Terkenal akan kisah mistisnya, Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ) adalah bagian dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB Unpad) yang berlokasi di Kampus Jatinangor, Sumedang. Kompleks yang terdiri dari empat gedung ini merupakan hibah dari Jepang yang sampai saat ini masih digunakan untuk perkuliahan Sastra Jepang Unpad dan jurusan lainnya di FIB Unpad.
Entri bangunan ini merupakan kontribusi dari pembaca SGPC, Raihan Aulia, dengan sedikit perubahan agar sesuai dengan strategi penulisan konten SGPC. Anda bisa mengontaknya di Instagram pribadinya raihanaulia.rar. Isi sepenuhnya tanggung jawab pengarang aslinya (Raihan).
Penelusuran kilat
Sejarah Gedung PSBJ Unpad: Buah Tangan Persahabatan Indonesia-Jepang
Jurusan Sastra Jepang Unpad–pengguna utama dari gedung ini–adalah jurusan Sastra Jepang pertama di Indonesia yang dibentuk tahun 1963. Pada era 1980an, ketika hubungan Indonesia dan Jepang sedang berada di titik tertingginya, Jepang hendak membangun sebuah pusat pendidikan Bahasa Jepang yang representatif.
Saat itu hanya ada 2 universitas di Indonesia yang memiliki jurusan Sastra Jepang: Universitas Padjadjaran dan Universitas Indonesia. Jurusan Jepang di Unpad berfokus pada kebahasaan, sementara jurusan Jepang di UI berfokus pada studi Jepang secara umum. Alasan inilah yang membuat Pemerintah Jepang memberikan hibah sebuah pusat pendidikan dan promosi Bahasa Jepang di Indonesia kepada Unpad di Bandung.
Hibah Pusat Studi Bahasa Jepang kepada Unpad merupakan awal dari serangkaian hibah kompleks atau gedung kuliah dan riset dari Jepang kepada universitas-universitas di Indonesia pada era 1990an dan 2000an. Setelah PSBJ, Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) membangun pusat untuk bidang lain di beberapa kampus: Elektronika kepada Politeknik Elektronika dan Telekomunikasi (kini PENS, Surabaya) (1988), Studi Jepang kepada Universitas Indonesia (1995 dan 2004), Penyakit Tropis kepada Universitas Airlangga (1998) dan Pengajaran Sains kepada Universitas Pendidikan Indonesia (2002).
Antara Dago, Jatinangor dan FISIP
Sebelum dibangun, Unpad menawarkan dua tempat sebagai calon lokasi Pusat Studi Bahasa Jepang: Bukit Dago (sekarang Pascasarjana FISIP Unpad) dan kampus baru di Jatinangor, pengganti kampus Unpad yang tersebar di Dipati Ukur dan Dago. Pihak Jepang menolak Bukit Dago karena menilai lokasinya terlalu sempit, akses jalannya buruk, dan jauh dari jalan utama. Lokasi yang akhirnya dipilih adalah kampus baru di Jatinangor yang kala itu masih dalam proses pembangunan.
Pada saat disurvei pada pertengahan 1985, baru 3 fakultas yang sudah pindah ke Jatinangor: Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Matematika IPA. Menurut rencana, semua fakultas dan fasilitas Unpad akan dipindahkan ke Jatinangor sebelum tahun 1992.
Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) dijadwalkan pindah pada 1990, namun karena PSBJ sudah dibangun terlebih dahulu, perpindahan itu dipercepat ke 1987. Gedung Dekanat sendiri baru rampung tahun 1991, dan kegiatan akademis Fakultas Sastra mulai dilakukan secara penuh di Jatinangor sejak tanggal 7 September 1992.
Lokasi pembangunan PSBJ terletak di lahan yang sebelumnya direncanakan sebagai tempat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Luas lahan yang menjadi bagian dari PSBJ sekitar 7.500 m2, hampir setengah dari keseluruhan luas FIB. Lahan untuk FISIP kemudian digeser ke selatan PSBJ, tempatnya berdiri sekarang.
Arsitektur Gedung PSBJ Unpad suguhkan suasana Kyoto di Jatinangor
Perencanaan lokasi Pusat Studi Bahasa Jepang memperhitungkan masterplan kampus Unpad Jatinangor, terletak persis berhadapan dengan rencana akses pejalan kaki di tengah-tengah kampus (pada akhirnya menjadi jalan biasa) dan memiliki akses ke jalan utama yang melingkari kampus.
Untuk mengakomodasi kebutuhan jurusan Sastra Jepang dan promosi Bahasa Jepang secara umum, PSBJ direncanakan akan memiliki 4 fungsi: administrasi dan riset, pendidikan, pelatihan, dan aula. Masterplan kampus Unpad Jatinangor kala itu membatasi ketinggian gedung paling tinggi 3 lantai. Disertai dengan topografi yang berada di lereng, diputuskan untuk memecah 4 fungsi tersebut menjadi 4 gedung yang berbeda, setiap gedungnya terdiri dari 2 lantai.
Secara keseluruhan, Pusat Studi Bahasa Jepang memiliki luas lantai sebesar 3.136 m2. Gedung Serbaguna mengisi luas lantai terbesar (630 m2), diikuti Gedung Administrasi (575 m2), Gedung Pelatihan (574 m2), dan Gedung Pendidikan (544 m2). Sisanya koridor, tangga dan gudang.
Gedung Administrasi (A) berfungsi sebagai kantor dan ruang dosen-dosen. Gedung Administrasi diposisikan tepat di sebelah calon lokasi Gedung Dekanat Fakultas Sastra dan sekaligus menjadi gerbang utama PSBJ.
Gedung Pendidikan (B) berfungsi sebagai tempat belajar-mengajar yang terdiri dari 5 ruang kelas standar berkapasitas 20 orang dengan luas 40 m2, 1 ruang kelas besar berkapasitas 40 orang berukuran 80m2 (dapat dibagi menjadi 2 dengan partisi akordeon) dan perpustakaan di lantai 2. Jendela perpustakaan ini dikenal mistis karena dikisahkan muncul sosok nenek tua Jepang yang suka menampakkan diri di malam hari.
Gedung Pelatihan (C) terdiri dari 1 ruang kelas besar berkapasitas 40 orang berukuran 80m2 (dapat dibagi menjadi 2 dengan partisi akordeon), ruang Jepang (Washitsu), toilet, kantin (Shokudou), studio dan laboratorium bahasa. Perlengkapan di studio dan laboratorium bahasa mumpuni pada masanya karena diimpor langsung dari Jepang senilai total 29 juta Yen (Rp252 juta, sekarang sekitar 37 juta yen atau Rp3,9 miliar) secara hibah. Studio ini sempat juga digunakan oleh TPI (ketika masih bernama Televisi Pendidikan Indonesia) pada tahun 1992.
Gedung Serbaguna (D) adalah gedung terbesar di PSBJ. Berkapasitas 300 orang, gedung ini dirancang untuk mengakomodasi pemutaran film, pertunjukan musik, teater, dan seminar. Selain diperuntukkan untuk keperluan Pusat Studi Bahasa Jepang juga diplot sebagai pendukung aula utama universitas yang berkapasitas 1.000 orang (yang pada akhirnya batal dibangun).
Tidak seperti gedung serbaguna di kebanyakan kampus kala itu, gedung serbaguna Pusat Studi Bahasa Jepang didesain seperti gedung auditorium sekolah di Jepang dengan panggung yang menjorok ke dalam (proscenium) untuk keperluan teater. Gedung serbaguna dilengkapi dengan 1 proyektor film 35mm spesifikasi bioskop untuk pemutaran film umum (sangat mewah untuk ukuran kampus) dan 1 proyektor 16mm untuk pemutaran film dokumenter.
Kyoto di Jatinangor
Karena fungsinya sebagai pusat bahasa Jepang sekaligus etalase budaya Jepang, kompleks bergaya arsitektur modern tropis ini meskipun bukanlah karya arsitektur tradisional Jepang, mencerminkan gaya arsitektur modern Jepang terutama pada era 1980an. Bangunan ini memiliki bentuk yang sederhana tanpa ornamen berlebihan, sebuah karakteristik yang sangat umum dalam arsitektur modern Jepang, terutama pada periode 1970-an hingga 1980-an.
Fokusnya lebih pada fungsionalitas dan harmoni dengan lingkungan sekitar. Bagian dalam gedung ini memiliki tata ruang yang kompak namun fungsional. Material alami seperti penggunaan kayu untuk pintu dan kusen jendela, menunjukkan perpaduan antara fungsi dan estetika tradisional. Kehadiran taman serta ruang terbuka yang luas menunjukkan pengaruh pemikiran Jepang tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang seimbang antara bangunan dan alam.
Jendela yang kayu persegi panjang yang digunakan pada gedung ini mensiratkan jendela shoji (jendela atau pintu dengan panel-panel kotak). Bahan yang dipakai untuk lantai ruangan adalah terrazzo (kecuali vinyl asbestos untuk studio dan laboratorium bahasa dan tatami untuk ruang Jepang), sementara koridornya menggunakan batu sikat hitam.
Dinding luar terbuat dari stucco dan panel beton di bagian bawah dinding (panel-panel ini dianggap ‘estetik’ sehingga sering menjadi latar foto mahasiswa dan pengunjung). Hamparan rumput luas yang terletak persis di tengah dihiasi dengan tabebuya di samping kantin sehingga menjadi spot foto ketika bunganya bermekaran.
Di antara gedung-gedung Pusat Studi Bahasa Jepang lainnya, gedung pelatihan menjadi gedung yang paling kental rasa Jepangnya. Gedung ini memiliki ruang Jepang (Washitsu) yang merupakan replikasi dari tipikal rumah bergaya tradisional Jepang, lengkap dengan halaman pasir (karesansui), ceruk di lantai sebagai tempat memanaskan teh (ro) dan lantai tatami. Sampai saat ini, ruangan ini masih dipakai untuk upacara teh secara rutin. Kantin (shokudo) juga berlokasi di ujung gedung ini, dengan teras segi delapan yang menjorok ke luar (engawa) untuk bersantai menikmati kolam kecil, mencoba mereplikasi taman zen tradisional Jepang seperti yang ada di Kyoto.
Konstruksi dan “Gedung yang Hilang”
Pusat Studi Bahasa Jepang dirancang oleh firma arsitek dari Jepang, Kisaburo Ito Architects and Engineers. Sebagai persyaratan skema hibah Jepang, kontraktornya diwajibkan dari perusahaan Jepang. Konstruksi dilaksanakan dalam bentuk kerjasama antara Murinda Iron Steel dan Tobishima Corporation.
Hibah dari Jepang mencakup tender, kontrak, konstruksi dan pengadaan peralatan pendukung, sementara pekerjaan persiapan lahan termasuk pembangunan jalan dan penyambungan suplai air, kabel telepon dan listrik menjadi tanggungjawab Pemerintah Indonesia. Mayoritas material konstruksi didapatkan secara lokal di Indonesia, namun beberapa perlu diimpor dari Jepang seperti baja, pipa, kaca, peralatan mekanik dan seluruh alat elektronik selain lampu dan kabel.
Konstruksi PSBJ memakan waktu antara 11 bulan, dimulai dari awal 1986 (SGPC: sekitar April 1986, bila mematok perampungan Maret 1987). Plakat di depan PSBJ menuliskan Maret 1987 sebagai bulan peresmian.
Selain kompleks Pusat Studi Bahasa Jepang, JICA membangun sebuah gedung serbaguna tambahan di dekat gerbang lama kampus. Disebut Annex Building dan kemudian menjadi GOR Pakuan, gedung ini tidak termasuk dalam perencanaan awal. Menurut penuturan salah satu dosen senior Sastra Jepang, gedung tersebut dibangun karena anggaran dari JICA berlebih.
Gedung ini biasa dipakai untuk olahraga dalam ruang seperti voli dan badminton, juga konser dan pertunjukan lain. Sayangnya gedung ini dirobohkan pada awal 2013 dan saat ini di lokasinya telah berdiri Masjid Raya Unpad. Tidak terdapat data rinci mengenai pembangunan Annex Building selain floorplan dan pernyataan lisan dari para dosen senior yang menyaksikan pendirian gedung tersebut.
Data dan fakta
Jumlah bangunan | 4 |
Alamat | Jl. Ir. Soekarno KM 20, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat |
Arsitek | Kisaburo Ito Architects and Engineers |
Pemborong (J.O.) | Murinda Iron Steel Tobishima Corporation |
Lama pembangunan | k/l April 1986 – Maret 1987 |
Diresmikan | Maret 1987 |
Jumlah lantai | 2 lantai |
Biaya pembangunan | JP¥ 654 juta (Rp. 5,7 miliar, 1986) JP¥ 845 juta (Rp. 89 miliar, inflasi 2024) |
Signifikasi | Pop culture (isu mistis) |
Referensi
- Japan International Cooperation Agency (1985). “Basic design study report on the establishment project of the Center for Japanese Language at Padjadjaran University in the Republic of Indonesia”. Tokyo: Japan International Cooperation Agency.
- 無償資金協力.日本のインドネシアに対する経済協力(ODA)ホームページ, diarsip 21 September 2024
- Renatha Swasty (2024). “Sejarah Panjang Kerja Sama Unpad-Jepang, Mulai 1963.” medcom.id, 15 Mei 2024. Diakses 18 September 2024 (arsip)
- Oris Riswan Budiana (2023). “Budaya Minum Teh ala Samurai di Unpad”. Detikjabar, 25 November 2023. Diakses 19 September 2024 (arsip)
- Halaman resmi Murinda Iron Steel, diakses 27 Oktober 2024 (arsip)
Tinggalkan Balasan