya terilhami oleh Shinjuku Mitsui Building di Tokyo, yang juga rancangan Nihon Sekkei, konon, karena saran penjabat PT Landmark yang pernah ke Tokyo, menyarankan kepada Nihon Sekkei untuk merancang gedung yang mirip dengan Shinjuku Mitsui untuk Landmark.


Iklan

Gedung Landmark - Majalah Eksekutif, Juli 1989
Landmark pada malam hari di masa jayanya. Sumber: Philips Lighting, Majalah Eksekutif, Juli 1989

Kompleks Landmark awalnya akan menyertakan dua kondominium 18 lantai dan hotel 20 lantai berkapasitas 626 kamar. Rencana pembangunan kondo dan hotel tidak dilaksanakan, khusus hotel imbas rontoknya Grup Summa selaku mitra bisnis Ratu Sayang. Kebetulan Grup Summa berkantor di Landmark ketika konglomerasi milik Edward Soeryadjaya ini ambruk.

Pembangunan gedung tersebut menghabiskan investasi 60 juta dolar AS (atau 58,2 milyar rupiah nilai Juni 1983) dari pinjaman Citibank, Mitsubishi Bank dan Scotiabank. Ketika dibangun, gedung ini diklaim adalah yang tertinggi di Indonesia dengan tinggi 120 meter dan memiliki 33 lantai plus 2 basement. Namun versi resmi di tahun 1985 ini ditantang nilainya oleh CTBUH (133 meter), sementara status tertingginya pada faktanya sudah dipegang Plaza BBD (132m) dua tahun sebelumnya.

Seperti disinggung di awal, Landmark Centre menjadi kantor dari sejumlah perusahaan kelas dunia seperti Citibank (pindahan dari Oil Centre pada 1986 hingga 2001 – sekaligus pemberi dana pada pengembang), IBM, Atlantic Richfield Company (ARCO), Rabobank, dan nama besar lainnya.

Keberhasilan ARCO masuk Landmark Centre, disebut karena kejelian kelompok Onggo memanfaatkan koneksi keluarga Presiden Soeharto dan Pertamina untuk menggaet penghuni gedung, walau saingan sengitnya juga memakai jasa yang sama. Terakhir, Adira Finance dan BNI Life mengisi bangunan ternama di Sudirman ini. Pada 2002, Landmark Centre, seperti halnya bangunan di sekitar Kali Ciliwung, mengalami kebanjiran di basemennya dan kembali banjir pada 2015.

Saat SGPC membuat tulisan ini, Landmark Centre sedang mengalami masa-masa terberatnya, terutama gedung keduanya yang nyaris kosong melompong.


Iklan

Data dan fakta

AlamatJalan Jenderal Sudirman Kav. 1 Setiabudi, Jakarta Selatan, Jakarta
Jumlah menara2
ArsitekNihon Sekkei
Wiratman & Associates
PemborongKadi Internasional – Kumagai Gumi J.O. (asumsi sementara)
Lama pembangunan (menara 1)Juli 1983 – Januari 1986
Selesai dibangun (menara 2)1991
Jumlah lantai (kedua gedung)33 + 2 basement
Tinggi gedungMasih diperdebatkan; CTBUH menyebut 133 meter, tetapi harian KOMPAS menyebut tinggi gedung Landmark adalah 120 meter
Biaya pembangunanRp 58,2 milyar (1983)
setara Rp 1,3 triliun (inflasi 2020)
SignifikasiPop culture (isu mistis)
Referensi: KOMPAS 23/1/1985, 15/7/1983; Kumagai Gumi; Nihon Sekkei 2017

Referensi

  1. ak (1985). “Bangunan tertinggi di Indonesia”. KOMPAS, 23 Januari 1985, hal. 3
  2. ak (1985). “Gedung tertinggi di Jakarta”. KOMPAS, 15 Juli 1983, hal. 3
  3. Arsip web resmi Kumagai Gumi, diarsip 21 Mei 2010
  4. Arsip web resmi Kadi Internasional, diarsip 3 Oktober 2010
  5. Nihon Sekkei (1988). “Creation of tomorrow environment”. Process Architecture No. 76, 1988. Tokyo: Process Architecture Publishing Co. (snippet)
  6. Susanti Jo dan Agung Nugroho (2002). “Karyawan Gedung Landmark Diliburkan“. Liputan 6 SCTV, 5 Februari 2002. Diakses 7 Juni 2020 (arsip)
  7. pr (1986). “Rabobank Buka Kantor Perwakilan di Jakarta”. KOMPAS, 20 Juni 1986, hal. 2
  8. Annual Report Citibank 2018 (arsip)
  9. Sejarah Nihon Sekkei, 21 Agustus 2017, diakses 15 September 2020. (arsip)
  10. “Loan to finance centre in Jakarta”. Business Times (Singapura), 25 Juni 1983, hal. 2 (via NLB Singapura)
  11. Caroline Damanik (2015). “Jakarta Diguyur Hujan, Banjir Rendam Jalan di Kolong Landmark“. KOMPAS.com, 7 November 2015. Diakses dan diarsip 6 Oktober 2020.
  12. Bambang Budiono (1994). “Tiga Raksasa di Rental Properti”. Majalah Properti Indonesia No. 1, Februari 1994, hal. 26-27
  13. “Sayang, masih ada partner lokal bagaikan “boneka”.” Majalah Konstruksi, Juni 1984, hal. 63-65.
  14. Agung Firmansyah; Arfan Arsyad; Robinson P. (1992). “Nasib Saudara Kembar.” Majalah Prospek, 7 November 1992, hal. 44
  15. Chris Pujiastuti; Dhia Prekasa Y.; Maria Hartiningsih et. al. (1990). “Yang Jangkung, Melambung.” KOMPAS, 25 Maret 1990, hal. 1

Lokasi

Google Translate:


Bagaimana pendapat anda......

  1. Kak kenapa gedungnya kosong ya ? jadi serem

    1. Lebih ke pembiaran oleh pemilik bangunan. Harus investasi lagi supaya direnovasi menjadi lebih bonafid. Keluarga Henry Onggo ke mana ya, kenapa bangunan sestrategis ini dibiarin?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *