Google Translation avaliable here. Use at your own risk; some translation may be incorrect or misleading:

Yang Lawas Paling Dibela: “Heritage”-mania di Tanah Air

Indomaret Kota Tua
Blog ini menyadari bahwa gedung era kolonial laku keras di dunia maya Indonesia. Namun itu tidak menghalangi SGPC untuk membahas gedung yang lebih baru. Foto oleh DBG, CC-BY-SA 2.0

Semua diawali dengan foto-foto yang mimin terima di bagian Explore media sosial Instagram, dan juga sebuah jurnal yang ditulis oleh Pauline van Roosmalen.

Gedung-gedung “heritage” atau “bangunan tua” (konotasinya lebih mengarah ke bangunan yang dibangun di era Hindia Belanda ke belakang) hingga saat ini tetap menarik perhatian masyarakat yang relatif lebih tinggi dibanding jenis bangunan lainnya di Indonesia – termasuk 99% bangunan yang dibahas oleh blog Setiap Gedung Punya Cerita. Rata-rata sejarah yang dibahas mengenai gedung maupun arsitektur di kalangan akar rumput atau para profesional baik daring maupun cetak masih kuat didominasi oleh bangunan tersebut.

Mereka sangat terkagum dengan rancang bangunnya yang indah, memastikan tidak ada sejengkal gedungpun yang tidak terekam oleh kamera atau pena. Mereka juga membuat perhatian masyarakat terhadap bangunan kuno tetap langgeng dan memperbaiki gedung era Belanda yang masih terbengkalai. Pembongkarannya untuk pembangunan gedung yang lebih menguntungkan secara bisnis, akan dengan mudahnya meledakkan urat syaraf mereka. Bagi mereka, mempertahankan dan merawat warisan sejarah, apapun alasannya, adalah harga mati. Begitulah komunitas sejarah di Indonesia.

Dalam artikel khusus ini, SGPC berupaya membahas pandangan pecinta bangunan kuno dan sedikit sejarah di balik…. itu semua.


Iklan

Memahami “heritage”nya Indonesia

Landasan hukum

Wisma Intiland
Dengan aturan saat ini Intiland Tower Jakarta dengan desain arsitektur yang tidak umum masih akan kesulitan meraih status cagar budaya. Foto oleh DBG, CC-BY-ND 2.0

Untuk memahami “heritage” a la Indonesia, mimin rasa kita harus membaca kitab sucinya, yaitu UU Cagar Budaya (Nomor 11/2010).

Cagar Budaya bisa diartikan sebagai sebuah benda yang wajib dilestarikan karena nilai kebudayaan, sejarah, ilmu pengetahuan hingga agamanya yang tidak tergantikan melalui sebuah ketetapan Pemerintah. Ia bisa berupa benda, bangunan/gedung/struktur, situs purbakala ataupun kawasan (pasal 1 ayat 1-6). Kepemilikannya bisa dipegang oleh swasta, perseorangan, unsur adat maupun pemerintah, dengan syarat bilamana pemilik obyek tersebut punya ahli warisnya (pasal 12).

Status heritage sebuah obyek, tidak cuma bangunan, oleh UU No. 10/2010 ini sederhana namun diskriminatif. Pasal 5 menyebutkan untuk gedung maupun struktur, usia minimum untuk diajukan sebagai Benda Cagar Budaya adalah 50 tahun, memiliki arti khusus untuk ilmu pengetahuan, budaya maupun agama, dan “memiliki nilai budaya bagi penguatan identitas bangsa.” Dari faktor ini saja, jangan berharap hampir semua gedung yang dibahas oleh blog ini akan menjadi cagar budaya yang memberi banyak kelanggengan dalam merawat tampilan aslinya.

Sejarah perkembangan pelestarian struktur “heritage” di Indonesia

Duta Merlin sampai saat ini masih menerima komentar negatif dari masyarakat karena dalam pembangunannya menggusur bekas hotel mewah era kolonial Belanda. Foto advertorial, dimuat di Sinar Harapan, 25 Agustus 1976

Dasawarsa “psychedelic” 1970an sebenarnya merupakan tonggak sejarah upaya pelestarian gedung-gedung “heritage” yang biasanya berkonotasi ke bangunan era kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1971, setelah Hotel Duta Indonesia (Hotel des Indes kerennya) dibongkar untuk membangun Duta Merlin yang sangat kontroversial, muncul pelbagai perdebatan mengenai kebenaran dibalik pembongkaran Hotel Duta Indonesia dan perlunya mempertahankan jejak sejarah sebuah kota. Sepertinya, hal ini dipahami betul di era Ali Sadikin, berpuncak pada keluarnya Surat Keputusan Gubernur No. 11/1/12/1972 tentang penetapan bangunan bersejarah dan monumen, serta disusul dengan pemugaran beberapa obyek di Kota Tua pada 1974 untuk persiapan PATA 1974.

Pada 1979, Pemda DKI Jakarta berancang-ancang memperluas Jalan Majapahit, barat kawasan Istana Merdeka, sebagai bagian dari pembangunan jalan tembus Majapahit-Karet. Pembangunan tersebut minta tumbal Gedung Harmoni, sebuah bangunan bersejarah, yang akhirnya disebut-sebut terealisasi pembongkarannya pada Maret 1985, sementara perluasan Jalan Majapahit sendiri mulai digunakan pengguna kendaraan bermotor per Oktober 1985. Tidak ada catatan yang didapat oleh blog SGPC dalam pemberitaan dibongkarnya eks Societeit de Harmonie alias Wisma Nusantara alias Gedung Harmoni, namun Pauline menyebutkan pada 1982 bermunculan protes dari para pemerhati bangunan lawas perihal penggusuran itu. Kejadian inilah yang katanya memicu munculnya beberapa organisasi pecinta bangunan kuno di Indonesia.

Tak hanya itu, kesadaran pada bangunan kuno ternyata juga muncul lewat media cetak. Pauline menyebut majalah dan koran kelas menengah kerap mewartakan sejarah kongsi dagang Belanda V.O.C. (Vereenigde Oost-indische Compagnie, Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda) serta warisan arsitekturnya. Mimin SGPC tidak mengetahui apakah koran dan majalah yang dimaksud bisa merupakan harian KOMPAS atau majalah seperti TEMPO atau Femina. Namun, dari koleksi Setiap Gedung Punya Cerita, sejak Maret-April 1987 Majalah Konstruksi sudah membahas upaya pelestarian dan perbaikan bangunan kolonial dan edisi-edisi Majalah Konstruksi 1990an banyak membahas upaya pelestarian bangunan kuno.

Tahun 1992 bisa dikatakan tahun lompatan yang besar dalam upaya melestarikan bangunan tua yang keindahannya menyihir mata banyak orang awam. Tanggal 1 Februari 1992 sebuah Deklarasi Yogyakarta lahir dari 13 kelompok pecinta bangunan tua, dan selanjutnya berlaku Undang-Undang No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya sebagai pengganti UU zaman Belanda – monumenten ordonnantie 19/1931 dan 21/1934 (UU No. 5/1992 digantikan dengan UU No. 11/2010).

Courtyard Museum Bank Indonesia
BUMN dan pemerintah merupakan pemain utama dari pelestarian bangunan kuno, terutama era Belanda. Foto oleh DBG, CC-BY-SA 2.0

Usai tragedi Mei 1998 dan lengsernya Presiden Soeharto dari Istana Negara, mesin pergerakan pelestarian bangunan tua Indonesia kembali digeber – dari Sahabat Museum alias Batmus, hingga Jaringan Kota Pusaka Indonesia dan Pusat Dokumentasi Arsitektur/Yayasan Museum Arsitektur Indonesia (PDA/YMAI). Menariknya, pemain terkuat dari pergerakan pelestarian bangunan tua ini adalah Pemerintah Pusat dan BUMN, seperti PT Kereta Api Indonesia, Bank Mandiri, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

Hingga abad 21 ini, kesadaran mereka pada bangunan bersejarah masih ada, bahkan bisa dikatakan jauh lebih besar dibanding dengan era 1980an, 90an dan 2000an. Keberadaan media sosial memudahkan komunikasi dan pengedaran informasi dan pesan-pesan mereka dalam melestarikan bangunan yang berusia hampir satu abad ini, melahirkan komunitas sejenis Bandung Heritage, Sahabat Heritage Indonesia (Bandung), Komunitas Historia Indonesia (Jakarta), hingga A Day to Walk (Malang), yang hampir semuanya diisi generasi dilanowcy (millenial/generasi medsos).

Hal ini semakin didorong oleh niat dari beberapa insan terutama Pemerintah Belanda untuk mendigitasi koleksi era kolonialnya dan mengedarkannya secara daring, memudahkan kalangan dilanowcy yang punya reputasi enggan menelusuri koleksinya secara mendalam, mendapatkan datanya (Tambahan 20/02/2023). Pemerintah daerah, dilanowcy dan perusahaan besar juga menunjukkan kepeduliannya pada gedung tua dengan merenovasi gedung-gedung tersebut hingga kembali ke bentuk aslinya.


Iklan

Mereka yang menyukai bangunan bersejarah

Balai Kota Surabaya
Kedua pecinta bangunan lawas yang diwawancara blog ini berasal dari Surabaya, sehingga tulisan dibawah ini terpusat ke kondisi di Surabaya.
Pengelolaan bangunan kuno bergantung pada kebijaksanaan komunitas atau pemerintah daerah. Foto oleh DBG, CC-BY-SA 2.0

Untuk mendalami kecintaan mereka pada bangunan antik, mimin SGPC melakukan wawancara via Instagram dengan dua pemerhati bangunan lawas – mereka dengan nama akun Oud Soerabaja Hunter (OSH) dan Indah Story (indah_storyborn).

Disinilah ketika sesama non-profesional penyuka arsitektur bertemu dan berjabat tangan. Baik Oud Soerabaja Hunter dan Indah – seperti Setiap Gedung Punya Cerita – bukanlah arsitek, mereka punya profesi lain di dunia nyata, ada anak rock, guru olahraga, manajer perekonomian, mahasiswa Bahasa Inggris, hingga calon anak teknik di pihak OSH, dan indah_storyborn adalah akuntan.

Mimin ingatkan bahwa walau SGPC sudah memberikan yang terbaik, wawancara ini Surabaya-sentris, karena yang mimin wawancara semuanya arek-arek Suroboyo. Bila anda ingin membaca isi lengkap wawancara (yang mimin sedikit edit untuk kejelasan), silahkan kontak SGPC via kolom kontak.

Awal mula

View this post on Instagram

A post shared by Oud Soerabaja Hunter (@oudsoerabajahunter)

Oud Soerabaja Hunter merupakan akun Instagram yang diawaki oleh lima orang – seperti yang mimin SGPC bahas sebelumnya – yang meliput gedung-gedung tua di Kota Surabaya sejak awal dibentuk. Mereka juga mengelola akun Soerabaia, the City of Heroes (dulunya Soerabaja, the Cities of Heroes, tetapi dibobol oleh para peretas dari Turki) yang membahas sejarah, didominasi oleh mikrosejarah era kolonial Belanda.

Salah satu admin dari OSH mengawalinya dari budaya berjalan kaki sejak April 2021, dan membidik gedung-gedung kolonial di Kota Pahlawan dengan kamera ponselnya dan mengedarkan hasil karyanya melalui Instagram. Karyanya dibagikan kepada para pengikutnya di medsos tersebut, dan menghasilkan keempat admin baru yang ternyata bukan orang arsitek.

Berbeda dengan Indah, yang mengaku menyukai gedung tuanya secara insting, dan semenjak memiliki penghasilan sendiri, mulai mendalami seluk beluk bangunan antik melalui traveling, dan itu saja yang ia tuturkan kepada mimin SGPC.


Iklan

Jadi, apa yang membuat mereka menyukai bangunan bersejarah?

Hotel Majapahit
Faktor sejarah bisa memengaruhi ketertarikan seseorang pada bangunan.
Hotel Majapahit Surabaya. Foto oleh DBG, CC-BY-SA 2.0

Baik Oud Soerabaja Hunter dan Indah menyukai gedung “heritage” karena faktor-faktor di bawah ini.

Pertama, keindahan. Disini OSH dan Indah – jelas sesuai nama wanita akuntan Surabaya itu – memberi pandangan yang sama kepada bangunan bersejarah, elok dan estetis.

Kedua, teknik. Indah mengatakan bahwa dengan teknik konstruksi yang sederhana dan tidak banyak memanfaatkan teknologi juga masih menghasilkan gedung dengan penampilan yang enak dipandang. Sementara OSH mengagumi penggunaan struktur kayu yang ternyata tidak keropos walau sudah hampir seabad lebih berdiri.

Ketiga, faktor sejarahnya. OSH menyinggung rumah (sekarang Museum) H.O.S. Cokroaminoto yang menjadi tempat tinggal sementara Presiden Soekarno semasa SMA, hal ini memberikan rasa bangga akan melihat salah satu saksi sejarah yang tersisa pada diri tim OSH.

Dan yang terakhir adalah cool factor. Alias gedung itu menarik dan “keren”. Yang ini biasanya lebih subyektif dan penuh dengan selera masing-masing individu, dan baik OSH dan Indah menganggap gedung “heritage” demikian.

Obyek “heritage” favorit

Lawang Sewu
Lawang Sewu yang menjadi favorit salah satu narasumber SGPC kali ini. Foto oleh DBG, CC-BY-SA 2.0

Baik Indah dan Oud Soerabaja Hunter punya lokasi “heritage” favorit masing-masing. Indah menyukai Lawang Sewu (ia pertama ke sana pada tahun 2007, saat gedung itu masih tidak terawat); sementara OSH lebih suka kampung kampung yang dianggapnya membuat orang tidak ingin meninggalkan tempat tersebut. Spesifiknya kampung padat penduduk di Jalan Kawatan dan Maspati, selatan Tugu Pahlawan.


Iklan

Bagaimana kepeduliannya

Setiap Gedung Punya Cerita mengukur persepsi OSH dan Indah mengenai beberapa hal, yaitu persepsi masyarakat, entrepreneurship dan pemerintah pada bangunan kuno, persepsi mereka pada gedung-gedung yang lebih baru dan upayanya memperkenalkan bangunan kuno.

Oud Soerabaja Hunter: Pemkot Surabaya masih pilih kasih, masyarakat dibawah belenggu label viral dan bangsa dan negara

Internatio building
Gedung Internatio. Oud Soerabaja Hunter: “Kenapa dana tidak dialokasikan kesini? (Jalan Jembatan Merah/Rajawali/Veteran sekitarnya)”. Foto oleh DBG, CC-BY-SA 2.0
Renovasi salah satu gedung di Jalan Tunjungan Surabaya. Oud Soerabaja Hunter walau mengapresiasi renovasi sejenis ini, masih mengeluhkan minimnya perhatian masyarakat umum. Foto oleh Ronniecoln.

OSH menyuarakan keresahannya pada Pemerintah Kota Surabaya terkait revitalisasi bangunan kunonya yang masih milih-milih dan cenderung lebih suka membangun proyek yang “tidak memberi manfaat,” khususnya menyorot “Jembatan Instagram” (iya, ironis kan) Jembatan Joyoboyo/Sawunggaling, dan masyarakat yang masih masa bodoh dengan sejarah gedung dan perkotaan. Bahkan, mereka menyoroti kepedulian masyarakat pada obyek “heritage” berdasarkan ukuran viral di media sosial dan masih kurang populernya topik sejarah di luar sejarah Indonesia sebagai bangsa dan negara (statehood), digambarkan melalui masih sedikitnya ketertarikan orang soal kehadiran pelawak Charlie Chaplin ke Hotel Majapahit/Oranje dibanding insiden perobekan bendera (di masa Hotel Yamato) September 1945.

OSH juga sangat menginginkan Pemerintah Kota Surabaya untuk menata kawasan kota tua di Jalan Rajawali/Jalan Kembang Jepun, Jalan Jembatan Merah/Jalan Veteran, Jalan Panggung dan sekitarnya, yang menurut mereka akan lebih terkemas lebih baik seperti Amsterdam, bila kawasan tersebut ditata kembali sebagai kawasan kota tua. Berdasarkan pengamatan mata SGPC, kawasan tersebut masih didominasi kendaraan berat dan perdagangan/pergudangan, menyebabkan rencana ini menuntut dukungan luar biasa dari pengusaha gudang.

Dari segi pandangan perlakuan dari pengusaha, mereka setidaknya mengapresiasi kehadiran kafe dan tempat usaha lain di kawasan perumahan era kolonial Belanda dan Jalan Tunjungan – tetap saja hal ini tidak mengubah keresahan mereka pada kawasan Jalan Jembatan Merah.

Indah_Storyborn: Segalanya masih kurang……

Sementara, dalam wawancara mimin dengan Indah, lebih secara umum membahas pandangannya mengenai dokumentasi dan kesadaran pada gedung tua. Ia mengatakan bahwa dokumentasi pada gedung masih kurang (ia kesulitan mencari foto yang pas), catatan sejarah gedung masih kurang, dan kepeduliannya masih kurang. Indah menyinggung pembongkaran gedung-gedung lama untuk pembangunan gedung baru sebagai contoh kurangnya kepedulian masyarakat pada gedung tua.

Pandangan mereka pada gedung yang lebih baru (1950an-2000an)

Sepertinya mereka tak banyak berkomentar terkait pandangan mereka soal gedung yang lebih baru. Salah satu kru Oud Soerabaja Hunter, yang merasakan hidup di dekade Dilan, diketahui merupakan fans berat rumah-rumah era awal modernisme dan Jengki; namun mereka tidak menyukai bangunan era Dilan, karena dianggap berkontribusi besar dalam hilangnya sejarah kota yang diwakili oleh gedung-gedung era Belanda, dan di saat itu pemahaman akan bangunan bersejarah di akar rumput tidak segencar sekarang.

Sementara di lain kesempatan, Indah mungkin kurang banyak memahami arsitektur di era tersebut, lebih menyenangi bangunan hijau dan gedung era 1970an yang dianggapnya cukup retro.

Sarana pengedaran informasi

Soal ini, sepertinya SGPC menanyakan sesuatu yang sudah pasti. Baik Indah maupun Oud Soerabaja Hunter sama-sama menggunakan media sosial (baca: Instagram) sebagai sarana mengampanyekan dan memperkenalkan gedung tua serta sejarahnya kepada masyarakat. Indah secara spesifik menyebut kalau tidak hanya mengambil foto dan mengedarkannya ke Instagram dan menjadikan gedung itu layak masuk medsos itu, komunitasnya mengadakan heritage walk.


Iklan

Pandangan Setiap Gedung Punya Cerita mengenai fenomena “heritage”mania

Hotel Preanger
Kuat kemungkinan kepedulian masyarakat yang lebih tinggi pada bangunan kuno dipicu oleh pembongkaran gedung tersebut untuk gedung yang lebih baru – ini adalah Hotel Grand Preanger beserta gedung barunya. Foto oleh DBG, CC-BY-SA 2.0

Masuk akal bila kalangan pecinta bangunan kuno menyuarakan ketidakpedulian semua jajaran pemilik kewenangan kota, dari masyarakat hingga pemerintah, mengingat tidak semua masyarakat kita memiliki kesadaran sejarah. Hal yang sama juga dialami Pemerintah selaku perwakilan dari masyarakat, yang kesulitan mendalami pelestarian cagar budaya/gedung “heritage” karena keterbatasan anggaran, keterbatasan data untuk mengadakan pemugaran, status gedungnya yang merupakan milik swasta perseorangan atau keterbatasan sumber daya manusia dalam melakukan penilaian atau perawatan pada bangunan kuno.

Tetapi, soal data, gedung-gedung “heritage” era kolonial Belanda terdata jauh lebih baik ketimbang gedung modern yang sepertinya akan amat bergantung pada sepak terjang blog ini, Setiap Gedung Punya Cerita, maupun beberapa penulis lain semacam Setiadi “Cung” Sopandi dan Imelda Akmal. Secara daring, anda bisa menemukan data-data tersebut di blog semacam Jejak Kolonial (mimin sempat berencana menemui orang di balik blog ini, namun karena ia menolak chatting, mimin putuskan dua narasumber cukup) atau Kekunaan, maupun juga beberapa halaman-halaman web arus utama karena bangunan era kolonial biasanya menggalang banyak pembaca.

Sebagai buku cetak, ada buku karya alm. Adolf Heuken (Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta) dan Huib Akihary (Architectuur en stedenbouw in Indonesië 1890-1970) yang masih dijadikan kitab suci bagi beberapa fans bangunan “heritage” di Tanah Air. Sementara dokumentasi foto cukup mudah didapatkan melalui laman Collectie Nederland; salah satu narasumber, Indah_storyborn, mengatakan foto koleksi museum-museum yang diurus Pemerintah Belanda itu masih kurang memuaskan.

Perhatian publik kepada gedung “heritage” juga lebih baik bila dibandingkan dengan arsitektur modern yang dibahas oleh SGPC. Semisal kritik yang dilayangkan kepada Pemkot Surabaya soal alokasi dana pembangunan jembatan dibanding merevitalisasi kawasan bisnis kota tua yang kerap diungkit di halaman Oud Soerabaja Hunter. Di luar OSH atau Indah_storyborn, beberapa halaman media sosial bertema Indonesia tempo dulu menjadi ajang penyampaian kekesalan terhadap Pemerintah dan para entrepreneur yang dicap “merusak warisan budaya” dengan membongkar gedung era Belanda. Topik yang bisa membuat emosi fans bangunan jadul di Indonesia meledak-ledak.

Secara tak langsung (seperti yang dikatakan oleh salah satu admin OSH, yaitu hanya bisa menerima gedung-gedung sebelum 1990an), pembongkaran gedung “heritage” juga berdampak pada citra arsitektur kontemporer di Indonesia. Di akar rumput, mungkin cuma Setiap Gedung Punya Cerita yang membahas gedung tersebut, sementara baik blogger dan media tidak banyak yang mengambil perhatian sejenis.

Sebaliknya, perhatian terbesar untuk gedung era modern, justru muncul dari komunitas arsitektur. Sikap enggan akar rumput membahas gedung era kontemporer bisa jadi adalah sikap mereka terhadap pembangunan gedung-gedung baru yang dianggap menyingkirkan bangunan kuno, spesifiknya bangunan era Belanda – dan pandangan yang masih cacat bahwa bangunan modern tidak punya nilai sejarah dan estetika. [tambahan 27/4/2022]

Gedung DJB Manado, terletak di Jalan Suprapto-Pasar Empat Lima yang dibangun pada tahun 1910, setelah dipergunakan oleh Bank Indonesia kondisinya berubah hampir bukan seperti gedung yang merupakan heritage, nilai history-nya hilang, nilai estetikanya kurang diperhatikan, karena semuanya tertutup oleh material modern yang menyelimuti. Sehingga keindahan yang ditampilkan tidak nampak seperti gedung jaman belanda.

Sangat disayangkan, bahwa sebenarnya pemanfaatan gedung eks De Javasche Bank sebagai memorabilia diharapkan dapat mendekatkan Bank Indonesia dengan masyarakat, saat ini kosong. Terutama dalam menikmati dan menjawab keingintahuan akan arsitektur khas bangunan peninggalan kolonial nggak difungsikan sama sekali. Walau daerah Pasar Empat Lima masih menjadi daerah perniagaan tetapi sejak gedung BI nggak digunakan, suasanya nggak seramai dulu.

Uting Unying mengenai gedung Bank Indonesia Manado, yang secara langsung meremehkan bangunan era modern.

Iklan

Kesimpulan

Gerakan pelestarian gedung-gedung kuno di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak 1971-1985, mulai berkembang secara terorganisasi sejak akhir 1980an dan 1990an dan semakin menggelora sejak turunnya Soeharto pada 1998. Didorong oleh kesadaran masyarakat media sosial pada keberadaan bangunan kuno, muncul beberapa organisasi “heritage” maupun figur-figur yang memusatkan dirinya pada dokumentasi dan pelestarian bangunan kuno.

Kecintaan itu diperbesar oleh faktor “cool factor” dan estetika gedung-gedung bersejarah yang hanya mengandalkan material seadanya. Di balik kecintaan mereka pada gedung-gedung bersejarah, mereka masih harus meyakinkan publik dan pemerintah bahwa gedung tersebut juga bagian dari sejarah kota, tak hanya sejarah nasional, dan tidak harus peduli karena viral.

Menutup tulisan ini, OSH menitip pesan kepada SGPC:

Tiap orang punya pandangan masing-masing, klasik atau modern itu pilihan.
Ada orang-orang dari kota lain yang sama seperti kami, peduli dengan bangunan-bangunan kuno ini. Kami akan membuka mata kalian bahwa bangunan kuno ini bisa dinikmati, bukan sekedar dilewati!

Salah satu admin Oud Soerabaja Hunter, 13 April 2022

Referensi pendukung

  1. “Seputar pemugaran gedung-gedung kuno.” Majalah Konstruksi No. 108, Maret-April 1987, hal. 39-45
  2. Rahmi Hidayat (1992). “Seputar Undang-Undang Cagar Budaya: Penyelesaian Teknis Pemugaran Perlu Dilihat Kasus per Kasus.” Majalah Konstruksi No. 171, Juli 1992, hal. 13-15
  3. Vera Trisnawati; Rahmi Hidayat (1992). “Lestarikan Warisan Budaya.” Majalah Konstruksi No. 167, Maret 1992, hal. 12-15
  4. “Penetapan bangunan-bangunan bersejarah di DKI Jakarta.” Majalah Konstruksi No. 185, September 1993, hal. 104-105
  5. Pauline K.M. van Roosmalen (2013). “Confronting Built Heritage: Shifting perspectives on colonial architecture in Indonesia.” ABE Journal No. 3, 2013. Diakses 12 April 2022.
  6. hw (1979). “Jalan tembus Karet-Majapahit.” KOMPAS, 27 Januari 1979, hal. 3
  7. cp (1985). “Pengaturan lalu lintas di sekitar Harmoni.” KOMPAS, 18 Oktober 1985, hal. 3
  8. Abdurrachman Surjomihardjo (1971). “Djedjak sedjarah Djakarta: Perlu suatu peraturan daerah sebagai landasan kebidjaksanaan menjeluruh untuk memeliharanja.” KOMPAS, 14 Juni 1971, hal. 5
  9. Putu Anggreni (2016). “Komunitas-Komunitas di Kota Tua.” Beritasatu, 5 Januari 2016. Diakses 12 April 2022 (arsip)
  10. Emi La Palau (2021). “Sahabat Heritage Indonesia: Mencintai Cagar Budaya dengan Berkomunitas.” Bandung Bergerak, 5 April 2021. Diakses 12 April 2022 (arsip)
  11. Hesti K. Wardhani (2016). “Sindy, dirikan komunitas jalan keliling gedung bersejarah di Malang.” Brilio, 21 April 2016. Diakses 12 April 2022 (arsip)
  12. ch (1974). “Pusat Kota Lama Jakarta Diresmikan.” KOMPAS, 1 April 1974, hal. 1

Kunjungilah Trakteer SGPC untuk mendapatkan konten-konten akses dini dan eksklusif, dan bila anda perlu bahan dari koleksi pribadi SGPC, anda bisa mengunjungi TORSIP SGPC. Belum bisa bikin e-commerce sendiri sayangnya….


Bagaimana pendapat anda……

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *