September lalu, mimin SGPC membaca dua topik yang berbeda tetapi berkaitan yang membuat penulis dan pemilik blog ini semakin tidak bersimpati pada penggiat sejarah Tanah Air. Memang tidak berkaitan, tetapi bagi kami, ini hanya menambah stereotipe negatif yang mimin pandang terhadap penggiat sejarah kita. Tulisan ini mimin buat bebas iklan karena kami agak khawatir imbas dari opini ini terhadap Setiap Gedung Punya Cerita, tetapi mimin agaknya harus angkat bicara.
Kedua kasus tersebut adalah kasus pailit Hotel Garden Palace dan kebakaran bagian belakang Gedung A Museum Nasional. Keduanya terjadi di bulan September 2023. Kronologisnya jelas tidak ada kaitannya. Namun, di beberapa titik, disinilah mengapa blog ini kurang sependapat pada penggiat sejarah Indonesia.
Museum Nasional: Bundel repatriasi artefak sejarah dan sistem keselamatan kebakaran, bukan menutup aksesnya
Pertama adalah sikap penggiat sejarah yang menganggap terlalu inferior Indonesia dalam masalah permuseuman. Kita dianggap tidak layak menerima aset-aset yang dijarah negara penjajah dengan dalih “buruknya pengamanan museum.” Mungkin ini semua buntut dari masalah pengelolaan museum di daerah-daerah yang dipatok rata hingga museum nasional yang sebenarnya pengelolaannya tak kalah ketat.
Kejadian ini sebenarnya baru pertama kali buat Museum Nasional, tetapi soal penyebabnya akan sangat gampang ditebak bagi yang sering membaca suguhan gedung-gedung di SGPC – kesemberonoan buruh bangunan yang memasang listrik sehingga terjadi korsluiting. Kerusakannya hanya 800 dari 193 ribu koleksi, alias 4 per mil. Koleksi dari kayu berpotensi besar musnah oleh kejadian tersebut dibanding dari bahan terakota atau perunggu. Beruntung semua pihak yang terlibat bertindak cepat memadamkan api.
Untung bukan Museum Nasional Brazil yang habis oleh kebakaran pada 2018. Kalau ini yang terjadi, bisa heboh jagat maya Indonesia dan selesailah hak kita merawat sejarah semandiri mungkin, karena sudah dianggap tidak mampu mengurus potongan sejarah. Hal ini terlihat di komentar medsos Tanah Air menanggapi kejadian ini. Kita dianggap tidak becus menangani keamanan kebakaran di museum. Walau kita tahu ini adalah kejadian pertama kali.
Penggiat menganggap kita tidak berhak menerima artefak itu, biarkan di Belanda saja dengan dalih keselamatan. Bila ada yang membantah argumen tersebut, seperti fakta bahwa sangat sedikit orang Indonesia mampu membeli tiket KLM penerbangan Jakarta-Amsterdam pp, dan tuduhan “apropriasi kebudayaan” para penjajah seabad lampau dengan mengambil artifak itu seenak udelnya, – argumen balik mereka sederhana, “bukannya ada internet?” Dari perspektif lain para penggiat sejarah terkesan memperburuk masalah kecanduan internet di Indonesia. Kami bahas ini lain waktu, karena masalah ini merupakan masalah yang sangat serius. Netizen Indonesia butuh merdeka dari kejamnya dunia virtual yang mereka ciptakan sendiri!
Ini yang disebut oleh orang Inggris dan AS “throwing under the bus“, para sejarawan terlihat menyalahkan pemerintah sekaligus tidak acuh dengan apa yang pemerintah lakukan karena dianggap tidak bisa bertindak dalam konteks kasus Museum Nasional – nila setitik rusak susu sebelanga. Lari dari kenyataan dan malahan mendamprat di depan muka kurator museum-museum Belanda, karena di mata mereka keputusan mengembalikan artifak sejarah Indonesia ke tanah airnya adalah tindakan bodoh yang membahayakan artifak itu sendiri mengingat bagi para penggiat sejarah, museum di Indonesia masih diperlakukan seperti warung.
Saran SGPC simpel. Belanda bisa membantu Indonesia (swasta maupun negeri) dalam mengelola keamanan dan keselamatan museum, termasuk perawatan sistem kebakaran, saat mengadakan repatriasi artifak bersejarah. Tidak usah berdebat!
Hotel Garden Palace: Alergi modernisme dan terjebak romantisme masa lalu
Sikap penggiat sejarah yang masih terkesan terlalu mengagung-agungkan era kolonial Belanda bisa dicatat dari pemberitaan Detikcom pada awal September 2023 saat Hotel Garden Palace divonis pailit. Sayangnya, Detikcom menggunakan sumber blog ini tanpa backlink sehingga kami sebagai penulis blog independen sangat dirugikan. Sebagai balasan, kami tidak akan memberi link artikel tersebut di sini. Bagi yang penasaran, silahkan cek kolom komentar. Tidak mengherankan bahwa portal berita, selain media sosial dan tingginya biaya, adalah pembunuh nomor satu dunia blogging Tanah Air.
Jika anda merupakan penulis artikel atau wartawan dari portal berita, baca paragraf ini baik-baik. Jika anda menemukan sumber dari luar, jangan takut untuk menyebut sumber dan memberi link ke web tersebut, setidaknya membantu mereka dari segi pengunjung dan juga kualitas iklan yang didapat. Termasuk SGPC. Kami bisa lapor anda bila anda tidak melakukan hal tersebut.
Baik Detikcom dan Begandring Soerabaia, sebuah gerakan pemerhati sejarah Surabaya, menurut kami memperkuat stereotipe penggiat sejarah Indonesia hanya peduli zaman awal kemerdekaan dan kolonial Belanda. Jika anda membaca paragraf ini……
Meski begitu, pegiat sejarah di Surabaya menyebut Garden Palace Hotel tak termasuk dalam kategori hotel yang bersejarah. Sebab, tak ada unsur dan nilai sejarah yang melekat di hotel tersebut.
Praditya Fauzi Rahman
…… itu saja sudah membuktikan bahwa mereka masih tidak menilai sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan di luar sosiopolitik. Paragraf selanjutnya adalah penjelasan orang nomor satu Begandring Soerabaia, Nanang Purwono, yang menurut kami ngelantur seperti habis berpesta di diskotik. Pembahasan sejarahnya terkesan terpenjara di era Belanda: Taman RS Simpang untuk pasien cari udara segara katanya. Sisanya, bukti bahwa Nanang Purwono tidak membaca Setiap Gedung Punya Cerita dan kebodohan wartawan Detikcom yang segan untuk membenturkan data yang SGPC sajikan dengan klaimnya. Apa karena dia lebih otoritiatif sebagai seorang penggiat sejarah?
Hotel ini berdiri sekitar tahun 80-an, di tahun 1988 saat saya menjadi tour guide, hotel ini sudah berdiri. Sebenarnya, bisa dibilang ini bukan hotel yang memiliki nilai sejarah, usianya juga masih terbilang muda
Nanang Purwono
Nanang, kenapa anda membuat kriteria bahwa sebuah obyek tersebut bersejarah harus dibuat di era Belanda, atau saat Bung Tomo berpidato memobilisasi Arek Suroboyo melawan kedatangan ilegal Netherlands Indies Civil Administration? Apakah bangunan modern era Orde Baru tidak punya nilai sejarah karena perjuangan untuk memerdekakan Indonesia sudah tidak ada?
Mimin SGPC tidak paham habis dengan pola pikir seperti ini.
Jadi, apa kesimpulan SGPC mengenai hal ini?
Intinya adalah semangat saling mengisi kekurangan dan legawa dengan perubahan yang ada.
SGPC juga dipaksa menerima kenyataan Arthaloka, Plaza Sequis dan Graha Surya Internusa di Jakarta sudah tiada dan Menara Gama dan Menara Autograph berdiri mendominasi cakrawala ibukota dengan tinggi empat kali bangunan era 1970an. Walau kami tidak suka karena bangunan modern sekarang terlalu membosankan, sarat kaca dan hanya menang tinggi, tetapi itu bukti perubahan selera dan zaman di dunia properti dan juga arsitektur.
Hal yang sama seharusnya ada pada penggiat sejarah. Merendahkan sebuah obyek karena dianggap nilai sejarahnya tidak ada walau sebenarnya catatan sejarahnya ada, atau diskriminasi terhadap obyek arsitektur yang ada karena faktor usia, atau sikap mereka yang melegitimasi adiksi internet di tanah air dan penjarahan artifak kebudayaan lewat labelisasi “tolak repatriasi” dan tidak mau memberi masukkan pada pemerintah/dinas terkait atau masyarakat terkait sejarah, menjadi faktor mengapa SGPC kurang bersimpati pada mereka.
SGPC juga ada kekurangannya. Blog ini malah lebih diminati para elevator enthusiast, para pecandu mall dan bioskop serta anak-anak kuliah dibanding masyarakat umum. Promosi juga kurang, proteksi hak cipta juga masih lemah karena mimin blog ini masih lebih mengutamakan risetnya. Penggiat sejarah, walau kami anggap terkesan punya pola pikir inlander, hanya punya sedikit poin positif: mereka ingin potongan sejarah apapun lestari dan langgeng, dinikmati baik para profesional maupun akuntan bank, anak punk dan guru Bahasa Inggris.
Tetap saja alangkah lebih baiknya membuat potongan sejarah itu bisa dinimkati oleh mereka yang hanya mampu membeli tiket Lion Air dan menginap di hotel kelas melati, bukan orang yang kuat beli tiket KLM dan menginap di hotel kelas Marriott, dan belajar dari blunder yang dilakukan pengelola swasta maupun pemerintah dalam hal masalah kebakaran dari era 1980an.
Setiap Gedung Punya Cerita
Tinggalkan Balasan