Elevator enthusiasts. Mereka datang ke sebuah bangunan, tidak untuk berbisnis, berkantor atau sekedar bertamu ke rumah apartemen sanak saudara atau teman atau rekan kerja. Mereka ke sebuah gedung untuk menjajal alat transportasi vertikal bernama elevator, melihat keunikan tombolnya dan sejarah pemasangannya. Atau mungkin melihat wahnya lift dari luar dan dalamnya, atau geseran pintunya yang menarik. Alat transportasi vertikal tersebut, didokumentasikan dan diedarkan lewat YouTube, atau media sosial lain. (Mimin melihat YouTube dan Fandom/Wikia sebagai sarana penyebaran utama video dan foto para mania elevator)
Sayangnya, belum ada media massa atau YouTuber berpengaruh yang melihat/menemukan komunitas ini. Komunitas ini sangat sedikit, bahkan cuma secuil nama kalau menurut penulis. Tidak seperti para railfan alias anak sepur, bismania, spotter pesawat atau mania pencakar langit yang setidaknya mendapat perhatian media dan jumlah pemirsa yang banyak, komunitas ini terasa asing, bahkan kurang biasa bagi sebagian orang, sejujurnya termasuk penulis sendiri sebelum salah satu anak elevator masuk ke blog ini dengan baik-baik untuk mengoreksi kesalahan penulis dalam blog ini. Penulis mengangkat topik ini, untuk memberi kesadaran pada anda, bahwa komunitas elevator bisa diperhitungkan dalam memperkaya wawasan sejarah industri, tak cuma di Indonesia, namun di dunia.
(Mayoritas masyarakat biasa termasuk mimin yang kurang tertarik dengan lift mengambil foto tombol lift hanya untuk melihat lantai 13 dan 4. Yang melakukannya, naikkan tangannya!)
Definisi dan sejarah
Apa itu elevator atau lift?
Singkat saja.
Setiap gedung multi-lantai, dari yang memiliki hanya dua lantai sampai gedung megatall, selalu memiliki transportasi antar lantai baik tangga, elevator/lift dan eskalator. Benar, elevator adalah sarana transportasi vertikal di dalam gedung. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan elevator sebagai “alat untuk membawa orang atau barang naik atau turun dari satu lantai ke lantai lainnya (dalam gedung bertingkat)”.
Sejarah penggunaan lift di Indonesia
Sejarah elevator di Indonesia bisa dikatakan kurang dokumentasi dan keseluruhan pionirnya justru ada di luar Jakarta, yang semakin memperberat pengumpulan data sejarah lift. Lift tertua di Indonesia yang diketahui sampai saat ini adalah sebuah lift Waygood & Co. di Gedung London Sumatera di Medan, dipasang 1908 (salah satu sumber juga mengatakan 1910) dan masih berdinas saat ini. Operasional lift Gedung Lonsum Medan masih manual (memerlukan petugas khusus) dan perawatan teknisnya harus ditangani oleh tangan-tangan khusus dari Inggris setiap tahunnya, walau petugas setempat sudah rutin merawat lift tua ini setiap Sabtu.
Gedung NILLMIJ (sekarang Jiwasraya) di Semarang, buatan Otis Elevator Company, sejak 1916, bisa dikatakan yang kedua (beberapa mengklaim yang pertama di Indonesia). Lift tua tersebut kini hanya jadi pajangan. Bangunan ketiga, yang katanya pertama di Indonesia sebelum gedung Lonsum dan NILLMIJ diketahui memiliki elevator, adalah gedung Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM, Maskapai Dagang Belanda), kini Museum Bank Mandiri, di Jalan Lapangan Stasiun, Jakarta, konon dipasang sejak 1927, dan sudah diganti dengan elevator merek Schindler, tidak jelas kapan dipasangnya, apakah itu dipasang pada 1960an atau sebagai pengganti elevator era NHM (kata mereka, Schindlerized alias dischindlerkan). Elevator ini juga sudah jadi pajangan belaka sejak Bank Ekspor-Impor Indonesia angkat kaki dari gedung eks NHM.
Di era akhir Demokrasi Terpimpin, yaitu tahun 1960an dalam rangka persiapan Asian Games 1962, gedung yang menggunakan elevator mulai dibangun, mulai dari Hotel Indonesia dan Wisma Warta (yang konon sama-sama pakai elevator Otis, khusus HI sudah diganti merek lokal), Gelora Bung Karno yang menggunakan lift buatan Soviet (sekarang sudah diganti dengan lift merk Otis dan Schindler), hingga Sarinah (yang setia dengan elevator dan escalator Hitachi walau kebakaran hebat pada 1984 meluluhlantakkan tower gedung warisan Soekarno tersebut. Eskalator pertama tersebut sudah dipensiunkan sejak renovasi pada 2020) serta Wisma Nusantara.
Era Orde Baru dan reformasi adalah eranya vertical transport. Dengan maraknya pembangunan gedung bertingkat banyak, pelbagai merek lift mulai tumpah ruah berbisnis di Indonesia lewat APM (agen pemegang merek) mereka, bahkan tak lewat merek Indolift dengan pabriknya di Surabaya, beredar sejak 1980an, yang menjadikan Indolift merek lift satu-satunya yang 100 persen karya anak bangsa, sebelum KONE, pembuat lift asal Finlandia, masuk Indonesia lewat kerjasama dengan Indolift pada 1994, dan mencaplok perusahaan ini mulai 1995. Saat ini tak kurang dari puluhan merek lift beredar di pasar Indonesia, mulai dari kelas kakap seperti Schindler (ibarat Toyota-nya dunia perliftan Indonesia, laris dan ada di mana-mana), KONE, Otis, Mitsubishi (satu-satunya merek elevator yang punya pabrik di Indonesia pasca Indolift diambil alih KONE) hingga elevator bermerek minor dan elevator KW.
Elevator enthusiasts
Tradisi merekam naik elevator dimulai sejak 1993. Adalah seorang warga Amerika, seorang masinis bernama Andrew Reams alias “Dieselducy”, yang memulai tradisi ini, setelah membaca sebuah iklan elevator Otis di majalah National Geographic. Bermodalkan camcorder VHS, perlengkapan yang umum di era 80an dan 90an, ia merekam isi elevator dan pergerakannya, agar ia bisa melihat isi elevator dan pengalamannya menaiki lift tanpa lagi kembali ke tempatnya.
Berdasarkan kisah yang ia tulis di web pribadinya, lift pertama yang ia rekam sangat jelas: Lift Westinghouse di Hotel Hilton, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, 5 Juni 1993.
Itu adalah konsep awal budaya dokumentasi lift di dunia. Bahkan kini Dieselducy membuka “museum elevator”-nya dan menjadikan hobi merekam liftnya sebuah strategi mengelola spektrum autismenya.
Rekaman lama lift Monumen Nasional, yang dibuat oleh seorang wisatawan asing, beredar sejak 2008, merupakan rekaman lift Indonesia pertama yang setidaknya mimin temukan, tetapi salah satu enthusiast bernama Ray Krislanggi merupakan pionirnya elevator enthusiast Indonesia, mengunggah video lift hotel The Valley di Bandung, Jawa Barat, bermerek Pillar, pada Maret 2009. Dilihat dari siapa saja nama elevator enthusiasts yang beredar di mana-mana, terdapat beberapa fans elevator Indonesia yang beredar di YouTube seperti IDLift3000, Orisa, Sumosoft, Reza Tanaka dan sebagainya, daftar lengkapnya ada disini.
Aktivitas yang dilakukan para elevator enthusiasts terdiri, dilihat dari video YouTube yang diunggah dan diedarkan oleh para penggemar, terdiri dari melihat model lift yang digunakan, memencet lift, menikmati suasana dalam lift, chime[mfn]Chime merupakan nada dering pada elevator, biasanya untuk memberitahu pengguna bahwa lift sudah sampai di lantai tujuan[/mfn] sampai pada tahap yang paling greget yaitu melihat isi mekanik elevator. Hal ini sudah dilakukan beberapa enthusiasts.
Latar belakang dan tantangan
Penulis mengadakan wawancara melalui Facebook Messenger dengan salah satu penggemar elevator, Samuel, alias Sumosoft, untuk mendalami latar belakang mereka membuat video menaiki elevator. Sebelumnya, penulis sudah melakukan wawancara pada enthusiast elevator lain, pertanyaan dari penulis tidak dijawab.
Kisah ketertarikannya pada lift dimulai sejak kecil – dalam wawancara dengan penulis, Sumosoft tertarik pada lift sejak TK, jauh lebih belia ketimbang Dieselducy. Ia tertarik pada elemen pada sebuah elevator, yaitu organisasi tombol lantai atau yang ia sebut sebagai fixtures, dan indikator-indikatornya, mungkin indikator lantai. Ia mulai mengabadikan lift di gedung-gedung di Indonesia sejak 2011 sebagai bagian dari hobinya, menurutnya ia terinspirasi dengan video salah satu elevator enthusiast dari Thailand yang sudah pensiun.
Tantangan yang setiap penggemar lift harus lakukan bisa dikatakan sangat klasik, seperti halnya enthusiast lain yang berkaitan dengan bangunan: satpam, dan khusus lift, adalah lift attendant. Hal ini wajar, hemat penulis, ada saja kasus tangan-tangan jahil yang mengganggu operasional lift, atau karena alasan keamanan yang cukup penting seperti obyek vital negara (penting terutama perkantoran pemerintah dan hotel-hotel berbintang), rahasia korporat atau keamanan anti-terorisme yang masih marak di tanah air ini. Masalah lain yang didapat adalah lift rusak dan ejekan dari penumpang lift sendiri, hal ini sudah dijelaskan di bagian pembuka, karena komunitas elevator tidaklah sepopuler spotting pesawat, bus atau railfan. Salah satu pengalaman menarik lain? Satu, setidaknya ia bisa melihat ruang mesin lift, kedua, bisa naik ke lantai puncak tanpa access card. Untuk kasus tertentu, di beberapa lantai, terutama hotel (seperti yang penulis alami di beberapa hotel di Surabaya dan Jakarta).
Terkait komunitas lift, narasumber mengatakan bahwa mereka memiliki komunitas tersendiri, namun ia mengakui seluruh gathering yang dilakukannya bersifat kecil-kecilan, dan sayangnya belum ada pengayom berupa insider dari industri elevator. Cukup dimaklumi karena popularitas dokumentasi lift masih belum diperhitungkan oleh industri lift secara umum.
“What’s made a lift great”
Tidak ada kesepakatan bila melihat lift manakah yang paling bagus dan terjelek.
Dalam wawancara dengan penulis, Sumosoft menyebut tiga kriteria: kualitas menaiki lift sendiri dan penampilan luar sebuah isi lift, mulai dari urutan fixture hingga penampilan isi lift yang disuguhkan (catatan penulis: sangat subyektif dan kerap jadi pusat perdebatan) dan haruslah merek ternama (ini juga subyektif). Lift-lift pra-2000an memiliki catatan, menurutnya, kebanyakan bermerek tetapi mulai kehilangan kenyamanannya karena faktor usia, selain itu juga lift tua mulai mengalami modernisasi dan perbaikan-perbaikan. Hal lain yang dicatat oleh Sumosoft, adalah lift generik (atau yang penulis sebut di artikel ini sebagai lift bermerek minor dan lift KW) hanya menonjolkan kualitasnya di awal 2000an, selebihnya dianggap belum memenuhi syarat.
Beberapa pecinta lift lain memiliki kriteria tersendiri, apa juga faktor usia atau hal-hal segala. Bahkan ada yang kurang senang bila terjadi modernisasi lift yang ternyata mengubah keseluruhan isi lift sendiri.
Reaksi industri dan masyarakat umum
Seperti yang dijelaskan di subbab artikel ini, pembuat video elevator mengeluhkan ejekan dari pengguna lift lain karena aktivitas mereka merekam operasional lift, bahkan untuk urusan menonton videonya saja, tiga tahun yang lalu, mimin sempat mencibir salah satu perekam elevator, karena dipandang kurang lazim – terutama bila menengok sejarah sebuah gedung. Kejadian tersebut, mimin akui, menjadi awal dari dibuatnya blog Setiap Gedung Punya Cerita. Kembali ke topik pembicaraan, SGPC melakukan uji sampel kepada 5 orang secara acak, dari sanak teman hingga orang asing di perpustakaan daerah Bali.
Hasilnya sejalan dengan pengakuan lift enthusiast yang diwawancara mimin, masih banyak masyarakat umum yang kurang mengerti dengan apa yang sebenarnya dilakukan fans elevator di video YouTube. Hanya ada satu orang yang mengatakan bahwa rekaman video elevator ini memiliki manfaat menerangkan masyarakat terkait cara memakai lift yang benar. Sisanya sesuai dengan penjabaran lift enthusiast tentang masyarakat umum, ada yang mengatakan aneh, ada kaidah filmografi yang terlupakan dan ada yang menganggap perekamnya kurang kerjaan. Penilaian yang dilakukan kepada masyarakat biasa ini tergolong subyektif, bias dan berbeda-beda per orangnya dengan sampel yang amat sedikit.
Khusus untuk industri, keberadaan komunitas lift sebenarnya bisa dianggap cukup positif. Salah satu video mitra dekat lama penulis blog yang juga penggemar lift yang saat ini masih rehat, IDLift3000, memiliki rekaman mockup elevator Schindler yang dipajang di kantor Berca Schindler di Jakarta, atas seizin tim pemasaran Berca, bisa dikatakan keberadaan komunitas lift menjadi sebuah promosi gratis bagi Berca Schindler memperkenalkan produknya kepada calon konsumen.
Penutup dan saran
Apa yang membuat menjelajah lift gedung itu terlihat sepele tapi penting? Alasan logis penulis adalah mobilitas masyarakat di bangunan bertingkat banyak yang semakin padat dan semakin cepat, sekaligus menjamin keselamatan dan kenyamanan penggunanya. Komunitas lift tanpa disadari mengemban tugas tersebut. Hal yang juga perlu dilakukan komunitas adalah menggali sejarah penggunaan lift dan teknologi sebuah gedung dan bahkan industri pembuatan elevator dan eskalator di Indonesia secara umum, tak hanya melihat tahun instalasi lift saja. Selain itu, edukasi pada masyarakat tentang apa itu elevator dan escalator sendiri, sebagai bentuk pengetahuan umum.
Hal yang perlu juga dilakukan APM lift di Indonesia adalah, menurut penulis, adalah mendukung dan membina mereka dalam mendokumentasikan elevator dan memantau industri lift itu sendiri. Menurut penulis, ini dilakukan untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan terjadi selama dokumentasi berlangsung, dan komunitas bisa berfungsi sebagai kontrol dari non-profesional.
Sebagai penutup, ketika mimin menanyakan pesan dari penggemar elevator kepada pembaca blog ini, jika anda suka lift, jangan heran dianggap oleh orang-orang sekitar sebagai aktivitas yang tak lazim di Indonesia.
Mimin SGPC mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang terlibat dalam pembuatan tulisan ini, mulai dari masyarakat biasa yang melihat video buatan komunitas lift hingga salah satu lift enthusiast yang sepakat diwawancara oleh Setiap Gedung Punya Cerita.
Referensi pendukung
- Pusat Bahasa Kemendikbud/Ebta Setiawan
- Yogi Fajri (2017). “Gedung Dengan Elevator Pertama di Indonesia ada di Semarang”. Steemit, 10 Oktober 2017.
- Indonesia Elevator Guide
- Dewi Sartika (2014). “Mengenal Lonsum Lebih Dekat”. Medan Wisata, 20 Maret 2014.
- Justin Peters (2018). “Lovin’ an Elevator”. Slate, 9 April 2018.
- Erie Prasetyo (2015). “Menengok Lift Berusia 107 Tahun yang Masih Beroperasi“. Okezone, 11 April 2015. Diakses 12 Mei 2020 (arsip).
- Halaman resmi Dieselducy, diakses 8 Mei 2021 (arsip)
- Sara Machi (2018). “Elevator enthusiast’s collection draws attention from around the world“. WDBJ-TV Roanoke, 30 Maret 2018. Diakses 8 Mei 2021 (arsip)
Leave a Reply