5 Februari 2020 yang lalu, sebulan jelang virus COVID-19 menjangkiti dunia, mimin diajak oleh keluarga besar berwisata di India, dikenal dengan budaya yang kental dan kuat dengan nuansa spiritual dan rohani Hindu, dan bentang alam yang tidak kalah indahnya. Perjalanan selama 7 hari tersebut memang lebih banyak dicurahkan ke hal-hal spiritual, tetapi sayang bila semua obyek arsitektur yang mimin SGPC bisa abadikan dilewatkan, mulai dari mandir (sejenis tempat ibadah agama Hindu di India), patung, gedung bersejarah hingga gedung berarsitektur modern, terutama di Delhi dan Noida.
Bagian kedua seri tulisan ini dipusatkan pada kawasan National Capital Region, terdiri dari kota Delhi, dan juga sudut lain dari Uttar Pradesh – kota Ghaziabad.
Keseluruhan foto ada di bawah lisensi . Dilarang menggandakan foto yang ada dalam tulisan ini tanpa mematuhi isi lisensi .
Ghaziabad
Sebenarnya Ghaziabad merupakan kota kedua yang dilewati mimin blog saat berwisata di India. Kota berpenduduk 3,4 juta penduduk (hitungan resmi Pemko Ghaziabad) ini merupakan kota pinggiran New Delhi, dan merupakan salah satu kota besar di negara bagian Uttar Pradesh. Kota ini pertama dibentuk oleh wazir era Mughal bernama Ghazi-ud-din, pada tahun, konon, 1740, sebagai Ghaziuddinnagar. Nama sekarang pertama digunakan sejak stasiun kereta api Ghaziabad dibuka.
Soal bangunan tinggi – mayoritas gedung di Ghaziabad adalah produk dari demam properti yang menjamur di India. Bahkan dalam perjalanan hari ketiga dari Ghaziabad ke Haridwar, hasil dari gelembung properti bisa dijumpai di pelosok-pelosok. Mimin bahas ini di bagian berikutnya.
Sangat sedikit hal yang bisa dibahas dari bangunan di Ghaziabad. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, mayoritas bangunan tinggi di bawah ini adalah produk dari gelembung properti dengan kualitas arsitektural ala kadarnya, sehingga pada akhirnya, tidak banyak yang bisa disarikan ke dalam produk blog SGPC.
Delhi
Dan yang paling anda tunggu-tunggu adalah tulisan mengenai Delhi. Delhi adalah ibukota India, sebagai bagian dari National Capital Territory (Teritorial Ibukota Negara), dan terbesar kedua di India dengan 17 juta penduduk (Mumbai ditempati k/l 23 juta penduduk di kawasan metropolitannya). Sebagai salah satu motor perekonomian India dan pusat syaraf politik di negeri Bollywood, Delhi, baik New Delhi alias Lutyens’ Delhi dan daerah sekitarnya, memiliki obyek arsitektural yang tak kalah menariknya, dan beberapa diantaranya kaya dengan sejarah dan keunikan budayanya.
Lutyens’ Delhi
New Delhi sebenarnya hanya bagian dari Delhi NCT, dan Lutyens’ Delhi juga bagian dari New Delhi sendiri. New Delhi adalah pusat syaraf politik dan perekonomian India, karena di distrik inilah kantor pemerintahan, Lok Sabha (parlemen federal) di kawasan Bukit Raisina, kedubes-kedubes di Chanakyapuri hingga perkantoran di Connaught Centre berkumpul.
Kawasan di New Delhi dirancang oleh arsitek Inggris Edwin Lutyens dan Herbert Baker, dan pembangunannya dilakukan di tahun 1920an-1931, saat India masih dibawah pemerintah kolonial Inggris (British Raj). Alasannya cukup kompleks, ibukota British Raj di Kolkata terlalu bergejolak untuk melanggengkan raj Inggris di India, dan muncul rencana membangun ibukota baru di Delhi, karena dianggap lebih mudah diatur secara logistik, mengingat posisi Delhi sebagai pusatnya India Utara.
Rencana tersebut difinalisasi di tahun 1911, saat Raja George V mengumumkan pemindahan ibukota raj Inggris di depan umum sekaligus mengawali pembangunan Lutyens’ Delhi. Proyek Lutyens’ Delhi diserahterimakan pada tahun 1931. Dua tahun kemudian, Connaught Place rancangan Robert Tor Russell, rampung. Shantipath, dirancang di masa Jawaharlal Nehru, alias setelah India merdeka pada tahun 1947, digarap pada tahun 1951. New Delhi, dari segi suasananya, sangat berlawanan dengan suasana semrawut Old Delhi dan daerah-daerah lainnya di Delhi, dan bisa dikatakan adalah yang terasri dan terbersih di India.
Jika anda ingin mencari arsitektur kolonial British Raj dan arsitektur modern India era Permit Raj (“pemerintahan seribu izin,” karena katanya pengurusan izin usaha di India saat itu terlalu berbelit), Lutyens’ Delhi dan Connaught Place – seharusnya – adalah tempatnya.
Catatan SGPC: Mimin dan rombongan tidak bisa menikmati keindahan gedung-gedung tersebut mengingat rombongan memasuki wilayah Delhi saat ada acara kenegaraan. Saat itu juga sedang heboh-hebohnya revisi UU Kewarganegaraan di India, sehingga rawan bagi wisatawan mengunjungi Rajpath dan sekitarnya.
Gandhi Smriti
Di bawah ini adalah Birla Bhavan (5 Tees January Marg), kediaman terakhir dari Mahatma Gandhi sebelum ditembak mati oleh Nathuram Godse pada tanggal 30 Januari 1948 di halaman belakang bhavan ini. Rumah ini pertama dibangun pada tahun 1928 untuk keluarga Ghanshyamdas Birla, seorang taipan bisnis India era raj Inggris. Di rumah dengan 12 kamar tidur inilah beberapa tokoh-tokoh kemerdekaan India numpang tidur, diantaranya Vallabhbhai Patel (alias Sardar), yang kemudian jadi wakil Perdana Menteri India pertama, dan tentu saja Mahatma Gandhi.
Keluarga Birla tinggal di tempat ini sampai pada tahun 1971, pemerintah India membeli rumah tersebut untuk dijadikan museum, dan Gandhi Smriti pun resmi dibuka pada 1973. Di dalam museum ini kita akan diajak mendalami perjalanan hidup dan pemikiran-pemikiran dari Mahatma beserta perjuangannya mengantar India kepada kemerdekaannya, dalam bentuk interaktif. Juga ada potongan jejak kaki di luar yang menggambarkan jejak Mohandas (nama resmi Mahatma) ke posisi beliau ditembak mati pada 30 Januari 1948.
Di luar Delhi Lutyens
Dengan booming pembangunan di India akhir-akhir ini, maka mudah dijumpai gedung-gedung tinggi dengan arsitektur yang menarik, atau gedung tinggi yang menjulang di beberapa titik di Delhi. Dan inilah potret Delhi yang sesungguhnya, diluar imaji kita yang melihat Delhi hanya dari sudut pandang Lutyens’ Delhi maupun Connaught Place yang dikenal bersih dan asri.
Ada beberapa tempat dan distrik yang memiliki desain arsitektural di era pemerintah seribu izin yang tidak kalah menarik dengan rancangan arsitek asing di Noida maupun era pasca-pemerintah seribu izin. Anda bisa melihatnya dalam bentuk galeri di bawah ini.
Tidak semua yang mimin ambil gambarnya ditampilkan disini karena keterbatasan ruang, mungkin anda khawatir tulisannya kepanjangan.
Sekian tulisan “laporan” SGPC di India pada awal Februari 2020. Bagian ketiga difokuskan di daerah Uttar Pradesh lain, yaitu Mathura, Vrindhavan dan Agra.
Referensi dan bibilografi
- Web resmi Kota Ghaziabad, diakses 13 Juni 2020
- Artikel Wikipedia Bahasa Inggris (): Delhi, Lutyens’ Delhi, New Delhi, Rashtrapati Bhavan, Secretariat Building, Gandhi Smriti, Lotus Temple, Jawaharlal Nehru Stadium (Delhi) (tulisan blog ini tidak disarankan untuk dikutip di Wikipedia Bahasa Indonesia!)
- Web resmi Kementerian Pariwisata India (India Gate), diakses 14 Juni 2020 (arsip)
- Profil Rashtrapati Bhavan dari Kantor Kepresidenan India, diakses 14 Juni 2020 (arsip)
- Sidharta Roy (2011). “The Building Blocks of British Empire“. Hindustan Times, 6 September 2011. Diakses 14 Juni 2020 (arsip)
- Pramod Kapoor (2011). “The Building of New Delhi.” India Real Time via Wall Street Journal, 16 November 2011. Diakses 14 Juni 2020 (arsip)
- “A journey of 100 years of Architecture in India“. Rethinking the Future. Diakses 14 Juni 2020. (arsip)
- Pilar Maria Guerrieri (2018). “Negotiating Cultures: Delhi’s Architecture and Planning from 1912 to 1962”. Oxford: Oxford University Press. Halaman 108.
- Profil Blok Selatan Secretariat Building, dari Kementerian Luar Negeri India, diakses 14 Juni 2020. (arsip)
- Prabhu Chawla (1982). “Will Meridien Hotel turn out to be a pot of gold for Charanjit Singh?” India Today, 15 Desember 1982. Versi online diakses 15 Februari 2020.
- Gandhi Smriti di Museum of India. Diakses 14 Juni 2020. (arsip)
- “From Brazil to Qatar: Projects by Polish Architects Around the World“. Culture.pl, 22 Januari 2016, diakses 15 Juni 2020. (arsip)
- Web resmi IMK Architects, diakses 15 Juni 2020 (arsip)
- Web Traveller Made, diakses 15 Juni 2020 (arsip)
- Jon T. Lang (2002). “A Concise History of Modern Architecture in India”. Hyderabad, Telangana: Orient Blackswan.
- Rebecca M. Brown, editor Anthony P. D’Costa (2012). “Revivalism, Modernism and Internationalism: Finding the Old in the New India”, dalam “A New India? Critical Reflections in the Long Twentieth Century”. London: Anthem Press. Halaman 151-178.
- Jasbir Sawhney & Associates (1984). “Hyatt Regency Hotel, Delhi“. MIMAR: Architecture in Development No. 11, 1984, hal. 28-33. (arsip)
- Tim penulis MIMAR (1985). “Engineers India House, New Delhi“. MIMAR: Architecture in Development No. 18, 1985, hal. 52-57. (arsip)
- Shivani Vora (2017). “The Oberoi Hotel in New Delhi Got a Major Makeover. Here is a First Look.” The New York Times, 9 Desember 2017. Diakses 15 Juni 2020.
- Rilis pers (2018). “The Oberoi Group Announces the Highly Anticipated Reopening of The Oberoi, New Delhi.” The Oberoi Hotels & Resort, 4 Januari 2018. Diakses 15 Juni 2020. (arsip)
- Profil Hotel Crowne Plaza Rohini di Archello, diakses 15 Juni 2020. (arsip)
- H.R. Viswanath (1989). “Television Tower in New Delhi with Revolving Restaurant at Top.” IABSE Structures Vol. 13, No. C50, 1989. Halaman 50-51.
- Capelin Communications Inc. (1988). “Baha’i House of Worship, New Delhi“. MIMAR: Architecture in Development No. 29, 1988. Hal. 40-44 (arsip)
- “A journey of 100 years of Architecture in India“. Rethinking the Future. Diakses 18 Agustus 2020. (arsip)
- Web resmi Raja Aederi Consultants, diakses 18 Agustus 2020 (arsip)
Tinggalkan Balasan