Gedung BPPK Kemenlu memang desainnya cukup normal dengan beton dicat putih total, awalnya salah satu sisinya dicat cokelat seperti gedung-gedung lain di Taman Pejambon di era Orde Baru 1970an, dengan gaya arsitektur brutalist. Dari dalam, seluruh struktur utama adalah beton bertulang, baik konvensional maupun berprategangan, dengan metode konstruksinya adalah open-frame dengan tembok geser/shear wall.
Namun gedung berlantai 9 ini disebut punya perjuangan berat dalam membangun pondasinya, walau konstruksi gedung ini kick-off pada 22 Maret 1977. Adalah kondisi bagian dalam tanah yang susah diprediksi karena lokasinya ada di sebelah Kali Ciliwung, menyebabkan 14 tiang pancang amblas. Baca bagian berikutnya untuk penjelasan “yang agak teknis”.
Pemborong pondasi, kala itu memiliki ide untuk memberi sayap di 13 meter dari ujung tiang pancang untuk mencegah smearing terulang kembali. Karena penerapannya kurang sesuai rancangan, sempat diberi perancah hingga akhirnya tes beban memberi hasil yang memuaskan.
Karena rumitnya proses pondasi inilah pembangunan gedung molor dari tenggat 12 November 1978 (600 hari) menjadi 9 April 1979. Sial bagi gedung ini, dan gedung-gedung yang dibangun di tahun 1978, adalah Kebijakan 15 November 1978, yang artinya, seperti gedung-gedung lainnya, hitung ulang kontrak pembangunan, sehingga kontrak pembangunan molor lagi menjadi 26 Agustus 1979 (887 hari). Beruntung, pada 16 Agustus 1979, sehari sebelum HUT Republik Indonesia ke-34, gedung Ditjen Peradilan, selanjutnya BP7, selesai dibangun.
Namun penggunaan gedung berlantai 9 ini baru diresmikan pada 23 Juni 1980, sebagai kantor dari Badan Pembinaan dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7), Setelah BP7 dibubarkan pada 1998, gedung ini langsung menjadi kantor Kementerian Luar Negeri untuk Badan Pengkajian dan Penerapan Kebijakan (BPPK).
Mengapa pondasi itu amblas
Di bagian sejarah, sudah dituliskan 14 pondasi yang amblas. Amblasnya bisa mencapai 27 meter. Kenapa?
Mengutip artikel Majalah Konstruksi edisi Desember 1979, berdasarkan laporan Lab Mekanika Tanah Universitas Trisakti yang disusun oleh Ir. FX Zanussi, “smearing” menjadi penyebab amblasnya 14 pondasi gedung BPPK Kemenlu ini. “Smearing” terjadi karena tanah gembur ikut terbawa saat proses tiang pancang, membuat friksi pancang menjadi lemah dan akibatnya menjadi amblas (“friction yang dikehendaki tidak tercapai”).
Penyebab terjadinya smearing pada 14 tiang pancang friksi itu, disebabkan oleh ketidaksesuaian prosedur dalam meneliti tanahnya. Lapisan pasir berkedalaman mulai 0-3 meter, tetapi dengan adanya tanah lempung berkedalaman mulai 7-8 meter, dan kebawahnya adalah tanah lanau/silt, maka wajar, saat tiang pancang berpasangan sudah dimasukkan, tanah lempunglah yang menjadi kulit dan menyebabkan adanya smearing. (semoga SGPC tidak salah dalam mengartikan isi majalah Konstruksi yang dipegang).
Selengkapnya mengenai garis besar gedung era 1950an hingga 1970an dapat anda baca di artikel ini
Data dan fakta
Nama lama | Ditjen Peradilan Gedung BP7 |
Alamat | Jalan Taman Pejambon No. 6 Senen, Jakarta Pusat, Jakarta |
Arsitek | Accasia Arkonin |
Pemborong | Pembangunan Jaya |
Lama pembangunan | 22 Maret 1977 – 26 Agustus 1979 |
Diresmikan | 23 Juni 1980 (sebagai Gedung BP7) |
Jumlah lantai | 9 lantai |
Tinggi gedung | 40 meter |
Signifikasi | Struktural (pemecahan masalah dalam pembangunan gedung yang inovatif dan berani) |
Referensi
- NN (1979). “Gedung Ditjen Peradilan dibangun dengan catatan, 14 tiang pancang ambles”. Majalah Konstruksi, Desember 1979.
- RS (1980). “Peresmian gedung BP7”. KOMPAS, 24 Juni 1980.
Tinggalkan Balasan