Di luar Setiap Gedung Punya Cerita, sering kita mendengar klaim bahwa gedung atau konstruksi era Belanda, atau era kerajaan, jauh lebih kokoh dari bangunan zaman modern, dan memiliki desain yang sangat anggun, dibangun dengan presisi tinggi dan sangat jujur dan bebas korupsi. Media-media massa dengan perputaran pembaca yang sedemikian hebatnya meneruskan pesan sejenis sehingga akhirnya menjadi sebuah keniscayaan bagi publik yang tidak paham akar masalahnya.
Sayangnya, artikel glorifikasi arsitektur Belanda tersebut memiliki banyak kelemahan dan sedikit kadar kebenarannya bila diadukan dengan tulisan-tulisan yang mimin SGPC dapatkan dari pelbagai sumber. Blog ini akan membahas cacat di balik klaim tersebut.
“Material,” “presisi” dan “kejujuran”
Jadi, untuk menyelidiki apa yang membuat media massa, dan bahkan masyarakat Indonesia secara sadar/tidak sadar telah mengglorifikasi arsitektur era kolonial, mimin membaca tulisan-tulisan laman lain mengenai “faktor-faktor” yang menjadi alasan bahwa bangunan era Belanda “lebih kokoh” dari bangunan era modern. Rata-rata artikel tersebut mengulang keempat penjelasan yang mimin simpulkan seperti di bawah ini.
Pertama adalah klaim soal penggunaan material dan tekniknya. Banyak yang mengatakan bahwa semen yang digunakan oleh pemborong Belanda di era kolonial kualitasnya tinggi dan menggunakan material yang terbaik, seperti “pencampuran batu gamping merah dengan batu kapur” dicampur atau batanya digiling halus.
Kedua adalah kualitas presisi rancang bangun bangunan/struktur. Menurut mereka, arsitek Belanda sangat memerhatikan fungsi dan rincian dari perancangan bangunannya, sehingga menghasilkan gedung/struktur yang tepat guna dan kokoh.
Ketiga, adalah material. Diklaim bahwa material yang digunakan adalah produk impor bermutu tinggi yang “didatangkan langsung dari Belanda” dengan daya tahan tinggi seperti kualitas beton setara K400.
Terakhir, adalah pelaksanaan konstruksi. Secara teoritis, biaya pembangunan yang tinggi, dengan kejujuran tinggi dan kualitas yang tinggi akan menghasilkan gedung/struktur yang prima, dan diklaim bahwa pihak arsitek Belanda tekun demi menghasilkan kualitas yang terbaik.
Jebakan maut sentimen dan rindu masa lalu
Sayangnya, walaupun ada beberapa kebenaran dalam “artikel” tersebut, sangat banyak kelemahan faktual, nuansa sentimental maupun bias kebertahanan alias survival bias seperti yang mimin dapatkan dari sebuah kolom diskusi Quora. Bahkan beberapa komentarnya terkesan menyakiti para praktisi teknik sipil yang bekerja di industri konstruksi. Mimin yang bukan lulusan ilmu teknik sipil atau arsitektur, yang modalnya berupa 25 tahun lebih terbitan Majalah Konstruksi, Cipta dan lain sebagainya, juga tahu artikel tersebut memang banyak sesat pikirnya.
Bagaimana soal referensi subbab artikel ini? Referensinya adalah rangkuman dari bagian struktur beberapa gedung yang SGPC bahas selama 3 tahun lebih serta pengamatan lapangan sebagai anak-anak ex-Skyscrapercity.
Abai perkembangan teknologi
Salah satu rahasia yang menjadi kekokohan bangunan Belanda ternyata terletak pada kualitas semen. Pada masa itu, mereka biasa menggunakan semen merah dan gamping yang dicampur menjadi satu. Batu bata merah yang digiling halus hingga menjadi serbuk, kemudian diolah dengan batu kapur sebagai bahan perekat bangunan. Mereka mengaplikasikan bahan-bahan tersebut hampir di keseluruhan bangunan ciptaannya. Seperti gedung perkantoran, rumah sakit, fasilitas militer dan stasiun. Terbukti, seluruh mahakarya arsitek Belanda itu masih bisa disaksikan keberadaanya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Artikel Boombastis mengenai poin pertama kualitas gedung Belanda “kokoh ketimbang zaman kini”
In order to compensate for the growing expense of both extracting and importing building materials whose local reserves have been exhausted, at the turn of the 20th century, and later after World War II, new, more economical building materials were developed, including cinder blocks to replace masonry slabs, concrete as a stucco alternative, asbestos, aluminum (and later vinyl and fiber cement) to replace wood siding and shingles, and asphalt roof shingles to replace slate. Modern framing, sheetrocking, and insulation techniques made the installation of brick and stone veneers easier, and these replaced expensive masonry-based structural walls.
(Sebagai pengganti mahalnya biaya penambangan dan impor bahan bangunan yang sumber dalam negerinya sudah habis, sejak abad 20, dan pasca Perang Dunia II, material bangunan baru yang lebih hemat dan ekonomis mulai dikembangkan, seperti batako untuk menggantikan bata, beton sebagai pengganti stucco, asbes dan aluminium (digantikan oleh semen serat dan semen plastik/vinyl cement) sebagai pengganti kayu dan lembaran aspal untuk tembok, dan lembar aspal untuk pengganti atap slate (batu). Tembok struktur bata (masonry) yang mahal diganti oleh teknik insulasi, framing hingga gipsum sheetrock.)
Argumen balasan dari Kate Wagner (Curbed) yang bisa membantah klaim diatas.
Kesalahan pertama dari tulisan tersebut adalah kerap mengabaikan perkembangan teknologi. Semisal bahwa semen dan materi bangunan yang digunakan pemborong Belanda kualitasnya tinggi. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam bidang konstruksi sebenarnya menghasilkan semen yang berkualitas tinggi, dan beton yang kualitasnya tidak kalah dengan produk zaman Belanda. Bahkan muncul teknologi semacam beton bertulang dan baja yang membuat gedung semakin kokoh dengan paduan beton dan tulangan dari besi, dan teknik pra-tekan yang membuat gedung bisa memikul beban lantai jauh lebih besar dari sekedar tulangan kayu ala bangunan Belanda yang sewaktu-waktu bisa lapuk termakan rembesan air.
Ide material impor dari Belanda awalnya terdengar masuk akal. Tapi, apa masuk akal beton sekarang harus diimpor? Siapapun yang menulis artikel tersebut, baik dari Boombastis, 99.co maupun divisi daring majalah IDEA, harusnya sadar bahwa pandangannya hanya meneguhkan stereotipe bangsa Indonesia mengidap kompleks inferiorisme di bidang teknik sipil dengan dalih bahwa insinyur Indonesia tidak berbuat apa-apa dalam membuat material beton yang unggul.
Apakah penulis Boombastis atau IDEA sudah melihat pabrik beton pracetak milik banyak pemborong yang berceceran di penjuru Nusantara? Apakah mereka sudah melihat kapur ditambang dan jadi semen di Cilacap, Gresik dan Cibinong dan menghasilkan semen dan mortar berkualitas prima? Argumen dangkal penulis artikel di Boombastis maupun IDEA tersebut secara tak langsung telah menyematkan label amatiran bagi pabrik beton pracetak dan semen di kota-kota di Indonesia.
Maka, semua bahan bangunan pun harus diimpor dengan dalih kualitasnya lebih baik, harganya mahal sudah termasuk bea cukai, dan lagi-lagi akan menguras banyak devisa negara dan sangat membebani masyarakat hingga pengembang. Kita harus belajar dari krisis 1998 yang salah satunya berpangkal dari ketergantungan berlebih pada barang impor yang digunakan untuk membangun bangunan di Jakarta.
Problem lainnya adalah klaim bahwa teknik sipil Belanda lebih presisi dari arsitek Indonesia zaman kini. Sayangnya klaim ini juga mengabaikan perkembangan teknologi dan sumber daya manusia insinyur di Indonesia masa kini. Di zaman kolonial, total station belum diperkenalkan dan perancangannya masih memakai cara manual. Komputer mulai digunakan dalam perancangan sejak 1970an, Total station menjadi umum sejak 1980an dan computer assisted design (CAD) paling awal 1988-an mulai digunakan para perancang Indonesia. Justru dengan keberadaan aplikasi semacam AutoCAD untuk perancangan gedung, peta satelit dan total station untuk survei lokasi memberikan kondisi yang lebih akurat dalam perancangan bangunan maupun struktur.
Bahkan, artikel dari Curbed, media properti AS ini, sangat satu suara dengan mimin SGPC di artikel ini. Artikel tersebut membahas penyebab banyak rumah-rumah dan bangunan arsitektur yang dianggap tidak lagi tahan lama dan penulis artikel tersebut, Kate Wagner, mencatat bahwa perubahan teknologi, sosial-politik, perekonomian dan gaya hidup di negara adidaya tersebut yang menghasilkan bangunan yang “tidak tahan lama”. Analogi dari AS ini ibarat bogem mentah bagi penulis artikel tersebut yang masih bersikukuh dengan pandangan “bangunan Belanda lebih kuat dari zaman now“, yang interpretasinya sama dengan pemeo orang Amerika, “we don’t build houses like we used to” (rumah tidak dibangun seperti zaman dulu).
Tetapi, tidak semua kemajuan tersebut berbuah manis. Bila ditangani dengan tidak tepat, masalah seperti air merembes di beton dan salah perhitungan pada struktur bisa berakibat fatal terhadap rancang bangun yang didirikan.
Abai pada sejarah
Tidak hanya mengabaikan perkembangan teknologi, glorifikasi bangunan Belanda oleh media-media Indonesia kontemporer ini menutup-nutupi ketidakberuntungan yang bisa saja dialami bangunan era kolonial atau sukses teknik sipil negeri ini.
Salah satu contoh terawal adalah Gedung Papak di Semarang yang habis terbakar pada 30 November 1954. Berlantai 3, dengan desain kolonial, gedung tersebut akhirnya dibongkar dan kini sudah berdiri Kantor Gedung Keuangan Negara I yang bergaya modern pertengahan abad 20. Itu baru satu yang menurut mimin SGPC paling sial, karena kebakaran yang dialami gedung zaman kolonial jarang terjadi, belum termasuk bangunan era kolonial Belanda yang tidak terhitung jumlahnya yang jadi rumah hantu dan menjadi puing karena ditinggalkan oleh pemilik rumah/usaha/perusahaan karena sempitnya ruang kantor, biaya perawatan yang tinggi dan ditinggalkan oleh pemiliknya yang mayoritas orang Belanda karena kondisi politik Indonesia yang amat tidak kondusif saat itu.
Ilusi bahwa bangunan Belanda kokoh juga didukung oleh kemauan beberapa pihak yang melakukan restorasi bangunannya. Semisal Gedung Jasindo di Batavia Kota Tua, Jakarta. Dulu adalah kantor pusat asuransi Jasindo yang sempat ditinggal kosong dan sempat akan rontok; kini dikembalikan ke bentuk aslinya, namun tidak pernah dimanfaatkan sebagai ruang kantor atau usaha sejenis.
Atau Candi Borobudur yang ternyata adalah produk dari restorasi yang diadakan selama ratusan tahun dari masa kolonial hingga era Presiden Soeharto – dimana candi era Syailendra tersebut diberi saluran air untuk menanggulangi masalah penurunan tanah yang merusak candi selama berabad-abad. Kembali lagi, ini soal teknologi dan kelihaian arsitek dalam memodernisasi gedung kuno.
Tak semua infrastruktur era Belanda kokoh. Kasus penutupan Jembatan Asam dan Geretak Batu di Sambas, Kalimantan Barat, bagi kendaraan bersumbu enam menggugurkan mitos yang diwartakan Boombastis dkk. bahwa bangunan/struktur era Belanda itu kuat.
Ketika dibangun pada 1941, tidak banyak kendaraan bermotor, jangankan Ford Model T, yang beredar di pelosok Kalbar; bandingkan keadaan 80 tahun kemudian yang dipenuhi oleh motor, mobil dan truk dengan berat berton-ton. Pihak Pemerintah Kabupaten Sambas mengatakan bahwa penutupan ini demi melestarikan sejarah; bagi SGPC, itu indikasi bahwa struktur jembatan bersejarah itu sudah tak mampu menopang truk-truk yang mayoritas obesitas alias ODOL (over dimension & over loaded).
Malah, kejadian kebakaran besar yang terjadi mengukuhkan kokohnya bangunan modern. Kebakaran Sarinah 1984, Metro Pasar Baru 1985 dan Grand Bali Beach 1993 membuktikan bahwa bangunan modern, bila dirancang, diteliti dan diperlakukan dengan benar, akan tetap bisa digunakan dan kokoh berdiri.
Ketiadaan akses dan kambing hitam korupsi
Rahasia lain yang membuat bangunan Belanda tetap kokoh adalah kedisiplinan dan kejujuran selama proses pembuatan. Dalam membangun, para arsitek Belanda sangat disiplin dan keras. Baik dalam hal rancangan, bahan yang digunakan hingga teknik pembangunan. Soal anggaran, mereka juga tak main-main. Mulai dari kualitas hingga hasil jadi bangunan, menjadi prioritas utama. Tak peduli menyedot dana besar, asal konstruksi yang ada bisa awet dan tahan lama. Beda rasanya jika dibandingkan dengan mental pejabat sekarang. Asal ada anggaran proyek yang bisa dikorupsi, mereka akan melakukannya tanpa peduli terhadap kualitas bangunan. Alhasil, banyak jembatan, gedung dan jalan raya yang roboh meski baru saja dibangun. Bisa jadi kena kualat tuh Saboom.
Artikel Boombastis mengenai poin keempat kualitas gedung Belanda “kokoh ketimbang zaman kini”
Dan sebagai penutup, inilah yang membedakan media massa dalam negeri zaman kini dengan Setiap Gedung Punya Cerita. Mimin yang menulis blog ini telah mendapat akses dari kampus, perpustakaan hingga pembelian dari daring untuk membaca dan memahami isi dari pembangunan bangunan-bangunan di Indonesia, paling spesifik, bangunan tinggi, melalui publikasi tertulis seperti yang koleksi pribadi mimin cekrek di bawah ini.
Sebaliknya, media massa hanya tinggal menggandakan isi artikel mimin tanpa memberi tanda terima kasih (backlink), dan tidak memanfaatkan arsip. Sebaliknya, bangunan era Belanda justru diperbanyak dan diteliti baik daring atau dunia nyata. Ini adalah problem yang sangat sepele, namun besar perannya dalam membelokkan sejarah.
Permasalahan lain dari glorifikasi bangunan era Belanda yang ditulis Boombastis adalah menjadi kendaraan tak kasatmata untuk mengambinghitamkan korupsi sebagai penyebab “rendahnya kualitas konstruksi Indonesia.”
Korupsi terkesan menjadi jalan termudah untuk menyalahkan segala permasalahan dalam dunia rancang bangun di tanah air, mengabaikan faktor-faktor lain seperti sumber daya manusia tenaga konstruksi yang kurang optimal atau faktor-faktor yang membuat struktur menanggung lebih dari daya dukung yang dipatok insinyur – baik insinyur Indonesia maupun Belanda, seperti misalnya beban lantai per kilogram yang harus ditopang struktur tersebut, atau bahkan bencana alam (jembatan di Gunung Semeru – dimana, syukurnya, jembatan era Soeharto dan Kolonial Belanda sama-sama diterjang lahar dingin Semeru, sehingga ga ada yang mau membuat olok-olokan sejenis yang SGPC ingin patahkan). Seperti yang terjadi pada jembatan di Sambas, muncul kekhawatiran jembatan itu rontok oleh keberadaan truk-truk ODOL yang melewati jalan tersebut.
Korupsi seringkali memengaruhi kejujuran dan harga diri kontraktor dan wibawa pemberi tugas, membebani kontraktor untuk menggarap proyek-proyeknya, tetapi belum tentu berdampak ke gedung/infrastruktur. Dampak pada struktur hanya bisa terasa bila korupsi yang dilakukan mendorong pemborong mengirit pengeluaran proyeknya, sehingga menghasilkan proyek yang tidak bertahan lama. Kejadian tersebut yang melahirkan pandangan miring bahwa gedung era Belanda “lebih kokoh daripada zaman sekarang.”
Gabungkan dengan rahasia umum bahwa korupsi sangat marak di pemerintahan Orde Baru, walau harus diakui kualitas arsitektur dan struktur era Orba memang ajib, maka dahsyatlah pandangan masyarakat kita, masalah apapun yang terjadi di struktur maupun infrastruktur di negeri ini, akan mudah mengatakan biaya pembangunannya dikorupsi, tak mengacuhkan faktor lain seperti pengguna jasa yang tidak peduli hingga SDM pemborong yang minim pengetahuan dalam pembangunan infrastruktur.
Andaikata Roosseno dan Wiratman Wangsadinata membaca artikel Boombastis/IDEA/99.co tersebut, besar kemungkinan mereka sangat marah karena ilmu yang mereka terapkan terasa dilecehkan dan disepelekan.
Barang bukti
Berikut merupakan artikel-artikel yang mempropagandakan supremasi teknik sipil era kolonial Belanda:
- Dany (2018). “Kokoh Hingga Kini, Inilah Rahasia Konstruksi Belanda Lebih Kuat dari Konstruksi Zaman Now.” Boombastis, 19 April 2018. Diakses 8 Februari 2022. (arsip)
- Agnes (2018). “Dibangun Sebelum Proklamasi, 4 Penyebab Bangunan Belanda Masih Kokoh.” IDEA, 17 Agustus 2018. Diakses 8 Februari 2022 (arsip)
- Hendi Abdurahman (2021). “5 Alasan Rumah Kolonial Bisa Kuat dan Kokoh Sampai Sekarang.” 99.co (Blog), 14 November 2021. Diakses 8 Februari 2022 (arsip)
Argumen balik
Terdapat argumen yang mimin SGPC gunakan untuk menjawab propaganda di atas, yaitu:
- noi/ang (2019). “Jembatan Asam dan Batu ditutup.” Suara Pemred Kalbar, 27 Maret 2019. Diakses 8 Februari 2022 (arsip)
- Kate Wagner (2019). “The myth of ‘We don’t build houses like we used to’.” Curbed, 16 Januari 2019. Diakses 8 Februari 2022 (arsip)
- Kedaulatan Rakyat (1954). “Sekitar terbakarnja Gedung Papak: Enam orang ditahan.” Kedaulatan Rakyat, 1 Desember 1954, hal. 1
- Beberapa referensi berasal dari artikel yang SGPC kutip dari Majalah Konstruksi yang mimin tak bisa sebut satu per satu.
Setiap Gedung Punya Cerita
Leave a Reply