Mimin SGPC dahulu adalah anak Skyscrapercity, mungkin diantara para pembaca tahu SSC. Di forum itu, obsesi mengenal tinggi gedung dan juga perkembangan kota menjadi makanan sehari-hari pembaca dan pengguna forum tersebut. Sejak turunnya Soeharto, tidak banyak bangunan tinggi di Indonesia yang begitu membanggakan anak bangsa karena masih kalah dengan bangunan tinggi di negara tetangga.
Sayangnya, bagi mimin, setelah beberapa tahun berjalan, menemukan bahwa obsesi kita mengenai gedung tinggi di bumi Nusantara ini punya satu kekurangan, yaitu pemahaman teknis untuk menentukan tinggi sebuah bangunan, yang tidak pernah diketahui dari pembahasan tersebut.
Faktor mana saja yang memengaruhi tinggi gedung
Mimin mencatat banyak faktor yang memengaruhi tinggi gedung secara keseluruhan, yaitu:
- Keberadaan elemen-elemen arsitektural seperti penthouse dan mahkota (spire). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan, mahkota atau penthouse bisa menambah tinggi gedung. Dalam bahasa Council for Tall Buildings & Urban Habitat, “tinggi arsitektural” (architectural height). Antena gedung, atau tiang bendera di atap gedung, tidak diakui sebagai tinggi arsitektural, yang masuk adalah tinggi keseluruhan (height to tip).
- Berapa ketebalan pelat lantai dan tinggi antar lantai? Ini faktor yang sering diabaikan dalam menghitung tinggi gedung. Faktor tersebut membuat sebuah gedung terlihat pendek, walau dengan banyak lantai, atau sebaliknya, jumlah lantai sedikit tetapi karena faktor ketebalan dan tinggi antar lantai plus arsitektural, menjadi terlihat lebih tinggi. Paradoks Chicago akan membahas mengapa tinggi gedung dalam satuan meter ini lebih tepat ketimbang menghitung jumlah lantai belaka.
Paradoks Chicago
Untuk melengkapi argumen mimin bahwa jumlah lantai tidak bisa dijadikan patokan dalam menentukan gedung tertinggi, mimin memberi contoh luar Asia, karena mimin yakini datanya cukup meyakinkan dalam mematahkan mispersepsi kita mengenai tinggi gedung. Contoh tersebut bisa didapat di negara manapun di dunia yang data tinggi gedungnya lengkap. Jangan lihat negara tetangga semacam Singapura, apalagi Indonesia, karena kasus yang lebih ekstrimnya, bagi mimin, bakal ga dapat. Mimin pilih Chicago karena contoh yang mimin temukan lebih mengena.
Chicago adalah kota terbesar ketiga di Amerika Serikat, dengan penduduk 2,7 juta jiwa (Sensus AS 2020) dan terkenal dengan salah satu gedung tertinggi di dunia, Sears Tower – atau sekarang bernama Willis Tower – dan gedung John Hancock Center yang memiliki palang (bracing) di sekujur eksteriornya.
Lake Point Tower dan Richard J. Daley Center: Bukti jumlah lantai tidak bisa menjadi patokan ketinggian gedung
Mimin mengambil kedua gedung ini karena, walaupun keduanya memiliki ketinggian yang hampir sama, jumlah lantainya jomplang. Juga keduanya ada di Chicago, sehingga bisa menjadi gambaran penting mengenai permasalahan tersebut.
Lake Point Tower adalah apartemen mewah yang dirancang oleh John Heinrich & George Schipporeit – anak didik maestro arsitektur modern Ludwig Mies van der Rohe, dibangun dari tahun 1965 hingga 1968. Apartemen berbentuk Y tersebut memiliki tinggi 197 meter tetapi memiliki 70 lantai.
Di sudut lain pusat kota Chicago, berdiri kantor pemerintah kota Chicago bernama Richard J. Daley Center setinggi 198 meter (semeter lebih tinggi dari Lake Point Tower) yang dirancang oleh C.F. Murphy Associates dan selesai dibangun pada tahun 1965. Dengan tinggi tersebut, kita membayangkan jumlah lantainya 40 sampai 50 lapis. Sayangnya tidak. Gedung bermaterikan baja murni tersebut hanya berisi 30 lantai, dengan jarak lapis-ke-lapis yang lebih tinggi. Maka Daley Center dengan 30 lantai jauh lebih tinggi dari Lake Point Tower berlantai 70. Bila pengukuran ketinggiannya hanya berdasar jumlah lantai, Lake Point “lebih tinggi” dari Daley Center.
Mungkin saja salah satu gedung tertinggi di kota di Indonesia tidak memiliki jumlah lantai yang lebih banyak dari yang dianggap tertinggi secara murni dari jumlah lantai. Sayangnya, data mengenai tinggi gedung dalam meter ini banyak yang diabaikan media massa, masyarakat dan pemerhati real estat, kecuali bila gedungnya memiliki ketinggian melebihi 200 meter. Mimin kurang paham kenapa, apakah prestise tinggi gedung begitu penting buat masyarakat Indonesia yang masih cari perhatian pada dunia teknik sipil, arsitektur dan pencakar langit?
Ada cara untuk mengukur tinggi gedung?
Sebenarnya ada. Cara mengukur paling mudah adalah dengan meminta buku rancang biru bangunan dan mencari angka ketinggian di potongan struktur dan potongan samping/depan gedung. Biasanya ada di beberapa publikasi arsitektur juga. Problemnya adalah mendapatkan datanya akan lebih sulit karena harus menghadapi pengelola bangunan dan biro arsitektur, yang belum tentu memegang arsipnya.
Cara kedua yang lebih praktis adalah gunakan teodolit (baik dengan membeli maupun membuat sendiri, dengan strategi ala mimin SGPC) dan menerapkan pemahaman teori pitagoras. Namun masalahnya, orang Indonesia banyak yang benci matematika tingkat lanjut, dan harga teodolit mahal, sehingga strategi ini tidak pernah diadopsi para pecinta pencakar langit kita. Sangat disayangkan!
Kesimpulan
Sederhana. Mau ngukur tinggi gedung? Coba modal dikit pakai teodolit dan matematika, jangan berdasarkan jumlah lantainya, karena belum tentu banyak lantai lebih menjulang. Semoga pecinta pencakar langit Indonesia sadar dengan masalah ini.
Setiap Gedung Punya Cerita
Tinggalkan Balasan