Phoenix Hotel adalah sebuah hotel mewah berbintang lima yang berdiri di Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta, yang merupakan salah satu koridor bisnis di Kota Pelajar. Hotel ini tidak hanya mewah melainkan punya nilai sejarah tinggi dalam perjalanannya. Namun, bagi SGPC, yang selama ini memang pantang membahas bangunan era Hindia Belanda yang dianggap basi dan terlalu dipenuhi para fanatik, pembahasan ini memang sedikit tidak menyenangkan.
Tidak ada catatan pemborong dan arsitek gedung kunonya, tetapi yang paling penting adalah catatan sejarahnya kini agaknya punya saingan. Saling bergesekan. Hanya pergesekan sejarah karena sumber yang lebih baru ini lah yang membuat SGPC tertarik untuk mengangkatnya. Baca sampai habis, karena hotel dengan 143 kamar ini bikin anda bingung sendiri.
Referensi kilat
Dahulu adalah vila milik juragan gula
Selama ini, narasi yang bisa didapatkan adalah diawali dari Kwik Djoen Eng, pedagang dan “juragan gula dari Jawa” keturunan Tionghoa yang memanfaatkan kekayaannya dari perdagangan gula melalui usahanya, NV Kwik Hoo Tong Handels Maatschappij, dengan membangun banyak real estat mewah di seantero Pulau Jawa, termasuk membangun rumah mewah yang kelak adalah Hotel Phoenix seperti ini, pada 1918.
Gara-gara pasar modal Amerika ambruk di tahun 1929 dan memicu depresi ekonomi hebat sedunia, NV Kwik Hoo Tong tumbang, dan di tangan generasi ketiga keluarga Kwik, malah memburuk dan akhirnya bangkrut. Keluarga Kwik Djoen Eng pun melikuidasi semua asetnya (versi Suleman kepada BERNAS. Historic Hotels Worldwide, mengklaim Kwik bangkrut dan aset-asetnya disita De Javasche Bank).
Bekas vila Kwik di selanjutnya dibeli oleh Liem Djoen Hwat, yang kemudian ia sewakan kepada D.N.E. Franckle dan dialihfungsikan sebagai rumah pensiun dan hotel bernama “Splendid” (Kementerian Pendidikan & Kebudayaan menyebut hotel ini dibeli Franckle, sementara Historic Hotels Worldwide tidak menyinggung peran Franckle dalam alihfungsi vila Kwik sebagai Hotel-Pension Splendid).
Namun, dengan penjajah Jepang menaklukkan Hindia Belanda pada 1942, hotel ini dipaksa ganti nama menjadi “Yamato” dan dijadikan pangkalan militer Jepang (Menurut Suleman kepada BERNAS, kebenarannya masih diragukan. Namun jalan sejarah ini masih bisa dianggap benar oleh sumber kontemporer seperti Historic Hotels Worldwide dan Kemendikbud).
Pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, sebenarnya hotel tersebut kembali ke Liem dan kembali mendapat nama “Splendid” persis sebelum dai Nippon menyerbu Indonesia dan kepemilikannya dioper ke anaknya, Liem Ing Hwie. Namun, ada catatan bahwa Presiden Soekarno sempat berkantor di hotel ini, dan Konsulat Republik Tiongkok (Kuomintang) di tahun 1946-49. Sejak 20 Januari 1951, bekas Splendid dibuka lagi sebagai “Hotel Merdeka” di bawah pengelolaan Hotel Nasional & Tourisme, seterusnya Natour (Versi Suleman kepada BERNAS. Historic Hotels Worldwide menyebutkan bahwa Liem Djoen Hwat mengelola sendiri hotel ini).
Hotel Merdeka dan renovasi menjadi Phoenix Hotel
Satu dasawarsa berikutnya, Liem Ing Hwie meninggal dunia, sehingga Hotel Merdeka diwariskan ke anaknya yang bernama Paul W. Suleman. Namun, operasional Hotel Merdeka di bawah HONET masih berlangsung hingga 1987, saat Pemerintah menunjuk Natour untuk mengelola beberapa Hotel Merdeka termasuk di Yogyakarta. Karena Natour lebih tertarik mengelola Hotel Natour Garuda yang lebih menguntungkan dari segi bisnis, Hotel Merdeka dikembalikan ke Suleman.
Muncul rencana pada tahun 1989 untuk mengubah peruntukan tersebut sebagai “Gedung Karta Pusaka” tetapi, menurut Suleman, dibatalkan karena keuangan. Ia pun memutuskan memanfaatkan kembali bekas puri Kwik Djoen Eng itu sebagai hotel, namun direncanakan akan dijual dan dimanfaatkan oleh investor. Sayangnya, bagian barat Jalan Sudirman Yogyakarta adalah wilayah tertutup untuk gedung di atas 3 lantai dan untuk memaksimalkan kamar hotel, maka eks puri Kwik Djoen Eng harus disingkirkan agar hotel baru tersebut muat minimal 100 kamar.
Tidak ada kata sepakat antara calon investor dan Suleman, karena investor keberatan dengan syarat bahwa puri tersebut harus dipertahankan. Di zaman sekarang dimana popularitas pada bangunan bersejarah era Hindia Belanda begitu mendalamnya di kalangan Dilanowcy, secara retrospektif sikap kepala batu Suleman tersebut bisa diapresiasi. Sikap tersebut muncul setelah Suleman diberitahu mahasiswa arsitektur Universitas Gajah Mada yang melakukan studi pada bangunan ini.
Hal ini memaksa Suleman mengelola sendiri aset bekas hotel itu dan membentuk sebuah perusahaan khusus untuk pengelolaan eks puri Kwik Djoen Eng, dan mengajak seorang juragan percetakan J.H. Gondowijoyo sebagai Dirutnya. Di tengah banjir pasokan kamar hotel saat itu, penerus harta waris Liem Djoen Hwat tetap ngegas merealisasikan pemanfaatan kembali eks Hotel Merdeka sebagai hotel baru dengan investasi awal Rp. 1,5 milyar (1992).
Proyek renovasi dan pembangunan dua gedung perluasan pertama dengan nama Hotel Phoenix Heritage berjalan mulai awal tahun 1992, hingga selesai di bulan Maret 1993 dan akhirnya beroperasi mulai pada tanggal 18 bulan dan tahun itu juga. Ada informasi menarik mengenai nama hotel “Phoenix” ini, kemungkinan pertama diambil dari mitologi Yunani karena sejarah hotel ini yang “terlahir kembali” dua kali. Tetapi, kemungkinan kedua adalah namanya diadaptasi dari rumah Liem Ing Hwie bernama “Phonix”, berdiri di selatan hotel ini, yang diambil dari nama gerakan mahasiswa di Delft, Belanda, tempat Ing Hwie kuliah.
Phoenix saat awal berdiri hanya berbintang tiga dan memiliki 70 kamar, yang dipasarkan oleh pengelola sebagai sebuah hotel keluarga karena terbatasnya jumlah kamar. Tidak seperti puri Kwik yang tidak jelas siapa perancangnya, gedung perluasannya dirancang oleh Samuel A. Budiono yang juga merancang Galleria yang satu jalan raya, dan Plaza Aminta di Jakarta. Ini karya ketiganya yang masuk SGPC.
Nama Hotel Phoenix Yogyakarta bertahan hingga tahun 2003, saat hotel ini bergabung dengan AccorHotels dan bersalin menjadi Mercure Phoenix Yogyakarta mulai 14 Mei 2004. Di waktu yang bersamaan, sebuah gedung baru dibangun di belakang, sehingga jumlah kamar yang tersedia bertambah menjadi 143 buah. Namun, sejak 30 Maret 2009, nama lama dari tahun 1993 itu dihadirkan kembali, dan bergabung ke dalam kelompok MGallery, salah satu merk lain AccorHotels.
Data dan fakta
Nama lama | Mercure Phoenix Yogyakarta |
Alamat | Jalan Jenderal Sudirman No. 9 Jetis, Yogyakarta, D.I. Yogyakarta |
Lama pembangunan (gedung ekstensi I) | 1992 – 1993 |
Selesai dibangun (gedung ekstensi II) | 2004 |
Arsitek (gedung ekstensi I) | Samuel A. Budiono (Samuel A. Budiono & Associates) |
Jumlah lantai | 3 lantai |
Jumlah kamar | 143 |
Biaya pembangunan (awal, ekstensi I) | Rp. 1,5 milyar (1992) Rp. 16,2 milyar (inflasi 2023) |
Signifikasi | Sejarah (Soekarno, Republik Indonesia sementara dan sejarah bisnis era Hindia Belanda) |
Referensi
- Halaman resmi Historic Hotels Worldwide, diakses 31 Desember 2022 (arsip)
- Halaman Balai Pelestarian Cagar Budaya D.I. Yogyakarta, diakses 31 Desember 2022 (arsip)
- tor; ans (1992). “Menelusuri Riwayat Bangunan Kuno Bekas Hotel Merdeka (Bagian 1): Calon Hotel ‘Phoenix’ Dulunya Rumah Tinggal ‘Sudagar’ Gula.” Harian Berita Nasional (Bernas), 1 September 1992, hal. 2
- tor; ans (1992). “Menelusuri Riwayat Bangunan Kuno Bekas Hotel Merdeka (Bagian 2-Habis): Natour Sibuk dengan Garuda, Hotel Merdeka pun Dilepaskan.” Harian Berita Nasional (Bernas), 2 September 1992, hal. 2
- ans (1992). “Bisnis Hotel di Yogya Hadapi Lampu Kuning.” Harian Berita Nasional (Bernas), 12 Agustus 1992, hal. 5
- ans; dhi (1993). “Phoenix, Hotel Keluarga dengan Tarif Kompetitif.” Harian Berita Nasional (Bernas), 25 Februari 1993, hal. 5
- Arsip halaman resmi Hotel Phoenix Yogyakarta, diarsip 13 Juli 2001
- “Grand Mercure Kembali Menjadi The Phoenix.” Gudeg.net, 31 Maret 2009. Diakses 31 Desember 2022 (arsip)
- ans (1993). “Hari Ini Mulai “Soft Opening” Phoenix Hotel Siap Layani Tamu.” Harian Berita Nasional (Bernas), 19 Maret 1993, hal. 5
- Budi A. Sukada; Bambang Sutrisno (2003). “Karya Arsitek Indonesia”. Jakarta: Pustaka Rumahkebun. Halaman 338. Portfolio Samuel A. Budiono.
Tinggalkan Balasan