Widya Graha BRIN, atau diindonesiakan menjadi “griya ilmu pengetahuan”, dari kata bahasa Sanskerta Widya = ilmu dan Graha = rumah, griya. adalah kantor pusat dan pusat penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini telah dilebur ke dalam Badan Riset & Inovasi Negara (BRIN), lembaga induk pemerintah yang bertugas dalam penelitian ilmiah dan teknologi, yang berdiri di sisi barat Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Kompleks yang menaungi Widya Graha BRIN adalah salah satu dari beberapa kompleks yang ditempati oleh BRIN selain Gedung BJ Habibie, fasilitas di Bogor, Jawa Barat dan di Serpong, Banten.

Widya Graha BRIN, 2011
Pra-renovasi. Foto oleh mimin SGPC

Gedung berbentuk elips itu dibangun oleh pemborong milik negara Wijaya Karya dalam empat tahap mulai awal 1980 dan selesai dibangun pada 1982, dan dibuka resmi oleh Presiden Soeharto pada 23 Agustus 1982. Saat selesai dibangun, LIPI memanfaatkan lantai 1 sampai 7 gedung ini sebagai ruang kantor dan pembinaan, sementara 4 lantai teratasnya diijadikan pusat penelitian. Layout tersebut belum tentu merefleksikan situasi saat ini, apalagi dengan renovasi yang terjadi beberapa tahun belakangan.

Setelah 32 tahun penggunaan, Widya Graha mulai mengalami masalah struktur seperti atap jebol yang menjurus pada kebocoran dan gangguan pada sistem kelistrikan. Akibatnya gedung itu direnovasi dalam dan luar yang disertai perubahan bentuk eksterior gedung. Sejak peleburan banyak lembaga riset negara pada tahun 2022, nama gedung ini juga berubah menjadi Widya Graha BRIN.


Iklan

Arsitektural dan Teknis

Arsitektur

Widya Graha BRIN didesain oleh tim arsitek dari Atelier 6, dan bahasa desain gedung ini menegaskan citra LIPI yang mencerdaskan dan membangun masyarakat, selain itu desain yang tidak konvensional diharapkan menjadi bentuk inspirasi. Hal lain yang didapat dari desain gedung tersebut adalah keinginan pihak pemborong dan arsitek untuk mencapai efisiensi energi dan kemudahan dalam perawatan gedung. Sayangnya, renovasi wajah gedung dan masalah pada listrik di tahun 2014 membuktikan bahwa tujuan jangka panjang arsitek tidak tercapai. Selain itu, rancangan elipstik melambangkan kemanunggalan manusia beserta alam semesta yang terus digali oleh ilmuwan, dipadu dengan pilar-pilar yang melambangkan pembinaan dan penelitian dalam sebuah unsur kesatuan.

Dalam bahasa sederhananya terkait desain Widya Graha, kata Ketua LIPI Tb. Bachtiar Rivai, seperti dikutip Tempo tertanggal 4 September 1982, “bermakna fungsional dan simbolis”. Udo Kultermann dalam artikelnya mengenai arsitektur modern di Indonesia di majalah arsitektur Mimar, mengatakan bahwa Widya Graha BRIN “mempromosikan pemecahan masalah dalam bentuk kontemporer.” Kultermann menegaskan bahwa Widya Graha tidak mengambil ciri khas tradisional Indonesia dalam perancangannya. Tujuh tahun kemudian, Graha Cipta Caraka, notabene adalah tetangga gedung ini, dirancang hampir mirip sebagai respek secara arsitektural.

Gedung ini sudah bisa dibilang sebagai gedung ramah lingkungan, dimana bagian tengah gedung yang didesain terbuka untuk menyediakan cahaya alami masuk ke ruang-ruang gedung, dan menerapkan cross ventilation pada jendela. Hal ini untuk mengurangi biaya listrik dan menyediakan sirkulasi cahaya dan udara alternatif bila sewaktu-waktu listrik mengalami gangguan. Tanaman diberikan di bagian tengah gedung yang terbuka untuk mengupayakan keserasian lingkungan dan memberikan rasa nyaman bagi penghuni gedung. 

Finishing, struktur dan tahap pembangunan

Lapis luar gedung alias fasad gedung awalnya dibuat keseluruhan dengan beton terekspos (brutalist), tetapi biaya pembangunan yang ketat dan persyaratan-persyaratan khusus dalam pelaksanaan beton terekspos memaksa pemborong dan perancang memilih lapis keramik, kaca dan beton terekspos untuk eksteriornya. Lapisan komposit yang nyaris menutupi kaca gedung kini menggantikan lapis keramik dan kaca setelah renovasi.

Widya Graha BRIN menggunakan konstruksi beton bertulang dan rangka strukturnya berupa dinding geser (shear wall), penulangannya (frame) tidak diprestress dan pondasinya adalah pondasi dasar dengan kedalaman rata-rata 8 meter. Semua demi alasan efisiensi biaya. Gedung ini didesain tahan gempa hingga 9 skala Richter.

Dalam pembangunannya, pelaksanaan pembangunan terpecah menjadi empat tahap, yaitu

Tahap 1Pondasi dan struktur hingga lantai 3
Tahap 2Struktur dari lantai 3 sampai 11 dan atap, dan sekat instalasi listrik
Tahap 3Finishing gedung
Tahap 4Pemasangan fasilitas gedung

Selengkapnya mengenai garis besar gedung era 1980an dapat anda baca di artikel ini


Iklan

Data dan fakta

AlamatJalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jakarta
ArsitekIr. Darmawan Prawirohardjo (Atelier 6)
PemborongWijaya Karya
Lama pembangunan1980 – 1982
Diresmikan23 Agustus 1982
Tinggi gedung50 meter
Jumlah lantai11 lantai
Biaya pembangunanRp. 5,3 milyar (1982)
Rp. 126 milyar (inflasi 2020)
Referensi: Majalah Konstruksi Agustus 1982, MIMAR No. 21 1986, Ikatan Arsitek Indonesia 1983, Majalah TEMPO 4 September 1982

Referensi

  1. NN (1982). “Gedung LIPI Pusat dibangun dengan tepat guna dan sedikit genit”. Majalah Konstruksi, Agustus 1982.
  2. NN (1982). “Widya Graha, Satu Harapan”. Majalah Tempo, 4 September 1982.
  3. Angga Yudha Pratomo (2014). “Gedung bundar LIPI direnovasi, ratusan peneliti mengungsi”. Merdeka.com, 28 Januari 2014. (arsip)
  4. Ikatan Arsitek Indonesia (1983). “Buku Ke-1 Karya Arsitektur Arsitek Indonesia.” Jakarta: Ikatan Arsitek Indonesia. Halaman 71-72.
  5. Udo Kultermann (1986). “Architecture in South-East Asia 2: Indonesia“. MIMAR: Architecture in Development No. 21, Juli-September 1986, hal. 45-52. Kutipan di hal. 51 (arsip)

Lokasi

Google Translate:

Bagaimana pendapat anda......

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Banyak tulisan gedung yang SGPC buat sebelum dijadwalkan terbit. Penasaran? Dukung kami via Trakteer.