Google Translation avaliable here. Use at your own risk; some translation may be incorrect or misleading:

Alasan SGPC Tidak Membicarakan “Sejarah Gedung Tertinggi di Indonesia”

Menembus Kabut
Metafora mengenai sejarah bangunan tertinggi di Indonesia. Foto oleh mimin SGPC

Beberapa dekade belakangan, di kota-kota besar Indonesia, pencakar langit sudah menjamur bak cendawan di musim hujan, dibangun sebagai bagian dari investasi properti dan untuk mengatasi sempitnya lahan di kota-kota besar. Gedung tinggi tak hanya dianggap habis manis sepah dibuang seperti budaya pop lain, tetapi menjadi bagian dari perjalanan hidup sebuah kota.

Sayangnya, di Indonesia, data mengenai gedung tinggi masih kurang lengkap dan rawan dengan spekulasi-spekulasi liar. Per data Skyscrapercenter milik Council of Tall Buildings and Urban Habitat (Dewan Bangunan Tinggi dan Hunian Urban), hanya ada 101 gedung tinggi di Jakarta yang terdata dari segi tahun konstruksi antara 1950 sampai 2002; diantara itu hanya 43 yang tinggi gedungnya tercatat. Untuk Surabaya saja, di rentang yang sama, hanya ada 11 dan tidak ada yang punya tinggi gedung. Masalah kosongnya data tersebut dijadikan alasan dalam pembuatan blog ini.

Hal ini cukup mengecewakan karena bila dibandingkan dengan kota-kota di beberapa negara lain, setidaknya sekitar 50-60 persen gedung terdata dengan baik seperti tinggi gedung, tahun pembangunan dan jumlah lantai. Hal itu penting sebagai catatan sejarah perkembangan arsitektur gedung tinggi lokal. Parahnya, mayoritas gedung tinggi yang terdata sekarang dibangun pada dekade 2010an.

Internetsentrisme musababnya

Balai Kota DKI
Balai Kota DKI memiliki tinggi 111 meter menurut pemberitaan cetak di tahun 1976

Ada dugaan bahwa Internetsentrisme dan kemalasan kita sebagai sebab musabab dari “kabut sejarah” gedung tinggi di Indonesia; media-media daring Indonesia sampai saat ini tidak pernah menyinggung evolusi gedung tinggi di Indonesia dengan mengadakan penelitian mendalam. Bahkan, kebanyakan website lebih mesra dengan keagungan gedung-gedung tinggi berlapis kaca di Jakarta yang memiliki tinggi lebih dari 200 meter.

Wisma Nusantara & Monumen Selamat Datang
Tetapi media daring menyebut tinggi Wisma Nusantara 117 meter. Sketsa awal gedung ini yang muncul di majalah Indonesia Design sebaliknya menunjukkan tinggi Wisma Nusantara hanya 110 meter (109,7m)

SGPC pertama kali menemukan sebuah buku anak-anak terbitan 1981 di perpustakaan daerah mengenai pencakar langit; disebutkan “gedung tertinggi di Indonesia” adalah Balai Kota DKI Jakarta, setinggi 110,8 meter, sementara media internet di Indonesia mengklaim Wisma Nusantara setinggi 117 meter, seharusnya membantah tulisan-tulisan yang beredar di media-media massa Indonesia di era 1970an dan 1980an atau justru artikel Indonesia Design tahun 2005.

Tambahan 27 Desember 2019: Berita singkat dari harian KOMPAS edisi 28 Juni 1975 menyebut tinggi Wisma Nusantara hanya setinggi 103 meter. Artinya ada 14 meter selisih dari laporan media daring yang ironisnya dikutip wartawan Kompascom, kontradiktif dengan laporan pemberitaan induk perusahaannya sendiri. Sinar Harapan, lebih panas lagi, “tidak lebih dari 100 meter” dalam pemberitaan peresmian Balai Kota DKI tertanggal 27 April 1976. 22 Mei 2021: Majalah Indonesia Design membongkar tinggi gedung Wisma Nusantara sebagai 109,7 meter dari permukaan tanah.

Tinggi Balai Kota saat itu awalnya dijadikan pembatas legal gedung tinggi di Jakarta; itu yang menyebabkan tinggi Ratu Plaza hanya 107,9 meter. Baru saat Bank Bumi Daya membangun Plaza Bumi Daya pada 1983, dengan tinggi versi Majalah Konstruksi adalah 132 meter, Jakarta pecah telur dari kungkungan bayangan Balai Kota DKI, dan batas tinggi gedung berubah ke batas tinggi Monumen Nasional.

Tetapi SGPC menyadari bahwa data gedung tinggi di Indonesia masih didominasi kabut tebal; masih jadi teka-teki gedung tertinggi di Indonesia pasca Gedung BRI II mengudeta posisi Grha BNI pada 1991, apakah sampai 1996 dengan munculnya Wisma 46, atau ada penantang yang tinggi gedungnya tidak terdata.

Plaza Bumi Daya - Majalah Eksekutif, Januari 1989
Plot twist bila tinggi Bumi Daya Plaza 143 meter, yang membuat artikel Majalah Konstruksi tentang Grha BNI di bulan Maret 1989 hoax.

Bila merujuk ke versi Internet, disinilah plot twist terjadi. Plaza Bumi Daya bisa menjadi gedung tertinggi dari 1983 sampai 1991 dengan tinggi 143 meter, yang SGPC pertanyakan karena dari Majalah Konstruksi sendirinya mengatakan Grha BNI sebagai gedung tertinggi di Jakarta.

Misteri lain adalah tinggi gedung Hotel Indonesia. Sebagai gedung tinggi pertama di Indonesia, Hotel Indonesia seharusnya memiliki besaran tinggi gedungnya. Malah, yang pertama memiliki tinggi gedung adalah Sarinah, 74 meter, selesai dibangun 1966. Tidak ada data mengenai tinggi gedung Hotel Indonesia Kempinski yang blog ini temukan di pelbagai literatur dan internet mengenai bangunan modern paling bersejarah ini. Terbaru 11 Februari 2023: Tinggi Hotel Indonesia diketahui 52 meter. Gedung tinggi pertama di Indonesia kini jatuh ke Sentra Mandiri, eks Bapindo, di Menteng yang berlantai 7 dan selesai dua tahun lebih lama dari Hotel Indonesia, sayangnya tinggi pasti tidak diketahui.

Skyscrapercenter untuk pengelola gedung dan konsultan perencana

Memang terdengar aneh dan tidak begitu penting, tetapi Skyscrapercenter, karena sering digunakan sebagai sentranya dokumentasi data sejarah arsitektur pencakar langit di dunia, harus dilengkapi dan menjadi rujukan untuk memberi setidaknya beberapa biodata mengenai gedung-gedung tinggi di Indonesia, memperluas cakrawala sejarah arsitektur yang menurut SGPC sebagai orang rata-rata masih dibatasi ke kalangan tertentu dan belum terjamah orang kebanyakan.

Masyarakat tidak banyak yang tahu, beberapa edisi majalah Konstruksi yang SGPC jadikan kolpri sudah menampung data-data tersembunyi tersebut, sebut saja edisi Mei 1979, yang membahas Plaza Gajah Mada, akan dibahas belakangan, atau edisi Juni 1986, yang menjelaskan Gedung Kementerian BUMN. Kedua edisi yang SGPC contohkan tersebut gamblang menyebutkan tinggi gedung, baik dari keberadaan sketsa, maupun dari isi artikel hingga ke detail-detailnya.

SGPC percaya konsultan perencana, pemborong dan pengelola gedung masih memegang cetak biru dari rancangan gedung tersebut, dan memberikannya kepada CTBUH untuk melengkapi data-data gedung tinggi di Indonesia; baik tinggi gedung, jumlah lantai, arsitek, pemborong dan material yang digunakan. Hal ini penting sebagai bentuk pendidikan sejarah arsitektur nasional – setidaknya ini tak lagi menyangkut kreativitas dan fanatisme pada bangunan tradisional, tetapi sebagai gambaran bahwa sejarah kehidupan di kawasan urban setidaknya perlu dipahami.

Setiap Gedung Punya Cerita

Kunjungilah Trakteer SGPC untuk mendapatkan konten-konten akses dini dan eksklusif, dan bila anda perlu bahan dari koleksi pribadi SGPC, anda bisa mengunjungi TORSIP SGPC. Belum bisa bikin e-commerce sendiri sayangnya….


Bagaimana pendapat anda……

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *