22 Mei 2019 yang lalu tim penulis dari Suar.id menerbitkan artikel tentang “fakta” Menara Saidah “milik suami Inneke Koesherawati yang terkenal angker” (arsip). Pemberitaan basi tentang subyek yang sama, dengan fakta yang menurut penulis hanya mengulang “narasi” yang ada di Internet di luar blog Setiap Gedung Punya Cerita yang mengandalkan publikasi dari tahun-tahun sebelumnya (bahkan dari tahun saat gedung tersebut dibangun) hingga akhirnya dianggap sebagai fakta. Fatalnya artikel tersebut ditulis 6 bulan setelah blog Setiap Gedung Punya Cerita menerbitkan tulisan tentang Menara Saidah (1 Desember 2018). Mari kita runut satu-per-satu isi artikel dan fakta cetaknya di koran dan majalah.
Yang pertama…… tahun pembangunan. Kebanyakan media-media termasuk dari Suar.id menyebutkan bahwa tahun pembangunan Menara Saidah berlangsung dari 1995-1998, hal ini faktual bila merujuk pada pemberitaan KOMPAS tertanggal 26 Mei 1997. Versi majalah Konstruksi edisi Desember 1997 berbicara lain. Gedung tersebut sudah selesai pembangunannya per November 1997 dan diperkirakan sudah siap ditempati.
Untuk pemborongnya, mereka tidak menyebut peran Mustika Ratu Adji, karena dalam catatan blog ini, Menara Saidah dibangun oleh Hutama Karya bersama dengan Mustika Ratu Adji. (Konstruksi, Desember 1997)
Satu-satunya data faktual yang bisa ditarik dari artikel ini adalah biaya pembangunan. Kata artikel ini biaya pembanguannya 50 milyar rupiah dengan nilai 2019 berlipat-lipat. Sedikit faktual, tetapi masih terpotong. Tidak ada penanggalan untuk penghitungan nilai rupiah yang sedikit lebih presisi. Catatan penulis adalah biayanya adalah hampir Rp 70 milyar nilai 1997, setara Rp 482 milyar nilai 2019, atau hampir 7 kali nilai awal. (Konstruksi, Desember 1997/KOMPAS 26 Mei 1997)
Ketiga adalah pemilik gedung awal. Gedung ini memang sebelumnya milik Mustika Ratu, pimpinan Mooryati Soedibyo, faktanya ada Grup Drassindo yang memegang saham patungan dengan Mustika Ratu untuk pengembangan Menara Saidah, bernama Mustika Ratu Adji (KOMPAS 26 Mei ’97/Konstruksi Desember ’97). Ada yang dipotong oleh keluarga Inneke atau pewarta media dalam nama JV Drassindo-Mustika Ratu.
Tanda tanya besar mulai muncul disini. Alinea ketiga menyebut “gedung ini dilelang pada 1995 dan dimenangkan dimenangkan oleh Keluarga Saidah dengan pemilik diserahkan kepada Fajri Setiawan, anak kelima Nyonya Saidah.” Hal ini menyimpang jauh dari fakta berita yang penulis dapatkan dari majalah Konstruksi dan pemberitaan KOMPAS. Nama Menara Saidah baru pertama terlihat di harian KOMPAS tertanggal 1 September 1999, tetapi penulis masih menghipotesis nama Menara Saidah baru digunakan setelah krisis moneter 1998 atau awal 1999. Saat selesai dibangun saja, nama Menara Drassindo masih digunakan.
Selanjutnya soal jumlah perlantaian yang disebut “awalnya hanya berlantai 18” dan “gedung ini mengalami renovasi besar-besaran salah satunya penambahan jumlah lantai” pasca “dimenangkan oleh Keluarga Saidah“. Ini hal yang tak masuk akal, walau renovasi vertikal bisa dilakukan (Hotel Garden Palace di Surabaya dan gedung Blue Cross Blue Shield di Chicago), majalah Konstruksi edisi Desember 1997 tidak menyebutkan bahwa awalnya gedung ini berlantai 18 sebelum penambahan tinggi bangunan ke 28 lantai. Tidak ada.
Ironi terbesarnya adalah, media online sepertinya tidak beranjak dari kursi mereka untuk mendapatkan sejarah sekilas dari sebuah bangunan, bergantung pada Google untuk informasi yang dibutuhkan. “Who needs library, apalagi there’s Google” begitulah logat Jakarta Selatan berbicara soal mencari sumber di buku. Internet adalah segalanya, sayangnya, Internet hanya terdiri dari kabel ethernet, backbone, server dan client, dan hanya manusia yang menyediakan informasi ke Internet.
Adalah tanggung jawab penulis adalah menyertakan sumber untuk klaim-klaim yang ditulis di dalam sebuah blog untuk memperkuat argumen kita. Semakin fatal bila Suar.id yang dimiliki oleh Kelompok Kompas Gramedia tidak memanfaatkan arsip harian KOMPAS dan publikasi terkait milik KKG dari tahun 1965 yang benar-benar tersedia lengkap untuk digali oleh setiap pewarta dan periset situs web yang tergabung dalam Kelompok Kompas Gramedia, termasuk pemberitaan KOMPAS yang penulis temukan terkait Menara Saidah di arsip mereka sendiri melalui Kompasdata.
Ini adalah tulisan ketiga mengenai Menara Saidah. Tulisan Setiap Gedung Punya Cerita mengenai gedung karya Ketira Engineering ini bisa dibaca disini (seluruh referensi untuk fakta cetak di artikel ini dapat anda baca di tulisan tersebut) dan sekuelnya terkait bagaimana blog ini mengumpulkan data mengenai Menara Saidah.
Setiap Gedung Punya Cerita
Tambahan untuk 5 November 2019
Setelah pertama ditulis pada 11 Juli 2019, pada bulan Oktober 2019 Menara Saidah kembali viral. Konten yang dibawa media massa sepertinya tetap sama, tak jauh dari misteri dan penyesatan yang sama dari kata “Gracindo” hingga pembangunan gedung, jadi penulis tak akan menjelaskan lebih lanjut. Salah satu hal baru yang penulis temukan adalah soal pengemudi ojek daring yang menerima pesanan dari Menara Saidah. Penulis pertama menemukan ini dari Tribunnews (arsip).
Penulis mengambil teori lain di balik pesanan “misterius” dari Menara Saidah. Menurut penulis, orang Jakarta yang usil sepertinya sengaja mengeset pesanannya ke Menara Saidah untuk memperdaya pengemudi ojek daring. Percaya atau tidak, penulis melihat hal ini hanya untuk semakin memperteguh urban legend yang kadung mengakar jauh sebelum Setiap Gedung Punya Cerita pertama menerbitkan versi alternatif Menara Saidah. Setiap Gedung Punya Cerita
Leave a Reply