Naaah, tektonik. Dari anak-anak yang masih cerianya nonton Rainbow Bubblegem, ibu-ibu di Pasar Johar, buruh pabrik Maspion Surabaya, manajer operasional di perkantoran Rasuna Said Jakarta hingga CEO perusahaan terdaftar BEI, semuanya akan paham dengan kata tersebut dalam konotasi geologis, didefinisikan sebagai gempa bumi yang terjadi oleh pergeseran antar lempengan.
Namun, di mata dunia arsitektur Indonesia, tektonik ini tidak berkaitan dengan geologi destruktif yang menyeramkan. Sebaliknya, tektonik ini kerap digunakan untuk menyebut konstruksi rumah tradisional dan bangunan karya seorang maestro arsitektur nasional, yang entah mengapa marak di mimbar-mimbar dan literatur arsitektur di Indonesia belakangan.
SGPC berupaya akan meluruskan topik ini, supaya tektonika arsitektur Indonesia tak hanya identik dengan arsitektur tradisional, sebuah topik lama yang selalu diputar kembali setiap tahunnya.
Kenapa ada istilah tektonik pada arsitektur?
Oke, mari kita bahas kata tektonik versi anak arsitek disini dahulu. Untuk kemudahan anda bersama, tektonik dalam kosakata arsitektur Indonesia dicetak miring; sementara konteks reguler/geologi (gempa tektonik, misalnya) dicetak biasa.
Secara definisi, tektonik versi arsitektur adalah – kalau merujuk dari banyak sumber – adalah penerapan struktur yang digunakan dalam perancangan bangunan yang tidak hanya menekankan unsur struktur belaka, tetapi memiliki nilai seni, sehingga pemilihan bahan bangunan untuk struktur memengaruhi penampilan bangunan secara keseluruhan. Ia hanya serapan dari kata Yunani tekton yang artinya membangun, alias menyerap kata yang sama dengan konteks geologis untuk merujuk pada pergerakan lempeng bumi.
Hampir semua bangunan dengan nilai arsitektur yang kuat biasanya punya sisi tektonikanya. Tulisan seorang komentator dunia desain, Samantha Frew, di halaman Architizer mencatat bahwa unsur yang paling penting dalam menciptakan tektonika arsitektur adalah peran bahan bangunan dalam menciptakan sebuah identitas bangunan dan suasana yang berbeda serta memahami karakteristik bahan bangunan serta fungsinya.
Tectonics operates on several fundamental principles that guide architects toward a unified architectural expression. At the heart of tectonics is material honesty — using materials in ways that respect their innate properties. Whether it’s the weight-bearing strength of stone, the tensile capabilities of steel, or the malleability of concrete, each material has a specific tectonic language.
Samantha Frew di Architizer
Artinya, tektonika tidak melulu penggunaan bahan bangunan non-beton seperti yang didoktrinkan ahli arsitektur nasional dan para penulis arsitektur yang lain saat membahas sebuah karya arsitektur, yang acapkali disematkan secara eksklusif pada karya-karya arsitektur Y.B. Mangunwijaya dan hunian-hunian adat di pelosok – karena Mangun-lah yang mempopulerkan istilah ini. Yang penting adalah pemahaman atas karakteristik bahan bangunan ini saat diterapkan pada karya arsitektur.
Kalau definisi versi Frew digunakan, maka kantor DPR-RI di Senayan juga secara arsitektur ada nilai tektonika dari busur baja yang digunakan di Gedung Nusantara I; atau bahkan Intiland Tower karya Paul Rudolph dimana salah satu elemen arsitekturnya yaitu kolom juga berfungsi sebagai struktur bangunan. Disini pentingnya bagaimana definisi tektonika dalam artian estetika bangunan diterapkan.
Mengapa tektonika itu penting, dan tidak harus Mangunist atau rumah adat
Selama tiga tahun terakhir SGPC melihat informasi kegiatan seminar dan acara-acara arsitektur di beberapa tempat di Indonesia, ada kecenderungan bahwa pembahasan arsitektur sekarang lebih banyak menitikberatkan teknik dan tektonika dalam arsitektur tradisional serta apresiasi pada karya-karya yang sangat kuat penggunaan unsur tradisional tersebut. Terutama dengan sengitnya perdebatan mengenai arsitektur yang berdampak kecil pada lingkungan alam (karena “lingkungan” bisa dibaca lain oleh dunia arsitektur sebagai daerah sekitar).
SGPC rasa, tektonika tidak melulu rumah adat atau bangunannya Mangunwijaya. Banyak bangunan di Indonesia yang berdiri di era modern yang bisa memenuhi syarat sebagai sebuah bangunan yang tektonis atau bangunan dengan struktur dan bahan bangunan diolah sedemikian rupa agar memenuhi unsur seni dan estetika sehingga menciptakan identitas dari sebuah gedung.
Para pecinta arsitektur tektonika bisa menelaah dan mendalami bagaimana tektonika bisa memengaruhi karya dengan bahan bangunan yang lebih modern seperti baja, beton bertulang dan juga aluminium untuk memperkaya definisi tektonika untuk konteks arsitektur Indonesia.
Walau itu, bagi orang biasa, pengembang real estate dan teknik sipil, tektonika menjadi penting untuk kebaikan dan kejujuran anda selama membangun bangunan serta memberi kebebasan arsitek berkarya sesuai dengan spesifikasi yang kita inginkan. Tanpa itu, bangunan anda tidak akan mencuri perhatian dalam waktu lama.
Akan lebih baik bila istilah tektonik dalam kerangka arsitektur diperluas dan diperdalam kepada masyarakat biasa, dengan bahasa yang lebih sederhana semisal “estetika struktur” atau “seni struktur” ketimbang tektonik. Dengan itu, dari kalangan real estate, anak teknik sipil hingga kita yang tidak pernah mengenyam pendidikan arsitektur formal juga akan lebih mengerti apa maksudnya.
Sebagai catatan, SGPC sama sekali tidak menggunakan definisi tektonik dalam menjabarkan fitur arsitektur disini. Lebih baik bila kami serahkan penalaran arsitekturnya kepada siapapun, bukan lagi orang arsitek. [tambahan 30/11/2024]
Referensi tambahan
- Samantha Frew. “What is the meaning of “tectonic” in architecture today.” Architizer Journal, diakses 29 November 2024 (arsip)
- “Pengetahuan Tektonika dalam Arsitektur.” Arsitek Tour WordPress, 17 Mei 2021. Diakses 29 November 2024 (arsip)
Tinggalkan Balasan