Google Translation avaliable here. Use at your own risk; some translation may be incorrect or misleading:

Kunjungilah Trakteer SGPC untuk mendapatkan konten-konten akses dini dan eksklusif, serta mendukung blog ini secara saweran. Support us through SGPC’s Trakteer and get early access and exclusive content.

Blog dalam bentuk teks masih relevan. Mengapa harus ikut zaman?

Majalah bisnis, industri arsitek dan konstruksi yang terbit di Indonesia
Pengeluaran blog SGPC terbesar berasal dari pembelian majalah dan koran di pasar bekas.

Sedikit jeda dari bahasan mengenai arsitektur, bangunan dan seluk-beluk real estate kita, sekarang mimin membahas sesuatu yang sangat relevan dari operasional Setiap Gedung Punya Cerita yaitu format laman berupa blog.

Mimin SGPC baru saja membaca tulisan dari salah satu pembaca setia blog ini, yang mimin anggap adalah rata-rata masyarakat biasa, yang awam arsitektur. Orang tersebut, dengan foto profil obat nyamuk bakar itu, pernah menyinggung pengalamannya disindir beberapa orang karena masih mengikuti blogging yang secara gaya hidup Indonesia sudah ditinggalkan. Walau singkat, mimin tergerak membahasnya dengan perspektif SGPC.

Masih kurang jelas mengapa masyarakat dunia maya Indonesia seperti menganggap sepele blogging sederhana semacam yang dilakukan si obat nyamuk bakar, maupun blog ini. Di masa kini, mayoritas masyarakat Indonesia cenderung menuangkan pikiran, pengalaman atau informasi yang ia dapatkan melalui media sosial semacam Twitter, Instagram atau Facebook, atau membuat video blog (vlog) di YouTube.

Pilihan kedua lebih sering diambil karena faktor iklannya yang disebut-sebut begitu menggiurkan, mengorbitkan ratusan nama dan figur ke dunia arus utama. Bilamana anda menemukan blog di masa kini, besar kemungkinan anda membaca blog pendek a la Twitter, blog cara mencapai SEO (optimasi mesin pencari), teknologi dan ulasan – atau yang lebih parah, konten bersponsor. Konten seperti yang mimin buat kerap bersaing dengan laman real estat, portal berita dan aplikasi peta.

Dengan keberadaan media sosial dan vlog YouTube, kenapa bisa Setiap Gedung Punya Cerita tidak memanfaatkan media yang ada, justru memilih sarana blog self-host untuk memasyarakatkan arsitektur, topik yang selama ini sarat dengan bahasa-bahasa yang tidak lazim, dan pencakar langit, yang merupakan akar rumput SGPC.


Iklan

Baik format vlog maupun medsos tidak cocok dengan konten yang akan disajikan oleh SGPC.

Keinginan Setiap Gedung Punya Cerita adalah menjadikan kontennya tersedia kepada siapapun, kapanpun dan dimanapun, bahkan buat orang yang tidak ingin membuka akun media sosialnya. Akan lebih mudah ditelusuri di dunia maya bila kontennya dalam bentuk website tersendiri, bukan menumpang media sosial atau dalam bentuk vlog.

Soal penyajian konten lewat media sosial, mimin yang memanfaatkan Instagram dan Facebook untuk halaman ini menganggap keduanya sebagai tulisan sekali baca, mudah ditinggalkan setelah beberapa saat, dan akan sulit ditelusuri karena biasanya tidak mendapat ranking di media sosial. Itu saja sudah memengaruhi kesadaran masyarakat pada subyek tertentu. Twitter yang populer di kalangan masyarakat atas, terganjal panjang tulisan. Tidak cocok untuk post yang akan membutuhkan ribuan kata semacam blog.

Alat yang digunakan buat vlogging. Tergantung jenis vlog yang dibuat, bisa lebih mahal dari biaya pembuatan tulisan artikel SGPC. Foto oleh StockSnap via Pixabay

Sementara Vlog alias video blogging, mimin lihat tren-nya maksain banget. Bahkan konten yang biasanya lebih pantas ditulis dalam bentuk tulisan dan bisa diberi referensi, seperti yang SGPC saji, harus dijadikan sebuah vlog. Walau populer, kekayaan audio visual pada vlog adalah harga mati. Selain itu, biaya pembuatannya akan sama saja karena investasi vlog memerlukan kamera, green screen, HDD drive dan mikrofon, dan kata Yoast (pembuat aplikasi SEO WordPress) – bot Google tidak bisa menonton video dan tidak bersahabat bagi orang yang mengalami masalah pendengaran. Akan lebih baik bila dana tersebut SGPC manfaatkan dengan membeli dan menelusuri konten melalui surat kabar, majalah dan buku, dan menyarikannya ke dalam format tradisional.

Format tradisional sangatlah berhasil buat Setiap Gedung Punya Cerita, blog yang dibuat oleh mahasiswa ilmu komputer. Iya, mahasiswa Ilmu Komputer, bukan Arsitektur. SGPC telah mengubah peta perjalanan sejarah bangunan-bangunan di Indonesia, terutama di masa pemerintahan Soeharto, bahkan dalam satu kesempatan mimin diberi tawaran sebagai penulis di tim Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia untuk penggarapan buku sejarah infrastruktur dan pembangunan Kota Jakarta.

Mimin SGPC dan keluarga mimin sebelumnya sempat berdebat mengenai format blog, dan mimin disini melihat bahwa penyebab mengapa orang awam cenderung mendorong kita untuk nge-video blogging, ketimbang menentukan format blog yang tepat, adalah murni duit vlog yang lebih menggiurkan dari menulis blog konvensional. Jadi, andai anda memahami sasaran dan tujuan blog, metode pengambilan data serta tema blognya, bukan mengejar apa yang ramai di masyarakat, mimin jamin blog anda pasti sukses.

Setiap Gedung Punya Cerita

Kunjungilah Trakteer SGPC untuk mendapatkan konten-konten akses dini dan eksklusif, serta mendukung blog ini secara saweran. Bila anda perlu bahan dari koleksi pribadi SGPC, anda bisa mengunjungi TORSIP SGPC. Belum bisa bikin e-commerce sendiri sayangnya….


Bagaimana pendapat anda……

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *