Gedung Griya Bina Artha, atau dikenal juga sebagai Gedung Bank Jawa Tengah, adalah sebuah bangunan dengan lahan memanjang dan berlantai 9, yang berlokasi di Jalan Pemuda di Semarang, Jawa Tengah, bersebelahan dengan Balai Kota Semarang. Gedung ini dikelola oleh Griyapondok Binasejati (karena nama Griya Bina Artha sudah diambil PT lain), salah satu anak usaha dari koperasi karyawan dan dana pensiun Bank Jateng, dan awalnya dibangun sebagai kantor pusat dari Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (Bank Jateng).
Sejarah Griya Bina Artha: Bagian dari penunjang operasional Bank Jateng
Griya Bina Artha seberarnya dibangun untuk menunjang operasional BPD Jawa Tengah yang sebelumnya berpusat di Jalan Pemuda No. 4A (yang kini kosong setelah sebelumnya ditempati STIE BPD Jateng). Gedung ini berdiri di atas lahan milik Pemprov Jawa Tengah dan Kodam IV/Diponegoro.
Konstruksi Gedung Griya Bina Artha dimulai pada 30 Oktober 1991 melalui upacara peletakan batu pertama – atau pemancangan pondasi menurut berita Suara Merdeka – oleh Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah H. Panoet Harsono. Proyek tersebut dibangun oleh kerjasama operasional (J.O.) Jaya Konstruksi bersama dengan Sarana Dwipa, berlangsung selama satu setengah tahun dari November 1991 hingga selesai sekitar Agustus 1993.
Awalnya, gedung ini akan menjadi gedung perkantoran tinggi modern, sekaligus menjadi kantor pusat BPD Jawa Tengah/Bank Jateng dan juga dijanjikan akan menjadi kantor dari bursa efek daerah Jawa Tengah (Galeri Perdagangan Efek Jawa Tengah/GPEJT) serta beberapa organisasi keprofesian bisnis. GPEJT bubar 1 Agustus 1992 karena tiadanya dukungan pemerintah pada pusat bursa efek baru, sehingga praktis penghuni tetapi gedung ini hanya Bank Jateng.
Griya Bina Artha diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Jawa Tengah H.M. Ismail pada 19 Agustus 1993. Biaya pembangunan gedung ini mencapai Rp. 22,87 milyar nilai 1993 menurut Suara Merdeka – atau Rp. 26,28 milyar (1993) versi Harian BERNAS (15/02/1994) – dengan rincian Rp. 2 milyar untuk pondasi dan 20,87 untuk membangun strukturnya, yang bersumber dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan ekuitas Bank Jateng.
Ia adalah gedung perkantoran kedua di Kota Lumpia
Semenjak peresmiannya, gedung ini dikelola sepenuhnya oleh Griyapondok Binasejati, yang dibentuk guna mengelola gedung tersebut, karena BPD Jawa Tengah, selaku penghuni gedung utama, tidak diperkenankan memiliki dan mengelola gedung berlantai sembilan itu sepenuhnya oleh UU No. 7/1992 tentang perbankan. Griya Bina Artha merupakan gedung kantor modern kedua di Semarang setelah Graha Aspac alias Gedung HSBC Semarang yang berdiri setahun sebelumnya.
Dalam 6 bulan pertamanya, memang sempat kesulitan merekrut calon tenant, bahkan mencuat rencana mengalokasikan lantai 1 sebagai supermarket. Mengingat proyek Grinatha dilaksanakan oleh sebuah BUMD, wajar permasalahan tersebut menjadi sorotan dari DPRD Jawa Tengah saat itu.
Pada 14 Februari 1994, DPRD Jawa Tengah mengirim surat undangan ke pihak Bank Jateng untuk hadir dalam sidang dengar pendapat mengenai kosongnya ruang kantor gedung ini. Saat anggota DPRD datang ke Griya Bina Artha, salah satu anggota dewan sempat menganggap pengeola Grinatha soal keberadaan Bank Papan Sejahtera, Toko Gunung Agung dan Semen Nusantara yang akan pindah ke gedung berlantai sembilan itu sebagai “tidak ada buktinya” dan menyebut gedung itu “mubazir”. Tuduhan tersebut dibantah ketiga perusahaan yang bersangkutan saat diwawancara harian Suara Merdeka.
Sehari kemudian, Gubernur Jawa Tengah, Soewardi, kepada Suara Merdeka mengatakan bahwa “perlu waktu untuk transaksi dan negosiasi” dan pembangunan BPD Tower, nama lama gedung Griya Bina Artha, sudah melewati perhitungan yang matang.
Baru pada 23 Februari 1994 diadakan rapat mengenai masalah kosongnya ruang kantor tersebut. Pihak Bank Jateng, diwakili Dirut H. Panoet Harsono, menyatakan keyakinannya akan sukses Griya Bina Artha menggaet banyak perusahaan yang pasti berkantor di gedung ini. Bank Jateng sendiri membenarkan perpindahan kantor pusatnya mulai Maret 1994.
Ia mengatakan bahwa Bank Jateng tidak akan mengelola sepenuhnya gedung ini karena pembatasan yang dikeluarkan melalui UU Perbankan tahun 1992, sehingga membentuk usaha bernama PT Griyapondok Binasejati. Sayangnya, anggota dewan yang kurang paham peraturan dan dunia properti, mengritik langkah ini. Di sebelah Grinatha, DPRD Kota Semarang mulai khawatir soal pelanggaran zonasi gegara rencana supermarket di lantai 1 gedung.
Di luar drama politisi daerah, Grinatha cukup gemilang dalam mengisi ruang kantornya – secara tak langsung menampar kepala anggota dewan DPRD Jawa Tengah 1988-1993. Per akhir tahun 1996, 80 persen ruang kantor gedung ini dari sekitar 20-30 ribu m2 ruang perkantoran kasarnya telah terisi, dan hampir mayoritas penghuninya adalah perusahaan dari luar Semarang. Per 2020, tenant yang menempati gedung ini semakin bervariasi, mulai dari Evergreen hingga Galeri Samsat Kota Semarang. Bank Jateng menempati lantai 1, 4, 5 dan 6 Grinatha.
Arsitektur Griya Bina Artha: Kerucut yang memanjang
Griya Bina Artha dirancang oleh tim arsitek dari Pola Dwipa, firma arsitek lokal yang juga punya pengaruh tiada taranya di kancah arsitektur di Kota Semarang.
Dirut Bank Jateng Panoet Harsono menjabarkan secara sedikit detil konsep arsitektur gedung ini. Walau berlokasi di lahan yang memanjang, gedung ini menurutnya berbentuk kerucut yang merupakan simbolisasi dari jenjang pengelolaan, yang akan menuntut kemampuan yang lebih baik di jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan adanya pusat pertemuan di lantai delapan (kemungkinan tutup atau pindah)
Awalnya gedung Griya Bina Artha akan setinggi 12 lantai, namun lokasinya yang dekat dengan jalur penerbangan dari Bandar Udara Ahmad Yani membuat rencana tersebut dipangkas oleh Departemen Perhubungan RI menjadi 9 lantai dengan tinggi 43,6 meter. Ia dimanfaatkan sepenuhnya untuk keperluan perkantoran niaga, dengan luas lantai mencapai sekitar 20 sampai 30 ribu meter persegi.
Data dan fakta
Nama lama | Gedung BPD Jawa Tengah |
Alamat | Jalan Pemuda No. 142 Semarang Tengah, Semarang, Jawa Tengah |
Arsitek | Pola Dwipa |
Pemborong (J.O.) | Jaya Konstruksi Sarana Dwipa |
Lama pembangunan | November 1991 – Agustus 1993 |
Diresmikan | 19 Agustus 1993 |
Tinggi gedung (Suara Merdeka, 15 Feb. 1994) | 44 meter |
Jumlah lantai | 9 lantai |
Biaya pembangunan | Rp 22,87 milyar (1993) Rp 225,4 milyar (inflasi 2020) |
Referensi
- bud-23 (1993). “Total Aset BPD Jateng Sampai Juli Meningkat Menjadi Rp 828,7 Milyar”. Suara Merdeka, 20 Agustus 1993, hal. 11
- Budi Surono (1993). “Konsep Lima M Digunakan Dalam Kelola BPD”. Suara Merdeka, 21 Agustus 1993, hal. 11
- Suara Merdeka, 19 Agustus 1993, hal. 16 (iklan)
- Web resmi Griya Bina Artha, diakses 30 Juli 2020 (arsip)
- Ahmad Rif’an Hanifudin (2015). “Perencanaan Pembangunan Gedung Bank BNI Cabang Serang“. Bab II, hal. 21-29. (arsip, mirror arsip)
- Pemprov Jawa Tengah (1994). “Himpunan Sambutan Gubernur KDH TK I Jawa Tengah“. Semarang: Pemprov Jawa Tengah. Halaman 152-153.
- oko (1994). “Amannya, BPD Jateng Patuhi Aturan”. Jawa Pos, 28 Februari 1994.
- yup; djo (1991). “BPD Jateng Segera Jadi Bank Devisa.” Harian Berita Nasional (Bernas), 31 Oktober 1991, hal. 5
- als (1994). “Komisi B DPRD Jateng akan panggil direksi BPD Jateng soal dugaan manipulasi dan BPD Tower.” Harian Berita Nasional (Bernas), 15 Februari 1994, hal. 8
- als; ran (1994). “Direktur BPD belum terima surat dari DPRD Jateng.” Harian Berita Nasional (Bernas), 16 Februari 1994, hal. 8
- “DPRD akan panggil dirut BPD soal Gedung Griya Bina Artha.” Suara Merdeka, 15 Februari 1994, hal. 1 dan 15
- “Panoet Harsono akan jelaskan secara tuntas soal BPD Tower.” Suara Merdeka, 16 Februari 1994, hal. 1 dan 15
- “Panoet jelaskan soal BPD Tower.” Suara Merdeka, 24 Februari 1994, hal. 1 dan 15
- “Meramaikan Kawasan “Segitiga Emas.” Suara Merdeka, 16 September 1996, hal. 9
- Budi Surono (1993). “Menyimak Bisnis Properti (II): Meski lesu, bangunan perkantoran prospektif.” Suara Merdeka, 18 September 1993, hal. 10
- yoh (1992). “Galeri Perdagangan Efek Jateng Bubar.” Harian Berita Nasional (Bernas), 25 Juli 1992, hal. 5
- “BPD Jateng Tawarkan Tempat Bagi BEJT.” Suara Merdeka, 31 Oktober 1991, hal. 8
- “BPD Town senilai Rp. 22,9 milyar akan diresmikan awal Agustus.” Suara Merdeka, 15 Juli 1993, hal. 10
Tinggalkan Balasan